Ahaaa, Ada Pelangi di Bulan Juli

Ada Pelangi di Bulan Juli

Ada Pelangi di Bulan Juli

Bila hujan bulan juni begitu istimewa bagi Sapardi Joko Damono, pelangi di bulan Juli hadir begitu mempesona bagi saya.

Pelangi itu hadir pada Jum’at sore suatu akhir Juli. Tepatnya pada tanggal 22 Juli 2016. Melengkung di atas hamparan kebun singkong. Di langit yang sebagian biru dan sebagian lainnya bermuram awan. Di atas lintasan dimana saya mulai berkeringat. Baca lebih lanjut

Pantai Ngobaran, Menemukan Bali di Gunungkidul

Siapa bilang liburan ke Jogja tidak bisa menemukan kombinasi pantai pasir putih, sunset yang menghanyutkan dan pura yang berdiri anggun bernuansakan negeri dewata, Bali. Bila kamu belum percaya mungkin pantai Parangtritis, pantai Parang Kusumo dengan “wisata malam minat khusus’nya, pantai Glagah, pantai Depok dan deret pantai lainnyalah yang lebih kamu kenal.

Adalah pantai Ngobaran, pantai yang terletak di desa Kanigoro, kecamatan Saptosari, kabupaten Gunungkidul, tempat yang berjarak kurang lebih 70 km ke arah tenggara dari pusat kota Jogja. Kamu bisa menemukan nuansa Bali setelah berkendara melawati jalan berkelok-kelok menembus pegunungan seribu.

Gerbang Pantai Ngobaran

Gerbang Pantai Ngobaran

Sebelum memasuki kawasan pantai, pengunjung akan disambut dengan gapura dan patung-patung bercorak Hindu. Patung-patung yang seolah mempersilakan sekaligus menegaskan pesan agar adab, etika dan kesantunan selalu dijaga di wilayah ini.

Jauh-jauh sampai di “Bali” rasanya mubadzir bila menyia-nyiakan untuk tidak langsung berpose. Mau narsis saja pakai banyak alasan. 😀

2013-03-10 14.29.25

Phew! Ada banyak hal menyenangkan yang bisa kamu lakukan di sekitar pantai ini. Duduk-duduk seperti ini, membiarkan wajah diterpa oleh angin yang membawa buih-buih air laut Samudra Hindia, menyilakan kedamaian merasuki jiwa.

2013-03-10 13.16.49

Baca lebih lanjut

Lapangan Udara TNI AU Gading, Tempat Keren untuk Lari / Jogging

Kemarin sore adalah yang keempat kalinya saya lari/jogging di Lapangan Udara TNI AU Gading, Gunungkidul, Yogyakarta. Minggu depan pasti yang ke-5 dan seterusnya saya akan jogging di sana.

Lapangan Udara TNI AU Gading

Lapangan Udara TNI AU Gading

Lapangan Udara TNI AU Gading

Lapangan Udara TNI AU Gading

Sebelumnya lintasan jogging favorit saya adalah jalan dari rumah saya di desa Grogol (Paliyan) ke selatan sampai Pasar Paliyan, sampai Puslatpur TNI AD, sampai bukit Sodong. Atau bolak-balik di sekitar kaki bukit Sodong, berhenti bila sudah sampai jarak tertentu. (baca: sudah lelah)

Selama bertahun-tahun jalan raya di sekitar Paliyan terasa bagus dan cocok untuk latihan lari/jogging karena bagi saya pemandangan alamnya yang indah. Kondisi jalanan yang berkelok dan naik turun juga memberikan sensasi tersendiri. Bila tidak mau dibilang melelahkan.

Tetapi akhir-akhir ini jalan raya dari Desa Grogol – Paliyan – Puslatpur TNI AD – Bukit Sodong agak kurang nyaman digunakan sebagai lintasan lari karena makin banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di sana. Apalagi pada hari Minggu atau musim liburan. Ruas jalan itu menjadi sesak karena menjadi rute bus-bus wisata berukuran besar menuju pantai-pantai di Gunungkidul. Terasa sangat menyiksa bila ketika terengah ingin banyak-banyak menghirup nafas tiba-tiba terpapar asap hitam dari knalpot. Apalagi bus-bus yang suka sembarangan mengklakson siapa saja.

Hal ini membuat saya untuk berpikir mencari alternatif tempat jogging atau lintasan lari yang baru. Ada banyak alternatif seperti jalan-jalan di kampung-kampung, alun-alun Pemda Gunungkidul dan Jalan Baru. Sampai pilihan saya jatuh di Bandara/Lapangan Udara TNI AU Gading.

Di kompleks Lapangan Udara TNI AU Gading yang biasanya digunakan orang-orang untuk latihan lari atau jogging adalah landasan pacu pesawat terbang. Panjang landasan pacu pesawat terbang di Bandara TNI AU Gading hampir 1.5 km. Jadi bila berlari satu putaran maka akan mendapatkan jarak hampir 3 km.

Running Track di Bandara TNI AU Gading

Running Track di Bandara TNI AU Gading

Menurut saya ada beberapa hal yang membuat Lapangan Udara TNI AU Gading bagus untuk jogging. Utamanya adalah udara yang bersih bebas dari asap knalpot. Berlari di sana kita tidak perlu was-was tertabrak kendaraan bermotor, tentu saja. Bila berlari di jalan raya kadang-kadang kita tergelincir oleh jalanan yang rusak berlubang, di Laud Gading hal ini tidak akan terjadi. Landasan pacu dibuat dengan aspal terbaik yang sangat halus dan rata. Tak heran bila di sana terlihat ada orang-orang yang berlari telanjang kaki (bare foot running). Ini yang berbeda dengan lintasan jogging saya di Paliyan, landasan pacu pesawat tentu saja tidak berkontur naik turun. Ini menurut saya cocok bagi pelari pemula. Masalah pemandangan alam, Lanud Gading juga tidak kalah, alam terbuka di sana berlatarkan perbukitan jajaran Patuk.

Lari itu sendiri sudah menguras tenaga dan memeras keringat. Lari sendirian apalagi, menguras semangat. Berbeda dengan ketika saya jogging di kaki Bukit Sodong yang sepi.  Tiap sore ada banyak orang yang berolah raga di sana. Ada yang lari dan jogging seperti saya. Ada yang bermain sepedaan. Apa pula di sana yang sekedar berolah raga rohani dengan jalan-jalan dan foto-foto selfie. Keindahan yang terpapar di Lanud Gading barangkali mereka pikir mubadzir bila tidak menjadi konsumsi tangkapan lensa. 😀

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bila berolah raga di Lanud TNI AU Gading diantaranya adalah: dilarang merusak dan mencorat-coret, dilarang membawa kendaraan bermotor melampaui batas yang ditentutkan, dilarang membuang sampah sembarangan dan diharapkan segera meninggalkan area Lanud bila sudah petang. Kemarin sore saya sempat diingatkan oleh petugas karena pada jam adzan Maghrib saya masih duduk-duduk di sana sendirian menunggu keringat di badan kering.

IMG_0297.resized

Oh iya. Bagi Anda yang tinggal di Gunungkidul dan suka dengan jogging/lari, silakan bergabung di Group Facebook yang saya buat: GUNUNGKIDUL RUNNERS dan follow akun twitter: @Run_GK Mudah-mudahan kita bisa berbagi info-info tentang lari. Syukur-syukur bisa turut mengajak lebih banyak orang untuk berlari. 🙂

Jadwal Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) di Gunungkidul

Semarak Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2014 telah berlangsung sekitar satu bulan terakhir. Even kebudayaan yang dihelat setahun sekali ini digelar di banyak tempat di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Jogja yang dikenal sebagai kota budaya tentu saja menampilkan produk kreatifitas terbaiknya pada acara festival seperti ini. Banyak pentas dan pertunjukan yang bagi saya sangat menarik. Hanya saja karena tempat pertunjukannya jauh dari rumah tinggal saya membuat tidak memungkinkan bagi saya untuk menonton semua event dalam rangkaian acara FKY ini.

Beruntung event Festival Kesenian Yogyakarta itu juga digelar di Gunungkidul, di kota Wonosari, tepatnya di bekas terminal lama yang terletak di desa Baleharjo. Event FKY diselenggarakan juga di Gunungkidul ini baru saya ketahui siang tadi ketika ada pemasangan jadwal FKY di pertigaan Siyono.

Berikut ini adalah Jadwal Festival Kesenian Yogyakarta di Gunungkidul:

1. Rabu, 3 September 2014

  • Jam 11:00 – 15:00 WIB – Kirab Budaya yang diikuti 18 kesenian unggulan yang mewakili 18 kecamatan se-Gunungkidul
  • Jam 15:00 – 17:00 WIB – Upacara Pembukaan dan Tarian Jathilan Kolosal
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Gelar Sanggar Tari
  • Jam 21:00 – 23:00 WIB – Pentas Campursari SRGK – Dhimas Tedjo Blangkon Gunungkidul

2. Kamis, 4 September 2014

  • Jam 15:00 – 17:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:30 WIB – Pentas Seni Reguler: Parade Kesenian Anak
  • Jam 21:30 – 02:00 WIB – Wayang Kolaborasi PEPADI Gunungkidul

3. Jum’at, 5 September 2014

  • Jam 15:00 – 17:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 23:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Parade Band

4. Sabtu, 6 September 2014

  • Jam 15:00 – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Gelar Sanggar Tari
  • Jam 21:00 – 23:00 WIB – Sendratari Ramayana

5. Minggu, 7 September 2014

  • Jam 15:00 WIB – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Gelar Sanggar Tari
  • Jam 21:00 WIB – 23:00 WIB – Reog Wayang Satria Pinandhita

6. Senin, 8 September 2014

  • Jam 15:00 WIB – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Musik Tradisional Thek Thek Laras Mudho – Tawar Sari
  • Jam 21:00 – 23:00 WIB Wayang Kampung Sebelah Ki Jlitheng Suparman

7. Selasa, 9 September 2014

  • Jam 15:00 WIB – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Orkes Keroncong
  • Jam 21:00 WIB – 23:00 WIB – Kethoprak Kolosal karya Bondan Nusantara

Mata acaranya ada banyak sekali. Rencananya besok malam saya akan menonton Gelar Sanggar Tari di Panggung Pentas Reguler dan bila tidak belum ngantuk akan menonton Campur Sari Tejo. Jadi bila kebetulan di sana ada yang melihat saya jangan segan untuk menyapa. Apalagi bila mau nraktir saya wedhang ronde, hehe.

Rasulan atau Bersih Dusun di Padukuhan Karangmojo B

Di desa dimana saya tinggal, tradisi Rasulan atau Bersih dusun (atau di desa lain dikenal dengan sebutan Bersih Desa) sudah lama dikenal dan sampai sekarang masih rutin dilaksanakan oleh masyarakat. Sebagaimana di desa-desa agraris lain di Jawa, Rasulan merupakan salah satu cara masyarakat Petani dalam mengungkapkan rasa syukur mereka kepada Tuhan yang telah melimpahkan sejahtera di bumi yang dihuni manusia ini. Jadi tak heran bila tradisi Rasulan dilaksanakan tiap selesai musim panen padi. Mengingat padi (beras) merupakan makanan pokok masyarakat Jawa dan mansyarakat di desa dimana saya tinggal.

Di desa dimana saya tinggal, Rusulan atau Bersih Dusun tidak dilaksanakan secara serentak. Desa saya yang terbagi menjadi beberapa dusun, masing-masing dusun umumnya mempunyai hari Rasulan tersendiri. Misalnya di dusun Senedi dilaksanakan pada hari Rabu Legi tiap selesai musim panen dan di dusun Karangmojo dilaksanakan pada hari Jumat Legi seusai musim panen. Seiring waktu, hari pelaksanaan Rasulan bukan lagi hal yang sakral. Jadi tak heran bila terkadang masyarakat menunda atau mengubah hari diadakannya acara Rasulan atau Bersih Dusun ini. Misalnya: Di Padukuhan (dusun) Karangmojo B, Bersih Dusun/Rasulan sudah dilaksanakan pada Hari Jumat Legi, 2 Mei 2014 sedangkan di Padukuhan Karangmojo B rasulan baru akan dilaksanakan setelah Puasa Ramadhan tahun ini, atau sekitar bulan Agustus kelak. Alasan penundaannya karena pada bulan-bulan ini masyarakat padukuhan tersebut sedang sibuk dan bila ditunda sampai bulan Agustus dipandang Rasulan bisa dilaksanakan dengan lebih meriah.

Di beberapa desa di Gunungkidul, pelaksanaan Rasulan dari tahun ke tahun memang dilaksanakan dengan semakin meriah. Rasulan yang pada jaman dulu sebatas berupa kenduri sederhana di balai desa/balai padukuhan dan pada malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang kulit, di beberapa desa kini Rasulan atau Bersih Desa berubah menjadi semacam pesta rakyat yang dilaksanakan secara meriah dalam beberapa hari. Ada desa yang dalam melaksanakan rasulan ini menggelar pasar malam, pesta rakyat, pameran, berbagai pentas seni tradisional dan lain-lain. Ada pula desa-desa di Gunungkidul yang mengoptimasi tradisi Rasulan sebagai daya tarik wisata budaya.

Rasulan di padukuhan saya sendiri bukan termasuk Rasulan yang meriah itu. Dari dulu sampai sekarang tetap dilakukan dengan cara sederhana. Bila tidak mau dibilang makin “sederhana”. Masyarakat di padukuhan dimana saya tinggal merasa cukup melaksanakan Rasulan dengan menggelar kenduri di balai padukuhan. Dengan membawa ke balai padukuhan makanan berupa masakan tradisional yang terdiri dari: nasi, sayur, tempe, rempeyek, nasi gurih, ingkung, ketan, jadah, masakan-masakan lain yang berbahan hasil bumi lainnya. Sesampainya di balai pedukuhan semua jenis masakan itu dikumpulkan dan setelah didoakan oleh pemuka agama, dibagikan lagi kepada masyarakat padukuhan itu sendiri dan kepada masyarakat padukuhan tetangga yang pada hari itu tidak melaksanakan tradisi Rasulan.

Begitu saja.

Bahkan beberapa rangkaian acara Rasulan yang oleh masyarakat dianggap bertentangan dengan ajaran agama, saat ini sudah dihilangkan, tidak dilakukan lagi. Apa yang dihilangkan itu diantaranya adalah: Mbuangi. Mbuangi adalah mengirimkan makanan dalam porsi dan cara tertentu kepada para penunggu sumur-sumur tua yang ada di sekitar Padukuhan.  Mbuangi ini mengingatkan masa kecil saya ketika bersama beberapa teman sebaya diperintah oleh pemuka adat untuk mbuangi ke Sumur Gede, Sumur Senedi dan Sumur Nglundo 🙂

Berikut ini adalah beberapa foto yang saya ambil dari tradisi rasulan yang diselenggarakan di padukuhan dimana saya tinggal:

 

Tulisan Mengenai Rasulan sebelumnya;

Oleh-Oleh dari Rasulan di Padukuhan Karangmojo B

Rasulan, Nonton Wayang

 

 

 

Kenthong Titir, Aksi Keprihatinan Masyarakat Gunungkidul Terhadap Money Politik

Kenthong Titir Tolak Politik Uang

Kenthong Titir Tolak Politik Uang

Partai Politik sebagai instrumen demokrasi di Indonesia diharapkan diantaranya melahirkan kader-kader politik yang siap di gedung parlemen memperjuangkan hak-hak rakyat dan memberikan fungsi pendidikan berdemokrasi kepada rakyat Indonesia. Kenyataannya harapan-harapan itu belum bisa dipenuhi oleh partai politik. Alih-alih partai politik malah menjadi kendaraan politisi jahat untuk mengangkut harta benda hasil korupsi. Lebih parah lagi, politisi-politisi jahat yang pada Pemilu 2014 kali ini berebut kursi legislatif  menghalalkan segala cara untuk mendulang suara konstituen dengan menggunakan politik uang. Politisi-politisi tak bermoral itu sekaligus mengajak dengan uang agar masyarakat menganggalkan standar moralnya. Parah!

Penggunaan uang (money politic) oleh banyak calon legislatif yang di Gunungkidul marak sampai ke pelosok-pelosok desa ini banyak menimbulkan keprihatinan. Kamis malam, 3 April 2014, di jejaring pertemanan Facebook beredar ajakan untuk melakukan keprihatinan menolak politik uang berupa doa bersama dan memukul Kenthongan Titir. Dalam ajakan itu disebutkan aksi keprihatinan ini akan bertempat di bunderan PLN sebelah timur kompleks perkantoran Pemda Gunungkidul pada keesokan harinya, Jumat siang, 4 April 2-14. Bak gayung bersambut, ajakan itu mendapatkan respon positif dari banyak pihak.

Sekitar jam 2 siang, ketika saya tiba di lokasi aksi, telah banyak berkumpul orang-orang yang bersiap melakukan aksi dengan segala perlengkapannya. Dalam aksi itu partisipasi datang dari berbagai elemen masyarakat. Di antaranya ada ikatan pelajar, mahasiswa, karang taruna, tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Hindu, Budha bahkan para pegiat kejawen di Gunungkidul, dan lain-lain.

Aksi keprihatinan menentang politik uang berupa doa bersama dan menabuh Kenthongan Titir berjalan lancar dan tertib. Acara yang diisi oleh orasi-orasi keprihatinan itu ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka-pemuka agama-agama yang hadir dan menabuh kenthongan titir secara bersama-sama. Menabuh kenthongan ini seolah kedengaran unik. Sesungguhnya menabuh kenthongan titir merupakan bentuk perlindungan keamanan komunal masyarakat di Gunungkidul ketika marabahaya terjadi. Kali ini marabahaya yang disebutnya memasuki Siaga 1 adalah politik uang yang diyakini sangat merusak kebangsaan kita.

Aksi keprihatinan menentang politik uang akhirnya selesai sekitar pukul 3 sore. Silakan menonton apa yang saya videokan dengan smartphone saya berikut ini:

 

Ada Festival Dewi Sri di Gunungkidul?

Saya mengenal Dewi Sri melalui buku-buku bacaan pada jaman Sekolah Dasar dulu. Dikisahkan dalam buku-buku itu Dewi Sri adalah dewi penjaga bagi kelahiran dan kehidupan. Yang mana sang dewi pun dengan kekuasaannya mampu mengatur hasil bumi, pangan manusia di dunia, terutama padi yang dilambangkan sebagai pangan manusia sejahtera. Jadi tidak terlalu salah bila Dewi Sri disebut juga Dewi Padi.

Minggu pagi pekan lalu (9 Maret 2014) perjalanan naik motor saya menuju Embung Langgeran, Pathuk, Gunungkidul sedikit terhambat oleh arak-arakan festival di ruas jalan di Desa Putat. Arak-arakan yang kemudian saya tahu sebagai Festival Dewi Sri. Sebuah festival yang mengingatkan saya pada suatu legenda yang saya tuliskan di dalam paragraf pertama di atas.

Festival Dewi Sri yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Putat itu terlihat semarak. Nampak diidukung oleh segenap elemen masyarakat desa dari anak-anak, pemuda pemudi, bapak ibu sampai beliau yang sudah tua namun terlihat antusias. Nampak pula oleh saya beberapa orang yang dari tindak tanduk gerak geriknya nampak bukan masyarakat biasa, kalau bukan perangkat desa mungkin mereka adalah pejabat pemerintahan setempat.

Dewi Sri yang difestivalkan sepanjang yang saya tahu bukanlah suatu adat budaya di Jawa, bukan pula suatu tradisi. Sependek yang saya tahu, dalam catatan sejarah Jawa merayakan rasa syukur atas panen bukanlah dengan kehiruk pikukan. Namun kalau boleh saya menyebutnya, ini bisa dibilang sebagai kontemporer-isasi istiadat. Toh dalam banyak hal, kehiruk pikukan semacam ini menyenangkan juga bagi banyak orang.

Beberapa hari yang lalu, masih dalam penasaran saya akan Festival Dewi Sri di Desa Putat, Pathuk, Gunungkidul ini, saya googling dan mendapatkan beberapa dari media online. Dari media online itu saya mendapati bahwa Festival Dewi Sri ini memang baru pertama kali diadakan di Desa Putat. Diinisiasi oleh masyarakat setempat dan didukung oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Festival Dewi Sri ini bertujuan untuk meningkatkan hasil panen. Hmmm… Ini terdengar klise, tapi tujuan berikutnya yang lebih masuk akal adalah disebutkan untuk memajukan sektor pariwisata di desa Putat itu.

Jumlah pengguna internet yang terus meningkat, angka pertumbuhan ekomoni yang cukup bagus dan infrastruktur yang sedikit demi sedikit terperbaiki adalah sebab mengapa arus wisatawan ke Gunungkidul dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkat. Jadi wajar-wajar bila makin banyak yang ingin mendapat bagi aliran wisatawan itu dengan banyak melakukan optimasi di sana-sini. Ada yang mengoptimasi wisata alam, wisata kuliner, wisata minat khusus, maupun wisata adat budaya seperti dengan mengadakan Festival Dewi Sri ini. 🙂

Menonton Malam Ramalan Cupu Panjolo

Bagi masyarakat pedesaan di Gunungkidul, Cupu Panjolo bukanlah nama yang asing. Cupu Panjolo sudah turun-temurun menjadi bahan perbincangan di masyarakat begitu tiba prosesi pembukaan kain penutup benda yang disebut cupu itu. Saya sendiri sudah mendengar para orang tua di desa dimana tinggal membicarakan cupu mistik ini sejak saya kecil. Dulu cerita-cerita mistik itu membuat saya sangat penasaran untuk melihat langsung prosesi Cupu Panjolo. Namun demikian penasaran saya itu baru terjawab tadi malam.

Tempatnya  tidak jauh dari desa dimana saya tinggal. Cukup ditempuh kira-kira 30 menit mengendarai sepeda motor. Yaitu di Dusun Mendak, Desa Girisekar, kecamatan Panggang, kabupaten Gunungkidul.

Mengenai apa cupu itu saya sendiri kurang bisa menjelaskan. Coba lihat foto berikut:

Gambar

Gambar saya comot dari sini. Nampak dalam foto ada 3 buah cupu yang sudah dikeluarkan dari kotak tempat penyimpannya.

Kemudian apa itu prosesi Cupu Panjolo?

Secara singkat prosesi Cupu Panjolo adalah prosesi penggantian kain (berupa kain kafan) yang digunakan untuk membungkus kotak yang mana di dalamnya tersimpan 3 buah cupu. Perlu diketahui bahwa kotak itu dibungkus tidak hanya dengan satu lembar kain. Melainkan menggunakan beberapa kain kafan yang ditata berlapis.

Apa yang menjadi perhatian bagi masyarakat yang menyaksikan prosesi ini ada pada proses pembukaan kain demi kain pembungkus ini. Dijelaskan oleh juru kunci (orang yang memimpin prosesi ini) bahwa tiap lapisan kain terdapat gambar atau simbol-simbol tertentu. Berikut saya cantumkan salah satu tweet dari rangkaian live tweet @AngkringanMedia:

Untuk mencari tahu gambar-gambar lain yang terdapat pada kain pembungkus dan informasi terkait cupu, silakan mencarinya di twitter dengan memasukan hashtag #cupupanjolo

Gambar-gambar dan simbol-simbol yang didapatkan dari kain pembungkus cupu ini, oleh masyarakat kemudian ditafsirkan sebagai ramalan tentang apa yang akan terjadi pada satu tahun ke depan. Mengingat prosesi ini dilakukan haya satu kali setiap tahunnya.

Oleh masyarakat, mulanya tafsir ini digunakan untuk menggambarkan cuaca, iklim, curah hujan dan hal-hal lain yang terkait dengan pertanian. Ramalan-ramalan yang digunakan untuk dasar mengambil keputusan misalnya tanaman apa yang cocok ditanam pada musim hujan yang akan datang, wabah hama tanaman apa yang perlu diantisipasi, dan lain-lain.

Hal demikian tentu mudah dipahami terjadi di tengah-tengah masyarakat agraris. 🙂

Uniknya belakangan ini penafsiran gambar-gambar pada kain pembungkus Cupu Panjolo makin meluas lebih dari ramalan pertanian. Gambar-gambar itu makin sekarang makin dikaitkan dengan perubahan  iklim sosial dan politik di masyarakat. Tak heran prosesi tadi malam banyak dihadiri oleh pelaku politik yang akan bermain pada 2014 mendatang. 😀

Namun demikian tulisan ini jangan ditafsirkan bahwa saya akan turut bermain sebagai pelaku politik pada musim pemilihan yang akan datang ya. hehe

Saya datang melihat langsung prosesi ini sebatas untuk menjawab penasaran kenapa prosesi yang sudah berlangsung tujuh turunan ini, sudah beratus-ratus tahun, kok sampai sekarang masih menarik kedatangan ribuan orang. Saya perkirakan prosesi ini didatangi lebih dari 3000 orang.

Nah, kalau ini perlengkapan Kang Suryaden dan Kang A Nasir semalam ketika mereka me-live streaming dan me-live tweet prosesi Cupu Kyai Panjolo.

Semoga benar apa yang semalam Kang Suryaden katakan untuk mengunggah video prosesi Cupu Panjolo. Agar yang semalam belum menyaksikan bisa melihat video dokumentasinya. Termasuk saya yang sudah tertidur sejak pembacaan beberapa lembar kain. 😀

Nonton Babad Dalan di Desa Sodo

Cita-cita saya sejak saya masih duduk di bangku SMP, kira-kira 18 tahun yang lalu, akhirnya tercapai pada hari Jum’at Kliwon (31 Mei 2013) pekan lalu. 18 tahun sungguh waktu yang sangat lama untuk sebuah keinginan menonton acara Babad Dalan. Saya sendiri tidak tahu apa yang menjadi masalahnya. Acara ini diselengarakan setahun sekali, bisa ditonton secara gratis dan diselenggarakan di sebuah desa yang tidak jauh dari desa dimana saya tinggal. Desa Sodo masih satu kecamatan dengan desa dimana saya tinggal. Jaraknya mungkin kurang dari 20 km.

Tempat dan Peristiwa Keren lainnya:

Yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang penting saya sudah menonton acara Babad Dalan di Desa Sodo yang termasyur itu.

Sebenarnya acara Babad Dalan serupa dengan Rasulan yang diselenggarakan di desa-desa lain di Gunungkidul sebagaimana dilakukan pula oleh warga di desa dimana saya tinggal. Bila belum tahu Rasulan, Rasulan disebut Bersih Desa di daerah lain. Rasulan atau Bersih Desa biasanya diselenggarakan di desa-desa pertanian umumnya di Gunungkidul. Rasulan diselenggarakan setelah para petani selesai panen padi. Rasulan merupakan pesta rakyat sebagai bentuk syukur atas panen palawija yang dipercaya masyarakat sebagai anugrah Tuhan.

Kenapa di Desa Sodo disebut Babad Dalan. Saya sendiri juga belum tahu. Berangkat dari rumah menuju Desa Sodo pada Jumat kemarin sudah terbersit keinginan untuk menanyakan sejarah Babad Dalan di Desa Sodo. Sayangnya di sana saya terjebak kemeriahan dan terlalu asyik jepret-jepret foto. Mudah-mudahan kelak saya bisa menjawab penasaran saya akan asal mula Babad Dalan ini.

Foto-foto lain bisa dilihat di Album Google+ di sini.