Tung Tak Tung Jazz, Ngayogjazz 2014

Esensi ngayogjazz adalah hujan-hujan. Begitu seorang kawan meyakinkan saya agar tidak jera untuk datang lagi menikmati ritual ngayogjazz tahun ini di Dewa (Desa Wisata) Brayut, Pendowoharjo, Sleman, Yogyakarta.

Saya memang ragu apakah tahun ini saya akan ke ngayogjazz apa tidak. Ini tidak lepas dari pengalaman saya hampir masuk angin ketika pada tahun 2012 saya kedinginan dan hujan-hujanan di tengah-tengah Ngayogjazz. Ngayogjazz yang sama-sama bertempat di Desa Brayut. Hujan-hujanan yang tidak kalah basah terjadi pada Ngayogjazz tahun 2013 di Desa Sidoakur, Godean, Sleman, Yogyakarta.

Ngayogjazz memang selalu unik dan kreatif. Konsep membaur dan merakyatnya saya kira tidak akan pernah ada di tempat lain. Inilah yang menghapus bimbang saya.

Tidak peduli pagi harinya (Sabtu, 22 November 2014) saya sudah menguras banyak energi mengikuti 11 K Birthday Run Indo Runner chapter Yogyakarta, sore harinya saya lanjutkan mengeluarkan motor dari rumah. Motor yang akan saya kendarai sejauh lebih dari 50 km menuju Desa Wisata Brayut dimana Tung Tak Tung Jazz dihelat.

Dengan mengendarai sepeda motor, saya memperkirakan akan sampai dalam waktu 1 jam. Saya berangkat jam 4 sore berharap akan tiba di sana sekitar pukul 5 menjelang Maghrib. Saya membayangkan jam-jam itu adalah waktu ideal memotret kreatifitas yang bertaburan di Ngayogjazz sepanjang sore.

Sayang keberuntungan kurang begitu berpihak. Macet di Jalan Wonosari – Jogja menahan laju saya. Kenaikan harga BBM rupanya tidak cukup menghalangi nafsu orang untuk berwisata ke Gunungkidul. Banyaknya bus wisata dan kendaraan pribadi wisatawan, diperparah oleh sebuah truk rusak membuat ruas jalan Pathuk, Gunungkidul sampai Piyungan macet total dengan panjang macet sekitar 5 km. Perjalanan Rumah – Ngayogjazz yang seharusnya cukup sekitar 1 jam berubah menjadi 2,5 jam.

554

Sekitar pukul 18:30 WIB tempat-tempat parkir di area Ngayogjazz penuh. Beruntung saya masih mendapat satu slot  parkir di SMA N 2 Sleman.

555

Saya segera bergegas menembus kepadatan manusia di Ngayogjazz, melihat peta panggung dan jadwal pentas untuk kemudian menuju Panggung Bangbung dimana Dewa Bujana melakukan pertunjukan. Manusia berjubel di depan dan kanan kiri Panggung Bambung. Panggung Bang Bung -nya sendiri tidak cukup terlihat dari balik manusia yang berjubel. Saya berusaha menengok Panggung Bang Bung dengan memanjat pagar tembok seperti orang-orang yang lain. Hanya untuk mendapati bahwa menembus ke depan panggung itu susah.

589

592

Meski sulit, saya pun berusaha legowo untuk tidak merangsek ke depan. Saya legowo dengan mencoba menikmati permainan gitar bujana dengan telinga dan dari kejauhan saja. Tidak apa-apa tanpa melihat wajah Bujana. Aku ora popo.

607

609

613

Dewa Bujana kelar, saya pun menuju ke panggung yang lain. Sayup-sayup terdengar suara seorang MC Senior yang sudah lama hilang dari peredaraan. Ia adalah Endro Plered. Saya pun segera mendekat ke panggung itu dan ketawa ketiwi bebarengan dengan penonton-penonton lain yang mulai merangsek ke depan panggung. Blues is another Jazz. Di Panggung ini artis nge-blues Syarif Hidayatullah saya nikmati beberapa permainan lagunya.

Panggung yang menurut saya berdesain paling unik dan indah dengan konsep hutan cahayanya adalah Panggung Dang Dung. Di sinilah saya menyelesaikan menonton Ngayogjazz dengan pementasan Band Syahdu yang luar biasa.

578

621

622

625

Oh iya…

Ada satu hal yang menurut saya istimewa dalam Ngayogjazz 2014 ini. Dalam 3 pentas Ngayogjazz yang terakhir, ini adalah satu-satunya Ngayogjazz yang tidak diguyur hujan. Sehingga pengalaman ber-ngayogjazz bisa dinikmati tanpa khawatir masuk angin. Sekaligus bisa dianggap sebagai satu-satunya Ngayogjazz “tanpa esensi”, tanpa hujan-hujanan. Ini sekaligus menjadi berkah bagi warga Desa Brayut yang aneka dagangannya laris manis tanpa takut rusak oleh hujan. Mati listrik di sepenjuru desa yang terjadi sejak pukul delapan malam tidak begitu masalah. Malah menciptakan potongan-potongan romantisme.

Lorong Gumantung Tresnamu/Lurung Gumantung Atimu

Lorong Gumantung Tresnamu/Lurung Gumantung Atimu

Menurut Mas Lantip desa dimana yang akan ditempati Ngayogjazz itu “pepulungan”, serba kebetulan, termasuk tahun 2014 yang “balen” di Brayut maupun dimana Ngayogjazz 2015. Apakah #ngayogjazz 2015 kelak akan diguyur hujan atau tidak itu juga sepenuhnya hak prerogatif Gusti Alloh, bukan tergantung kinerja pawang hujan apalagi pawang ular.

Semoga kita senantiasa Sehat Jazz-mani dan Rohani. Sampai Jumpa di Ngayogjazz 2015, bila kita dikaruniai umur panjang! 🙂

Iklan

2 Bulan Berlari dengan Nike Pegasus 31

Alasan saya membeli sepatu lari yang agak mahal sebenarnya ini: agar bila saya sedang malas berlari, saya akan merasa merugi, sudah membeli sepatu mahal-mahal kok hasilnya tetap saja sama: malas berolah raga. Jadi saya harus terus semangat berlari agar tidak merugi.

Mahal dan tidak mahal untuk sebuah sepatu lari itu subyektif. Maka mahal ini adalah mahal berdasarkan standar saya. Saya menganggapnya mahal karena saya berlu mengumpulkan uang sedikit-sedikit sampai terkumpul uang sepatu ini.

Karena mendapatkan uang sepatu ini tidak mudah, maka sebelum memutuskan untuk membelinya saya melakukan riset kecil-kecilan. Agar uang itu terbelikan sepatu yang tepat. Saya memang sebelumnya sudah mempunyai preferensi sepatu lari sepatu apa yang ingin saya beli. Di samping untuk memastikan tidak salah pilih, saya browsing-browsing tentang sepatu lari dan review atau pendapat orang-orang tentang suatu sepatu lari.

Saya akan berlari di jalan aspal bukan di lintasan lari sintetis bukan pula trail. Karenanya saya tidak akan membeli trail running shoes. Trail running shoes ini menjadi pertimbangan saya setelah saya merasa teruji berlari di jalanan. hihi.

Pertimbangan penting berikutnya adalah bentuk telapak kaki. Melalui pengamatan sederhana dengan menempelkan telapak kaki yang dibasahi ke lantai, bisa saya ketahui jenis telapak kaki saya tergolong normal dengan agak high arch.

Pertimbangan berikutnya adalah gaya lari. Ini yang belum pernah saya perhatikan sebelumnya. Sebelumnya saya hanya yang penting berlari. Ini cukup memakan waktu sampai saya mengetahui saya termasuk tipe pronator.

Dalam beberapa tahun terakhir kebetulan saya menggunakan sepatu lari merk Nike. Yaitu Nike Airmax 2010 dan Nike Lunar Forever. Pertimbangan kenapa saya membeli sepatu itu adalah karena menurut saya bentuknya: keren. Begitu saja. Kali ini bentuk dan desain keren saya pikir tidak cukup. Selain bentuk dan desain keren, haruslah sepatu yang tepat juga.

Pilihan saya akhirnya jatuh kepada: Nike Zoom Pegasus 31. Saya membelinya di Nike Store di Ambarukmo Plaza, Yogyakarta. Dengan harga 1.599.000,-. Nah, mahal? Jangan nyinyir meski bagi anda harga segini tidaklah mahal. Sekali lagi, ini mahal untuk standar saya sendiri.

Ada beberapa pilihan warna Peg 31 ini. Karena saya belinya sudah 2 bulan yang lalu, saya sudah lupa ada warna apa saja. Yang jelas, saya membawa pulang Peg 31 warna Biru Volt.

Saya mencoba sepatu ini pertama kali untuk berlari-lari kecil di landasan pacu Lapangan Udara TNI AU Gading. Saya pikir landasan pacu di Lapangan Udara jauh lebih bagus dari jalanan aspal di lingkungan saya, bebas kubangan, bebas batu dan kerikil, bebas asap kendaraan pula. Saya ingin pengalaman yang optimal.

Pegasus 31 menurut saya baru merasa nyaman di kaki setelah digunakan berlari 1 sampai 2 km. Sebelum mencapai 2 km rasanya foot strike saya aneh. Beberepa km berikutnya Peg 31 terasa nyaman. Apalagi dalam berlari saya terbiasa mendarat dengan bagian tengah kaki. (mid foot). Oh, iya. Untuk diketahui: berat badan saya sekitar 50 kg dan tinggi badan 165 cm. Kurus ya? 😀

Sedikit ketidak nyamanan Pegasus 31 bagi saya adalah: Peg 31 mempunyai bagian depan/ fore insole yang sempit. Ujung-ujung jari kaki saya rasanya terjepit ketika mengenakan sepatu ini. Ini juga yang saya curigai sebagai penyebab blister yang pertama kali saya alami. Blister di kedua kaki saya itu terjadi ketika saya berlari dengan Peg 31 sejauh 8,5 km di Lapangan Udara TNI AU Gading beberapa waktu yang lalu.

Mungkin kaki saya memang yang punya bagian depan yang melebar. Bagian depan sepatu yang terasa beruang sempit ini mungkin bisa diatasi dengan memilih sepatu yang satu ukuran lebih besar. Saya kemarin memilih Pegasus 31 yang berukuran 41. Kenapa, karena sebelumnya saya merasa nyaman dengan Nike Airmax 2012 dan Nike Luar Forever berukuran 41. Mungkin untuk Peg 31 harusnya saya memilih ukuran 42.

Jadi bimbang apakah akan membeli lagi Pegasus yang sama dengan satu ukuran lebih tinggi. Tentu saja saya harus sedikit sabar mengumpulkan uang lagi bila harus membeli Peg 31 ukuran 42. Lari berikutnya saya mencoba berlari dengan Peg 31 yang sama, tetapi tidak menggunakan kaos kaki. Ternyata Peg 31 juga sangat nyaman digunakan berlari tanpa kaos kaki. Sedikit yang mengganggu adalah bila kaki sudah berkeringat, di telapak kaki bagian tumit terasa lengket.

Kemudian saya berpikir untuk membeli kaos kaki baru yang tipis. Setelah melihat-lihat jenis-jenis kaos kaki di Planet Station, kemudian saya membawa pulang kaos kaki dry fit buatan Nike, yaitu: Nike Elite socks.

nike 1

Untuk berikutnya Peg 31 + Nike Elite Dry Fit saya coba untuk berlari downhill sejauh 8 km di perbukitan di lingkungan saya tinggal. Kali ini jari-jari dan ujung kaki saya tidak terasa begitu terjepit. Bahkan bisa dibilang lebih nyaman. Peg 31 + Elite Dry Fit ini sampai sekarang sudah saya gunakan berlari beberapa kali. Ah berarti saya tidak harus berganti ke ukuran 42. 🙂

Dalam 2 bulan berlari menggunakan Nike Pegasus 31, hari Minggu kemarin (16 November 2014) adalah lari terjauh saya, 15 km, meski masih dengan pace yang santai, yaitu 6 menit per kilo meter.

nike 2

Mampu berlari sejauh 15 km dengan pace 6’00” tentu saja menyenangkan bagi saya. Karena target saya ketika membuat komitmen lari 2,5 bulan yang lalu adalah bisa berlari sejauh 10 km pada penghujung 2014 ini. Berarti saya sekarang sudah over target. Satu setengah bulan tersisa ini barangkali bisa saya gunakan untuk berlatih memperbaiki pace. Kalau PB saya (Personal Best) untuk lari 10 km adalah 58 menit 12 detik menurut Nike Running+ di iPhone saya, mungkin saya akan menargetkan 10 km dalam 55 menit pada penghujung tahun. Atau saya perlu berlatih endurance dulu, agar saya mampu berlari sejauh 21 km terlepas berapa saja pace nya? hehehe.

IMG_0981

Saat ini di desa dimana saya tinggal sedang musim penghujan. Saya tidak ingin hujan menjadi penghalang bagi latihan lari. Saya malah membayangkan menikmati berlari trail di hutan sebelah barat desa saya. Untuk itulah saya sekarang berkeinginan mempunyai sebuah Traill Running Shoes. Sepasang sepatu The North Face Single Track Kayasa atau Nike Wild Horse. Hihi, uang saya belum ada tapi sudah berangan-angan.

Tahun berganti masih satu setengah bulan lagi. Tidak ada salahnya bila saya sedikit mengintip target saya tahun 2015. Minimal saya sudah harus mampu berlari Half Marathon. (21 km). Bila awal 2015 sudah mampu berlari HM entah dalam waktu berapa, saya ingin mensyukurinya dengan sebuah Nike Airmax 2014 atau Airmax 2015 bila sudah keluar di Nike Store. Tepok jidat. Uangnya menabung dulu ya. 🙂

***

Dan 5 tahun kemudian saya tidak pernah membeli Nike Airmax. Tetap setia berlatih dengan Pegasus dan telah membeli Nike Air Zoom Pegasus 36 warna hitam.

Running Log dan Mulai Latihan Lari Lagi

Bulan November ini adalah menginjak bulan ketiga saya berlatih lari/jogging lagi. Setelah lama sekali, hampir setahun karena satu dan alasan lain saya bermalas-malasan tidak berolah raga lari. Motivasi saya berlari selama itu hilang entah kemana. Padahal lari adalah sedikit dari berjenis olah raga yang bisa saya nikmati. Awal September lalu akhirnya saya memutuskan untuk berlari.

Memulai selalu tidak mudah. Performa lari pertama saya di bulan September ini begitu payah. Berlari dengan kecepatan pelan saja rasanya susah untuk mencapai jarak 2 km. Apakah ini faktor U? Bisa saja. Tapi bukankah banyak orang yang sudah tua masih kuat berlari dengan performa bagus. Apa iya akan kalah sama kakek-kakek yang tetap sanggup long run. Teman-teman saya yang sudah beberapa kali melahirkan anak saja masih kuat menyelesaikan Half Marathon bahkan Full Marathon.

Saya tidak akan dan tidak berhenti pada lari pertama September itu. Saya terus berlatih. Masalah berikutnya adalah sepatu lari saya sudah tidak nyaman digunakan. Cushion di Sepatu Nike Run Forever saya rasanya sudah tidak empuk, tidak stabil. Mungkin karena kelamaan tidak dipakai atau memang sudah saatnya digantung. Kemudian saya mulai berusaha mengumpulkan uang untuk membawa Nike Zoom Pegasus 31.

Masalah seolah tidak ada habisnya. Saya cidera karena keapesan saya. Saya diseruduk sapi yang mengakibatkan paha dan lutut cedera. Usaha untuk memulihkan cedera kaki ini menjadi ujian kesabaran tersendiri. Pulih dari cedera membutuhkan waktu dan perawatan. Dan di saat yang sama saya harus menjaga komitmen untuk tetap berlatih lari. Saya pun tetap berlatih pada saat kaki saya masih cidera. Saya berlari semampunya dengan lebih berhati-hati. Berhati-hati berlari adalah hal yang sulit ketika saya berambisi untuk mampu berlari dengan performa baik sedang di sisi lain tubuh saya perlu menjalankan proses alami: penyembuhan. Tidak jarang saya over training sehingga kaki dan tubuh tambah sakit.

Cedera kaki saya sembuh dalam waktu kurang lebih 6 minggu. Minggu-minggu terakhir ini saya baru bisa merasakan berlari dengan stamina yang bisa diajak berlatih meningkatkan performa berlari. yay! Saya menikmati berlari. Lari untuk dinikmati dulu saja. Saya belum membuat target-target tertentu. 🙂

Berikut ini adalah running log yang saya buat dengan aplikasi Nike Running+ di iPhone 5s saya:

Nike Running+ workout log

Nike Running+ workout log

Nah, kalau berikut ini lari terakhir saya tadi pagi:

my updown hill running log

my updown hill running log

IMG_0851

Apa Manfaat Health Kit di iOS 8?

Apa yang baru dari iOS 8 yang di-release oleh Apple beberapa waktu yang lalu adalah Health Kit (atau aplikasi kesehatan?). Di iPhone 5s yang saya update OS nya ke iOS 8, saya berkesempatan mencoba-coba Health Kit/ Health App ini.

Pertama kali membuka Health Apps bulan lalu saya merasa bingung dan tidak punya ide bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan aplikasi ini. Dibanding dengan aplikasi-aplikasi bawaan iOS 8 yang lain, Health Apps ini menurut saya merupakan aplikasi yang mempunyai menu (menu setting paling banyak). Dengan istilah-istilah kesehatan dan kebugaran yang tidak saya mengerti. Ini tambah membingungkan.

Mencoba mengutak-atik Health Apps, saya mencoba menambahkan sesuatu di dashboard aplikasi ini. Dashboard yang mulanya saya tambahkan adalah Walking+Running Distance dan Steps, kemudian Sleep Analysis. Ketika menambahkan ketiga dashboard itu saya tidak tahu bagaimana data bisa terupdate.

Beberapa waktu menggunakan iPhone 5s ber-iOS 8 sambil membawa-bawanya sambil sesekali membuka Health, rupanya Walking+Running Distance ini ter-update secara otomatis. Mungkin menggunakan GPS untuk menghitung seberapa jauh saya bergerak. Kemudian Steps juga terperbaruhi secara otomatis. Steps ini datanya mungkin mengambil menfaat dari co processor M7 di iPhone 5s saya. Nah bagaimana dengan Sleep Analysis? Ini rupanya tidak bisa terupdate secara otomatis. Kenapa? Karena saya tidak punya sensor atau perangkat fitness yang mampu mendeteksi kapan saya tidur dan kapan terjaga. Karenanya saya terpaksa mengisinya secara manual. Untung bisa diisi manual ya. 😀

Health Apps Dashboard

Health Apps Dashboard

Tampilan Dashboard Health Apps di atas cukup mudah dibaca. Sederhanya dalam satu bulan terakhir terbaca saya bergerak rata-rata 6,65 km per hari atau rata-rata 8.453 langkah per hari. Ingat ya data langkah ini terdeteksi ketika saya membawa iPhone saya. Padahal saya sering meletakkan iPhone saya. Artinya jumlah langkah saya yang sebenarnya pasti lebih banyak dari yang dibaca oleh Health Apps ini. Data jumlah langkah per hari ini mengingatkan saya pada iklan lama susu Anlene, yang menganjurkan agar kita bergerak sedikitnya 4.000 langkah per hari agar kita sehat dan tulang tidak keropos. Bila apa kata Anlene benar, maka saat ini jumlah langkah kaki per hari saya telah berada dalam angka aman, bahkan lebih dari cukup. Sleep Analysis pun menunjukan kalau dalam sebulan terakhir saya sudah cukup banyak tidur. Saya tidur rata-rata 6 jam 37 menit.

Nike Fuel yang ditampilkan pada dashboard ini saya kira tidak cukup akurat. Karena sumber datanya hanya dari Nike Running+ yang saya gunakan ketika saya lari. Sedangkan aktifitas saya yang lain tidak terlacak. Untuk melacak Nike Fuel secara lebih akurat mungkin saya harus menggunakan Nike Sport Watch atau Gelang Nike Fitness itu, atau Activity tracker yang lain yang compatible dengan iOS 8.

Health Apps Setting di iOS 8

Health Apps Setting di iOS 8

Nah, screen shoot di atas saya kira cukup menjelaskan komentar saya di awal yang menyebut Health Apps ini mempunyai setting yang banyak dengan istilah-istilah yang susah saya mengerti. Hanya ada beberapa data yang bisa saya isi manual seperti tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, tekanan darah yang diukur manual dengan tensi meter. Sementara yang lainnya saya biarkan kosong.

Mungkin Health Apps akan optimal digunakan ketika sudah didukung oleh penyedia aplikasi pihak ketiga dan perangkat fitness/kesehatan pihak ketiga pula. iPhone saja saya pikir belum mampu mengumpulkan data sebanyak itu. Sekalipun iPhone 6 hanya ada satu sensor baru yang ditambahkan, yaitu sensor altimetric barometer. Atau apa yang kelak akan bisa dilakukan Apple Watch untuk memaksimalkan Health Kit. Kita tunggu saja.

Ngomong-ngomong perangkat kesehatan apa saja sih yang sudah mendukung Health Kit di iOS 8? Juga aplikasi apa saja yang sudah dibuat yang memanfaatkan Health Kit ini. Saat ini yang saya tahu baru Nike Running+ dan Endomondo. hihi

Curhat: Angkutan Umum Murah itu Penting

IMG_0800Foto ini saya ambil di Pasar Trowono pada kemarin pagi setelah saya jogging.

Bagi banyak orang foto ini mungkin dianggap membawa pemandangan aneh. Apa gerangan yang dilakukan orang-orang ini dengan menaiki kendaraan open cab.

Mobil open cab berplat hitam ini bagi masyarakat ini dianggap dan berfungsi sebagai angkutan umum. Angkutan yang mengantarkan mereka dari dan ke pasar dari tempat tinggal mereka di pelosok-pelosok dan desa-desa.

Ini memang praktik ilegal. Menyalah gunakan kendaraan pribadi, kendaraan pengangkut barang berplat hitam untuk mengangkut penumpang manusia. Mereka tidak ambil pusing apa ilegal apa resmi. Toh ini satu-satunya sarana mobilitas. Sejak Indonesia konon merdeka sampai sekarang belum ada angkutan umum yang memadai yang bisa membantu kegiatan dan ekonomi mereka.

Peristiwa ini adalah potret masyarakat di sekitar pasar Trowono, Saptosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Tidak mustahil di sisi lain Indonesia pun masih terjadi.

Semoga Pak Jonan, Mentri Transportasi Kabinet Kerja sekarang ini bisa melihat foto saya ini. Agar bisa menjadi renungan. Syukur-syukur ada tindak nyatanya. Eh ngga mungkin ya Pak Jonan lihat foto ini. Beliau kan tidak berteman dengan saya.

PS: Posting saya kali ini sebenarnya adalah posting status Facebook kemarin. Saya repost di sini agar ramah Google dan mudah ditemukan. Agar mudah ditemukan Pak Jonan. hihi