Kemarin siang, saya chating dengan teman daring (baca : on line) saya, mbak Darmala Majid, dia bercerita kalau beliau sedang di Jakarta untuk mengikuti konggres Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia. Saya untuk sejenak mengambil nafas dalam. Ada sebuah momentum yang digelar bersamaan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda. Sebuah Momentum dimana 80 tahun yang lalu, anak bangsa ini menemukan bentuknya dan terkristalisasi dalam bait bait Sumpah Pemuda.
PERTAMA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH-DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
KEDOEA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
KETIGA.
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA.
Pada saat itu Pemuda Bangsa ini menyadari arti penting suatu Bahasa sehingga mereka menuangkan dalam butir sumpah ketiga. Bahasa sebagai kekuatan perekat untuk mengintegrasikan banyak ragam etnis dan suku dengan sumbang sih berupa adat, budaya dan tentu saja bahasa masing – masing. Sehingga berbahasa Indonesia adalah identik dengan menyatakan keindonesiaan diri.
Ketika perjalanan waktu sudah menginjak pada suatu tempat yang disebut sekarang, banyak orang termasuk saya yang tidak benar – benar merasakan ruh perjuangan dalam Bahasa Indonesia. Seorang saya lebih banyak menonjolkan egoisme dan berbahasa dalam arti yang sempit. Kekuatan Persatuan dan integrasi kerap kali tidak muncul sebagai nilai yang dibawa oleh sebuah Bahasa Nasional.
Hal ini dapat saya rasakan ketika saya berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dengan teman dan kerabat yang lebih berbhineka (baca : beragam). Ketika saya berbicara dengan teman – teman dari Indonesia Timur atau Indonesia Barat sekalipun, ternyata dalam bahasa yang kami pergunakan, yang konon merupakan sesama berbahasa Indonesia ternyata banyak hal yang tidak terkomunikasikan dengan benar. Muncul banyak perbedaan pemahaman dan persepsi didalam penggunaan bahasa yang konon juga merupakan Bahasa yang sama, Bahasa Indoneia.
Sebuah perenungan untuk menanyakan kembali keindonesiaan saya.
Dalam artikel inipun saya percaya banyak sekali penyimpangan secara tidak sengaja dari aturan baku berbahasa Indonesia walaupun dalam menulisnya sudah berusaha untuk berhati – hati. Pasti tulisan saya yang lain lebih buruk lagi bila dicermati dari sudut pandang pembahasaan. Hal tersebut bukan berarti saya sepenuhnya cuek dengan urusan berbahasa. Karena Bahasa itu sesuatu yang dinamis dan mengikuti jaman, maka saya lebih suka dalam menuturkan sesuatu dengan cara kekinian yang mengalir.
Untuk lebih jauh tentang sejarah Bahasa Indonesia klik disini.
Menyukai ini:
Suka Memuat...