Seragam (Karena Bosan Beragam?)

Seorang ibu-ibu di desa dimana saya tinggal malam itu menemui saya yang sedang khusuk menonton pentas kethoprak. Ibu-ibu itu menyampaikan maksud agar saya bantu mengajukan permintaan sumbangan dana untuk membuat baju seragam organisasi dimana ia aktif. Mungkin organisasi PKK kalau bukan Dasa Wisma, saya tidak persis ingat. Ketika saya tanya kenapa untuk hal itu ia datang kepada saya, jawabnya karena biasanya di desa ini saya biasanya menyalurkan bantuan-bantuan.

Saya pun berusaha mengerti maksud ibu-ibu ini. Kemudian saya jawab kali ini saya belum bisa membantu.

Pada kesempatan-kesempatan yang lain, saya sering diajak oleh kawan-kawan saya untuk membuat seragam. Seragam untuk komunitas ini dan itu. Seragam untuk organisasi ini dan itu. Seragam untuk profesi ini dan itu. Ada banyak sekali ajakan membuat baju seragam di negeri dimana komunitas mudah tumbuh (dan mati) bak cendawan di musim hujan. Tak heran di negeri dimana saya menyebutnya sebagaiĀ negeri 1001 komunitas ini telah memberi saya banyak sekali baju seragam. Terlalu banyaknya sampai baju-baju seragam itu hanya dipakai beberapa kali saja. Kemudian disimpan di dalam almari pakaian.

Belum lama ini seorang teman mengajak saya untuk kedua kalinya untuk membuat baju seragam. Pikir saya apa pentingnya membuat baju seragam. Mungkin berbaju seragam akan membuat kelihatan lebih kompak. Pikir saya lagi, untuk apa “kelihatan kompak”, toh kita bukan sedang mencari eksistensi. Yang terpenting adalah bagaimana memberi dedikasi dengan bekerja secara profesional. Saya pun mencoba untuk tidak ikut membuat seragam dan mencoba mencari cara menolak ajakan dengan sopan.

Kaitannya dengan seragam, ini bagi saya menarik untuk menjadi sebuah pertanyaan. Kenapa teman-teman di lingkungan dimana saya bergaul (mungkin juga berlaku di Indonesia) suka berseragam, misalnya dengan mengenakan baju seragam, topi seragam, celana seragam atau asesoris tertentu sebagai seragam. Apakah ini bagian dari produk pendidikan di negeri ini? Ingat kita sudah sejak kecil, sejak masih TK sampai SMA, sampai bekerja dididik untuk mengenakan seragam?

Pertanyaan saya yang lebih ngaco adalah: Apakah kita sudah bosan menjadi bangsa yang ber-bhineka, bangsa yang kaya akan keberagaman? Entahlah šŸ˜€

Iklan

Lebih Suka Duduk di Belakang

FullSizeRender (1).jamaah

Khatib Jum’at telah mengucapkan salam khotbah pertamanya. Muadzin mengumandangkan seruan adzan. Beberapa jamaah nampak telah duduk, siap mendengarkan khotbah. Di depan mimbar khotbah nampak shaf yang belum terisi penuh. Saya berdiri beberapa shaf di belakangnya menunggu adzan selesai, sambil memotret foto di atas. Usai kumandang adzan saya ingin shalat tahiyatul masjid dulu sebelum duduk mengengarkan khotbah.

Di kanan kiri dan belakang saya ada banyak jamaah Jum’at yang masih berdiri, yang sudah duduk pun ada. Seperti saya, mereka enggan untuk duduk mengisi terlebih dulu shaf di depannya atau yang paling depan. Entah kenapa keutamaan dan kebaikan shaf pertama dan shaf-shaf terdepan dalam shalat berjamaah terlihat kurang menarik greget para jamaah. Saya sendiri masih minderĀ untuk mengambil tempat persis di belakang imam. MakmumĀ persis di belakang imam diutamakan untuk menggantikan bila karena satu dan lain hal imam batal shalat. Saya merasa belum cukup ilmu untuk itu.

Kebiasaan menghindari tempat duduk atau shaf terdepan ini saya lihat tidak hanya terjadi pada shalat berjamaah. Di rapat-rapat di perkantoran saya lihat begitu. Di kelas saya dulu pun begitu seandainya tempat duduk tidak diatur sedemikian rupa oleh guru. Apalagi kalau di kelas sedang ada ujian. Pasti saya dan teman-teman saya akan berebut menduduki bangku yang paling istimewa. Posisi menentukan prestasi. Begitu pepatah yang berlaku.

Saya tidak tahu apakah kebiasaan menghindari tempat duduk terdepan ini hanya berlaku untuk orang-orang Indonesia saja atau terjadi dimana saja di seluruh dunia. Entahlah. Yang jelas saya tahu orang-orang akan berebut di tempat terdepan ketika sedang menonton konser dangdut di alun-alun.

ps :

topik khotbah jum’at tadi adalah hubungan antara sedekah dan rejeki

Jadwal Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) di Gunungkidul

Semarak Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2014 telah berlangsung sekitar satu bulan terakhir. Even kebudayaan yang dihelat setahun sekali ini digelar di banyak tempat di kota Yogyakarta dan sekitarnya. Jogja yang dikenal sebagai kota budaya tentu saja menampilkan produk kreatifitas terbaiknya pada acara festival seperti ini. Banyak pentas dan pertunjukan yang bagi saya sangat menarik. Hanya saja karena tempat pertunjukannya jauh dari rumah tinggal saya membuat tidak memungkinkan bagi saya untuk menonton semua event dalam rangkaian acara FKY ini.

Beruntung event Festival Kesenian Yogyakarta itu juga digelar di Gunungkidul, di kota Wonosari, tepatnya di bekas terminal lama yang terletak di desa Baleharjo. Event FKY diselenggarakan juga di Gunungkidul ini baru saya ketahui siang tadi ketika ada pemasangan jadwal FKY di pertigaan Siyono.

Berikut ini adalah Jadwal Festival Kesenian Yogyakarta di Gunungkidul:

1. Rabu, 3 September 2014

  • Jam 11:00 – 15:00 WIB – Kirab Budaya yang diikuti 18 kesenian unggulan yang mewakili 18 kecamatan se-Gunungkidul
  • Jam 15:00 – 17:00 WIB – Upacara Pembukaan dan Tarian Jathilan Kolosal
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Gelar Sanggar Tari
  • Jam 21:00 – 23:00 WIB – Pentas Campursari SRGK – Dhimas Tedjo Blangkon Gunungkidul

2. Kamis, 4 September 2014

  • Jam 15:00 – 17:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:30 WIB – Pentas Seni Reguler: Parade Kesenian Anak
  • Jam 21:30 – 02:00 WIB – Wayang Kolaborasi PEPADI Gunungkidul

3. Jum’at, 5 September 2014

  • Jam 15:00 – 17:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 23:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Parade Band

4. Sabtu, 6 September 2014

  • Jam 15:00 – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • Jam 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Gelar Sanggar Tari
  • Jam 21:00 – 23:00 WIB – Sendratari Ramayana

5. Minggu, 7 September 2014

  • Jam 15:00 WIB – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • JamĀ 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler: Gelar Sanggar Tari
  • Jam 21:00 WIB – 23:00 WIB – Reog Wayang Satria Pinandhita

6. Senin, 8 September 2014

  • Jam 15:00 WIB – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • JamĀ 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler:Ā Musik Tradisional Thek Thek Laras Mudho – Tawar Sari
  • Jam 21:00 – 23:00 WIB Wayang Kampung Sebelah Ki Jlitheng Suparman

7. Selasa, 9 September 2014

  • Jam 15:00 WIB – 16:00 WIB – Pentas Reog dan Jathilan
  • JamĀ 19:30 – 21:00 WIB – Pentas Seni Reguler:Ā Orkes Keroncong
  • Jam 21:00 WIB – 23:00 WIB – Kethoprak Kolosal karya Bondan Nusantara

Mata acaranya ada banyak sekali. Rencananya besok malam saya akan menonton Gelar Sanggar Tari di Panggung Pentas Reguler dan bila tidak belum ngantuk akan menonton Campur Sari Tejo. Jadi bila kebetulan di sana ada yang melihat saya jangan segan untuk menyapa. Apalagi bila mau nraktir saya wedhang ronde, hehe.

Prajurit Kraton Kenapa Tua-Tua

Prajurit Kraton di Flyover Janti

Prajurit Kraton di Flyover Janti

Gambar-gambar prajurit kraton yang terpapar dalam ukuran sangat besar di pilar-pilar jembatan layang ini menarik perhatian saya. Alih-alih melanjutkan perjalanan, saya malah mendekat ke pilar jembatan mengamati lebih dekat gambar-gambar prajurit kraton itu. Kemudian memotretnya dengan iPhone saya.

Ruang-ruang publik seperti pilar jembatan layang digunakan untuk menempatkan simbol-simbol budaya menurut saya bagus. Lebih bagus daripada sekedar dijadikan lahan mencari uang oleh Pemerintah Kota. Namun yang sebenarnya menarik bagi saya adalah penggambaran prajurit kraton itu sendiri. Kenapa prajurit kraton digambarkan berukuran besar sebagai sosok yang tua-tua? Mengapa prajurit kraton tidak digambarkan sebagai sosok pemuda yang gagah berani. Sosok yang siap berperang melawan musuh.

Prajurit kraton yang digambarkan sebagai orang-orang tua yang berpakaian prajurit itu memang sebenarnya menggambarkan realita, kenyataan bahwa saat ini prajurit kraton, sepanjang yang saya tahu, memang diisi oleh bapak-bapak yang sudah berusia tidak muda lagi. Setidaknya memang demikian yang kita lihat ketika menyaksikan parade (iring-iringan) Prajurit Kraton pada acara-acara tertentu seperti Grebeg Maulud dan lain-lain.

Parade Prajurit Kraton di Upacara Grebeg Maulud

Parade Prajurit Kraton di Upacara Grebeg Maulud

Parade Prajurit Kraton di Acara Grebeg Maulud

Parade Prajurit Kraton di Acara Grebeg Maulud

Saya tidak tahu apakah prajurit kraton memang dipilih pria yang sudah senior atau pemuda sekarang kurang tertarik menjadi prajurit kraton. Saya hanya membayangkan bila yang digambarkan dijembatan layang adalah sosok prajurit yang muda, gagah, ganteng dan kelihatan pintar.

 

Gerhana …

Sekarang gerhana bulan terjadi di atas desa dimana saya tinggal.

Gerhana bulan total pada malam ini akan terjadi pada pukul 21:06 WIB. Darimana saya tahu? Jawabnya dari twitter. Mulanya saya tahu kalau sekarang ada gerhana juga dari twitter. Hehehe

Pada jaman dulu, ya pada jaman dulu, jaman-jaman saya masih tiap hari menggembala kambing dan sapi di hutan sebelah barat desa, tanda-tanda akan adanya gerhana bulan adalah suara gemuruh yang seolah datang dari timur atau tenggara. Suara gemuruh itu makin lama makin terdengar jelas. Sampai jelas itu bunyi-bunyian kothek’an dan kenthongan yang ditabuh. šŸ™‚

Biasanya orang-orang di desa dimana saya tinggalpun, termasuk nenek saya dan nenek-nenek tetangga akan keluar rumah mengamati apa yang terjadi. Kemudian ikut memukul bunyi-bunyian kenthongan dan kothek’an dengan aneka dendang. Unik dan lucu-lucu sekaligus gayeng sekali. Gayeng karena kothekan lesung itu ditabuh bersama-sama oleh beberapa nenek tetangga. šŸ˜€

Mereka akan berhenti kothekan sampai gerhana usai. Sampai bulan dimuntahkan kembali oleh Raksasa “Buto” yang menelanya bulat-bulat. Mitos ini entah datang darimana dan jaman apa.

Kini seperti itu sudah tidak terdengar lagi. Tidak ada orang menabuh kothekan dan kenthongan.

Kalau perubahan ini karena agama/agama Islam, orang-orang pasti menunaikan shalat gerhana. Tapi kalau gerhana menular menjangkiti timeline social media, perubahan macam apa ini? Hehe

Kok saya malah nge-blog … šŸ˜€

Posted with WordPress for BlackBerry 1.5 via Telkomsel network

Komputer Kok Cuman Buat Dengerin Lagu

Saya suka musik. Tiada hari tanpa musik mengalir ke kedua telinga saya. Kegemaran akan musik sudah ada sejak jaman radio AM/MW bertenaga batu baterai pada era 90-an. Setelah itu saya mulai mengenal toko kaset. Kemudian jaman Compact Disk yang segera disingkirkan oleh MP3.

Music player yang saya punya sekarang adalah komputer. Kadang – kadang memutar musik menggunakan ponsel saya. Habis tidak punya iPod sih. Kadang – kadang itu diantaranya adalah bila sedang mati listrik. šŸ˜€

Tidak ada lagi tape recorder/player, Compo CD Player di kamar saya. Entah gadget – gadget itu sudah berpindah tempat kemana. Saya lebih enjoy mendengarkan musik dengan komputer yang saya sambungkan ke stereo set dengan power amplifier yang saya rangkai sendiri sesuai selera.

Komputer memang alat bantu yang keren. Alat bantu yang cukup handal untuk menikmati musik tanpa repot. Tanpa repot mengganti – ganti kepingan CD. Mudah menyusun playlist, mudah menemukan lagu – lagu dalam koleksi audio digital saya yang seabreg seukuran lebih dari 40 Giga itu, secara otomatis menemukan lagu dan playlist favorit serta dijaman yang serba terkoneksi ini untuk membagikan semangat playlist dengan kawan – kawan. Baca lebih lanjut

Unggah Ungguh

Seorang kawan saya, dia berusia beberapa tahun lebih senior dari saya, mengungkapkan kejengkelannya di depan saya akan perilaku anak – anak muda jaman sekarang yang ia nilai tidak tahu unggah – ungguh dan mengesampingkan tata krama. Kawan saya itu merasa tidak nyaman/tersinggung karena baru saja ada remaja usia belasan yang memanggil namanya tanpa embel – embel “mas”, “pak” atau panggilan sopan lainnya.

Di lingkungan dimana saya tinggal, yang mana budaya jawa sangat mewarnai etika pergaulan, adalah hal yang lumrah apabila orang – orang yang relatif lebih muda menunjukan rasa hormat kepada orang – orang yang lebih senior. Misalnya seseorang menaruh hormat kepada kakaknya, kepada para orang tua dan kepada orang yang dituakan. Orang yang mengabaikan panggilan sopan ini disebut “nranyak/njangkar

Bentuk rasa hormat dalam budaya jawa bisa diungkapkan diantaranya dengan menempatkan kata panggilan “Mas” atau “Mbak” untuk orang yang lebih senior, kata panggilan “Pak” atau “Bu” untuk para orang tua, dan lain – lain. Tidak kalah pentingnya di dalam pergaulan Jawa, untuk menjaga kesopanan seseorang harus menggunakan Boso Jawa Kromo/ Bahasa Halus dengan orang yang lebih senior, orang tua, atau orang yang dituakan. Orang jawa menyebut anak yang tidak bisa berbahasa Jawa Halus ini dengan sebutan/ungkapan “ora iso nekuk ilatBaca lebih lanjut

Kamu yang menjadi Imam. Tidak Kamu saja

Di suatu shalat Isya di suatu masjid, hanya ada beberapa pemuda yang bertampang tidak alim. Tidak seperti biasa, jamaah yang lain sepertinya sedang tidak akanĀ  bershalat Isya’ di masjid itu.

Beberapa pemuda itu entah kenapa terus saja ngobrol entah apa yang dibicarakan. Mereka cuek atau memang tidak mendengar kalau di masjid tetangga, Iqamah sudah dikumandangkan. Atau mungkin ada yang mereka tunggu. Mungkin menunggu biar jamaah lain terkumpul agar jamaah lebih banyak. Atau apa?

“Kamu yang jadi imam ya” dari ngobrol tidak karuan mereka, kalimat itu yang agak terdengar.
“Ngga bisa, kamu saja”
“Kamu …”
“Kamu …”

Salah satu pemuda tidak alim itu kemudian menyudahi pertengkaran dan legawa menerima musibah untuk mengimami jamaah isya yang tidak banyak itu.

Shalat Isya berlangsung cepat. Bacaan shalat di baca cepat. Tajwid dan Qalqalah sepertinya bukan isu yang perlu diseriusi malam itu.

Beberapa pemuda itu tanpa banyak apa segera menuju tempat nongkrong di perempatan yang biasanya. Memang itulah rutinitas mereka sehari hari.

Tidak terlalu lama Ā waktu berselang. Di jalan itu lewat serombongan orang yang sepertinya mirip dengan mereka mereka yang menjadi pemuka dan berjamaah di masjid. Kalau tidak salah loh … Mereka itu dari menunaikan acara kenduri, ‘genduren‘ untuk selamatan bagi orang yang telah meninggal di kampung mereka.

Oh jadi itu sebabnya jamaah pada malam itu tidak biasa!

Keistimewaan JOGJA

Everyday is Sunday in Jogja

Itu. Dulu tertulis di kaos kaos dagadu. Sekitar tahun berapa ya 97 an kali. Everyday is Sunday in Jogja. (Kota) Istimewa. Sangking istimewanya sehingga Setiap Hari adalah Hari Minggu. Luar Biasa ya. Istimewa banget.

Iya memang Keistimewaan (seharusnya) selalu melekat dengan Jogja, dan semua yang ada di Jogja tanpa terkecuali

[ Termasuk aku juga, sangat Istimewa, unik, mbedani dan tidak ada duanya he he he ]

Tetapi mengapa pembahasan tentang keistimewaan Jogja menjadi begitu berlarut larut. Padahal masalah ini sudah ada sejak jaman Orla, Orba, sampai era Mendagrinya Mr Mardiyanto. Masyarakat Jogja termasuk dan tidak terbatas pada Paguyupan Ismawa menuntut untuk segera ditetapkan/disahkanya UU tentang Keistimewaan Jogja. Segera …

“Keistimewaan Jogja harus diposisikan pada tempat yang pas. Dalam konteks penegakan Demokrasi ( dalam hukum legal RI tidak dikenal Gubernur/Presiden Seumur Hidup), keutuhan NKRI dan Pemahaman Kesejaharan D I Y”

[ Omongan siapa ya, WoooOoooW … Lha Embuuuh ]

Yang jelas sebagai warga Ngayogyakarto hadingingrat,

Saya ingin UU Keistimewaan Jogja segera ditetapkan dengan mengacu pada pemahaman Sejarah, Aspirasi Warga Jogja Bukan kepentingan politik praktis partai partai yang oportunis ( — mengingat setahun lagi akan berlangsung pesta Demo Crazy … eh maaf “Demokrasi”) dan Kemaslahatan Bangsa INDONESIA ( dalam konteks penegakan Demokrasi )

Lan dumatheng sedoyo warga Ngayogyakarto, Monggo sami sami mberjuangaken Keistimewaan Jogja, mawi cara cara ingkang “ISTIMEWA”, kanthi adab budaya inggil, sopan santun tata kromo, penggalihan ingkang tepo sarira.

Mugi ingkang mekaten saget dados tepo thulodo tumrap daerah sanes? Ngatonaken budoyo lan peradapan Inggil Ngayogyakarto

[ Nggiiiih Mmmbbaaaah ….]

Bagaimana “Keistimewaan Jogja menurut Anda?”