Meja Pingpong di Balai Warga Rusak

Apa yang saya rasakan berubah dalam waktu 10 tahun di lingkungan dimana saya tinggal, diantaranya adalah menghilangnya permainan-permainan olah raga. Sebut saja bola voli, sepak bola, tenis meja dan bulu tangkis. Di lingkungan saya tinggal lapangan bola voli sudah lama tidak ada. Lapangan bulu tangkis terbiarkan begitu saja. Lampu-lampunya sudah tidak ada. Meja ping pong pun sudah lama dibiarkan rusak. Keinginan membuat meja ping pong baru sampai sekarang berhenti sebatas wacana.

Saya bukanlah orang yang suka bermain bola voli, sepak bola, dan olah raga permainan lainnya pada masa itu. Saya menulis posting ini karena kangen menonton pertandingan bola voli dan sepak bola antar kampung. Sambil mengobrol menonton teman-teman sebaya saya dulu bermain tenis meja di balai warga adalah hal lain lagi.

Di lingkungan dimana saya tinggal, pada jamannya, pegiat olah raga adalah remaja, pemuda dan anak-anak sekolah. Dewasa dan para orang tua sebatas sebagai pelengkap saja ketika mereka ada waktu luang dan tidak cape. Mereka para dewasa di lingkungan saya adalah orang bekerja.

Internet (baca: facebook dan twitter) harus diakui dalam dasa warsa terakhir ini telah merebut perhatian, remaja, pelajar, pemuda dan bahkan dewasa. Ada sebuah pameo: facebook mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Saya tidak dalam posisi membantah atau mengamini ini. Yang jelas facebook dan twitter sebagai social media baru telah berhasil menarik banyak orang dari media sosial lamanya yaitu: lapangan, balai warga, gardu ronda, dll. Meski tidak sepenuhnya saya benarkan bila menurunnya minat olah raga di masyarakat adalah gara-gara internet. Saya berpandangan malah facebook dan twitter bisa dimanfaatkan untuk mendorong gerakan-gerakan di dunia nyata, meramaikan lapangan pertandingan misalnya.

Hal lain yang saya lihat sangat berdampak bagi menurunnya minat olah raga di masyarakat adalah: sekolah. Benar. Ia adalah sekolah. Sudah saya katakan di awal bahwa tulang punggung olah raga di lingkungan dimana saya tinggal adalah remaja, pelajar dan pemuda. Sampai usia 18 tahun, remaja di lingkungan saya menghabiskan sebagian banyak waktunya di sekolah. Ini sesuatu yang pantas disyukuri karena berarti angka putus sekolah menurun drastis. Pendidikan sampai tingkat SMA bisa dikenyam. Sehingga menjadi bekal untuk mulai mencari nafkah, bekerja.

Sekolah-sekolah tingkat SMA di lingkungan saya biasanya masuk sekolah pukul 07:00 WIB dan pulang sekolah sekitar pukul 14:00 WIB. Bila ada kegiatan ekstra dan pelajaran bisa sampai jam 15:00 WIB atau jam 16:00 WIB. Mereka berangkat sekolah pukul 06:30 WIB atau lebih awal bagi yang rumahnya jauh dari sekolah. Pulang sampai rumah bisa sampai pukul 16:00 WIB atau lebih. Sepulang sekolah mereka mungkin istirahat dan pada malam harinya belajar atau mengerjakan tugas untuk pelajaran esok hari. Tidak ada cukup waktu dan stamina untuk berolah raga di sore hari. Tidak heran bila hasrat dan bakat olah raga di dalam jiwa muda mereka kurang tersalurkan. Tidak heran bila di lingkungan saya tim bola voli dan bola sepak menghilang.

Saya tidak tahu apa alasan sekolah-sekolah kita menerapkan kebijakan berlama-lama di sekolah. Mungkin tantangan masa depan anak-anak jaman sekarang sebegitu besarnya sehingga hal-hal seperti olah raga, dan keterampilan sosial harus sedikit disisihkan. 🙂

Sunday Morning Rainbow is Showing Up

Pelangi Minggu Pagi

Pelangi Minggu Pagi

Awal tahun ini saya merasa beruntung. Kenapa? Karena pada awal tahun ini, tepatnya Minggu pagi kemarin saya bisa memotret dengan tangan saya sendiri satu pelangi yang indah. Sesuatu yang sulit kesampaian pada beberapa tahun yang lalu sampai-sampai saya hanya bisa iri melihat orang lain mengunggah foto-foto indah pelangi di jejaring sosial. 😀

Pelangi yang indah ini terjadi tepat di atas persawahan di sebelah rumah saya. Melihat pelangi yang membentang saya hanya bisa selekasnya mengambil ponsel, berlari ke tempat yang terbuka, dan …. tentu saja memotret. Memotret cepat-cepat sebelum pelangi memudar. Pelangi adalah momen singkat yang tidak pernah mau menunggu orang yang suka berlama-lama. Benar. On rainbow every second is worth shutter count. 😀

Semoga pelangi ini menjadi pertanda bahwa tahun 2015 adalah tahun yang indah untuk saya dan kita semua. Aamiiin.

Mari bekerja dan berkarya. 🙂

Rasulan atau Bersih Dusun di Padukuhan Karangmojo B

Di desa dimana saya tinggal, tradisi Rasulan atau Bersih dusun (atau di desa lain dikenal dengan sebutan Bersih Desa) sudah lama dikenal dan sampai sekarang masih rutin dilaksanakan oleh masyarakat. Sebagaimana di desa-desa agraris lain di Jawa, Rasulan merupakan salah satu cara masyarakat Petani dalam mengungkapkan rasa syukur mereka kepada Tuhan yang telah melimpahkan sejahtera di bumi yang dihuni manusia ini. Jadi tak heran bila tradisi Rasulan dilaksanakan tiap selesai musim panen padi. Mengingat padi (beras) merupakan makanan pokok masyarakat Jawa dan mansyarakat di desa dimana saya tinggal.

Di desa dimana saya tinggal, Rusulan atau Bersih Dusun tidak dilaksanakan secara serentak. Desa saya yang terbagi menjadi beberapa dusun, masing-masing dusun umumnya mempunyai hari Rasulan tersendiri. Misalnya di dusun Senedi dilaksanakan pada hari Rabu Legi tiap selesai musim panen dan di dusun Karangmojo dilaksanakan pada hari Jumat Legi seusai musim panen. Seiring waktu, hari pelaksanaan Rasulan bukan lagi hal yang sakral. Jadi tak heran bila terkadang masyarakat menunda atau mengubah hari diadakannya acara Rasulan atau Bersih Dusun ini. Misalnya: Di Padukuhan (dusun) Karangmojo B, Bersih Dusun/Rasulan sudah dilaksanakan pada Hari Jumat Legi, 2 Mei 2014 sedangkan di Padukuhan Karangmojo B rasulan baru akan dilaksanakan setelah Puasa Ramadhan tahun ini, atau sekitar bulan Agustus kelak. Alasan penundaannya karena pada bulan-bulan ini masyarakat padukuhan tersebut sedang sibuk dan bila ditunda sampai bulan Agustus dipandang Rasulan bisa dilaksanakan dengan lebih meriah.

Di beberapa desa di Gunungkidul, pelaksanaan Rasulan dari tahun ke tahun memang dilaksanakan dengan semakin meriah. Rasulan yang pada jaman dulu sebatas berupa kenduri sederhana di balai desa/balai padukuhan dan pada malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang kulit, di beberapa desa kini Rasulan atau Bersih Desa berubah menjadi semacam pesta rakyat yang dilaksanakan secara meriah dalam beberapa hari. Ada desa yang dalam melaksanakan rasulan ini menggelar pasar malam, pesta rakyat, pameran, berbagai pentas seni tradisional dan lain-lain. Ada pula desa-desa di Gunungkidul yang mengoptimasi tradisi Rasulan sebagai daya tarik wisata budaya.

Rasulan di padukuhan saya sendiri bukan termasuk Rasulan yang meriah itu. Dari dulu sampai sekarang tetap dilakukan dengan cara sederhana. Bila tidak mau dibilang makin “sederhana”. Masyarakat di padukuhan dimana saya tinggal merasa cukup melaksanakan Rasulan dengan menggelar kenduri di balai padukuhan. Dengan membawa ke balai padukuhan makanan berupa masakan tradisional yang terdiri dari: nasi, sayur, tempe, rempeyek, nasi gurih, ingkung, ketan, jadah, masakan-masakan lain yang berbahan hasil bumi lainnya. Sesampainya di balai pedukuhan semua jenis masakan itu dikumpulkan dan setelah didoakan oleh pemuka agama, dibagikan lagi kepada masyarakat padukuhan itu sendiri dan kepada masyarakat padukuhan tetangga yang pada hari itu tidak melaksanakan tradisi Rasulan.

Begitu saja.

Bahkan beberapa rangkaian acara Rasulan yang oleh masyarakat dianggap bertentangan dengan ajaran agama, saat ini sudah dihilangkan, tidak dilakukan lagi. Apa yang dihilangkan itu diantaranya adalah: Mbuangi. Mbuangi adalah mengirimkan makanan dalam porsi dan cara tertentu kepada para penunggu sumur-sumur tua yang ada di sekitar Padukuhan.  Mbuangi ini mengingatkan masa kecil saya ketika bersama beberapa teman sebaya diperintah oleh pemuka adat untuk mbuangi ke Sumur Gede, Sumur Senedi dan Sumur Nglundo 🙂

Berikut ini adalah beberapa foto yang saya ambil dari tradisi rasulan yang diselenggarakan di padukuhan dimana saya tinggal:

 

Tulisan Mengenai Rasulan sebelumnya;

Oleh-Oleh dari Rasulan di Padukuhan Karangmojo B

Rasulan, Nonton Wayang

 

 

 

Meng-Ungu-kan Jari untuk Negeri? #Pemilu 2014

Hari ini, pagi tadi, akhirnya saya memutuskan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara Pemilu 2014 yang bertempat di Balai Padukuhan di lingkungan dimana saya tinggal. Ada beberapa alasan kenapa saya akhirnya ke TPS. Di antaranya adalah karena petugas PPS di lingkungan saya merupakan tetangga dan teman-teman saya sendiri. Misalnya saya tidak datang pasti mereka akan bertanya-tanya ada apa gerangan. Celakanya kalau mereka mengira saya tidak datang karena sakit. Nah.

Pukul 09:30 WIB, waktu kira-kira, saya berangkat dari rumah. Beberapa puluh meter dari TKP eh dari TPS, ternyata saya tidak membawa Undangan Memilih. Ini membuat saya kembali ke rumah untuk mengambilnya. Sesampai di TPS mengantri beberapa bapak dan beberapa itu. Tidak banyak. Sampai giliran saya mendapatkan kartu suara dan mencoblosnya di bilik yang disediakan.

Nah, ceritanya sampai di sini dulu saja. Jangan tanya siapa dari partai mana yang saya coblos. Apalagi menanyakan apakah saya sudah benar mencoblosnya, hihi. Ini rahasia. Memilih (dan tidak memilih adalah hak saya sebagai warga negara. Asas Pemilu, kalau tidak salah dan belum berubah adalah langsung, umum, bebas, rahasa, jujur dan adil. Benar Ngga?

Foto-foto berikut ini adalah bukti saya tadi sampai di TPS di balai padukuhan Karangmojo B:

 

 

Nah tuh…

Sekarang saya akan ke TPS. Mungkin di sana sedang dilakukan penghitungan suara. 🙂

Gotong Royong Membangun Rumah untuk Lek Tini

Minggu pagi, 9 Maret 2014, warga pedukuhan Karangmojo B, Desa Grogol, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunungkidul bergotong royong membangun rumah sementara untuk Lek Tini. Dengan dikoordinasikan oleh kepala dukuh pedukuhan Karangmojo B, Latif Wahyudi, masyarakat dengan antusias dan penuh semangat menunaikan tanggung jawab sosial menolong korban musibah kebakaran rumah yang terjadi pada pekan lalu. Gotong royong yang berlangsung sehari penuh itu didukung oleh lebih dari 50 orang warga yang berpartisipasi. Jadi tidak heran pada sore harinya rumah tinggal sementara yang dibangun warga itu sudah bisa ditinggali oleh keluarga Lek Tini.

Masyarakat Berembug Bagaimana Rumah Sementara Akan Dibangun

Masyarakat Berembug Bagaimana Rumah Sementara Akan Dibangun

Gotong Royong pada hari Minggu kemarin  itu merupakan puncak gawe kepedulian berbagai elemen masyarakat. Usaha menggalang kepedulian sosial untuk menolong keluarga Lek Tini yang terkena musibah kebakaran sudah berlangsung bahkan ketika  kebakaran rumah itu sedang terjadi. Masyarakat sekitar yang mengetahui korban kebakaran terjadi langsung berusaha memberikan pertolongan dengan turut berusaha memadamkan api dan menyelamatkan benda-benda yang masih bisa diselamatkan. Masyarakat melalui pemerintah desa setempat berusaha menghubungi dinas-dinas terkait untuk menyampaikan kabar ini. Baca lebih lanjut

Jalan Sehat Keliling Kampung

Sebenarnya, saya tadi pagi dan sepenuh hari Minggu ini ingin di rumah saja. Tidak akan jogging seperti yang biasa saya lakukan tiap pagi di hari Minggu. Cuaca dan kondisi lingkungan yang masih bertebaran abu dari erupsi gunung Kelud tentu tidak bagus buat kesehatan.

Alih-alih, ternyata di desa dimana saya tinggal pada pagi ini ada kegiatan Jalan Sehat yang diadakan oleh anak-anak mahasiswa kuliah kerja nyata (KKN) dari Universitas Ahmad Dahlan. Mulanya saya agak ragu apakah Jalan Sehat cocok dengan kultur masyarakat di desa dimana saya tinggal. Masyarakat di sini yang kebanyakan bertani, berjalan kaki sudah terlalu biasa. Jalan kaki adalah cara masyarakat untuk menempuh sawah ladang yang umumnya tidak dekat dengan rumah tinggal.

Mendengar pengumuman Jalan Sehat  yang dikumandangkan lewat pengeras suara di masjid, saya pun penasaran untuk menuju ke tempat dimana Jalan Sehat akan dimulai, yaitu di Balai Dusun. Di Balai Dusun rupanya sudah ada banyak anak-anak, remaja dan ibu-ibu. Panitia Jalan Sehat pun menyambut siapa saja yang datang dengan membagikan kupon door prize. Di depan balai Dusun, semua door prize yang jumlahnya banyak sudah terpasang menggoda.

Door prize ini rupanya yang menjadi daya tarik bagi anak-anak, remaja dan ibu-ibu di lingkungan dimana saya tinggal. Menjelang Jalan Sehat dimulai, nampak ibu-ibu, anak-anak dan remaja pun dengan antusiasnya. Saya pun kemudian ikut. Siapa tahu juga dapat door prize. 😀 Benar saja setelah ikut berjalan kaki mengelilingi lingkungan tinggal dan menunggu pembacaan pemanang door prize, saya mendapatkan sepasang sandal jepit, merek Melly. Horaay! 😀

Ini foto-foto kegiatan Jalan Sehat tadi pagi:

IMG_0157.resized

Baca lebih lanjut

Pelangi Itu Akhirnya Hadir

Kadang-kadang sebuah cita-cita tiba-tiba tercapai secara kebetulan, hehe. Kalau kejadiannya seperti ini tidak bisa disebut cita-cita ya. Sebut saja kebetulan. Karena toh semua cita-cita harus dikejar. Kalau perlu sampai ke langit ke tujuh.

Adalah ‘cita-cita’ lama saya untuk memotret pelangi dengan tangan saya sendiri yang kemarin menjelang petang tiba-tiba tercapai. Secara kebetulan.

Kemarin sore itu ceritanya begini:

Ketika saya sedang rebahan di rumah karena hujan dan mendung yang terus menggelayut, secara tiba-tiba saya dikagetkan oleh cahaya warna jingga yang menerobos ke dalam rumah. Spontan saya mengira itu semburat senja. Saya langsung meraih ponsel untuk membingkai senja berornamen jingga.

Dan memang benar, semburat senja warna jingga yang menerobos awan sisa hujan itu ada di ufuk barat. Saya berusaha mencara tempat memotret yang bebas halangan. Dan mata saya yang ‘pencilakan’ alih-alih menangkap pesona yang tiba-tiba saya ingat saya cita-citakan untuk saya potret sejak lebih dari 3 tahun yang lalu. Pelangi yang terbentang berhadapan dengan ufuk senja.

Saya pun segera berbalik haluan. Kalau tadi saya mencari hamparan agar leluasa menangkap senja. Kali ini saya tidak akan menyiakan pelangi ini. Tahukah kalau saya langsung berlari ke tengah sawah demi pelangi. Saya tidak peduli menjadi basah, kotor dan kedinginan. Saya tahu pelangi tidak akan hadir lama. Saya tidak boleh menyiakan untuk segera memotret pelangi yang kehadirannya sejak lama dinanti.

 

Pelangi sore kamarin petang itu mengajarkan kepada saya sesuai. Memotret sesuatu yang langka, memotret sesuatu yang telah ditunggu lama tapi hadir secara tiba-tiba itu tidak mudah. Memotret pelangi yang diam ini pun tidak mudah. Ketika pelangi yang saya tunggu hadir, saya malah nerveous, gugup. Saya bingung sendiri mau memotret pelangi dengan angle seperti apa, dengan komposisi yang bagaimana, bahkan saya kebingungan dan grogi sampai kelupaan bagaimana mengatur setting pada camera ponsel saya. Coba kemarin saya memakai camera DSLR, pasti tambah kacau sampai tidak jadi motret keburu pelanginya menghilang, hehe

Semoga besok pelangi datang lagi, dan saya dalam kondisi yang lebih siap. 🙂

 

Darimana Dana untuk Merehap Masjid?

Bangunan Masjid yang digunakan oleh penduduk di padukuhan dimana saya tinggal dalam waktu dekat perlu direhap. Perlu diperbaiki. Beberapa bagian masjid sudah rusak. Kayu-kayu yang digunakan untuk kap bangunan sudah mulai lapuk. Bahkan ada yang sudah keropos.

Kerusakan bagian bangunan masjid ini memang sesuatu yang wajar. Maklum masjid ini dibuat berangka kayu oleh generasi kakek saya. Masjid ini mulai dibangun sejak hampir 30 tahun yang lalu. Dan seingat saya, ketika saya usia Taman Kanak-Kanak saya sudah ikut kakek bershalat taraweh di masjid yang setengah jadi. Dalam ingatan saya, saat itu jamaah bertaraweh di masjid yang berlantai pasir dan beratap langit. Serius.

Beberapa hari yang lalu sebelum Ramadan, saya mendengar beberapa orang di lingkungan dimana saya tinggal mewacanakan untuk memperbaiki Masjid. Dengan cara di antaranya mencari bantuan/sumbangan dana untuk memperbaiki Masjid kami. Sampai sekarang wacana itu memang masih berhenti sebatas wacana. Belum sampai ke tahap yang lebih serius.

Tidak ada yang salah dengan mewacanakan. Setidaknya untuk sebuah awal. Biarlah wacana berkembang. Walau kadang wacana berkembang serong kanan serong kiri. Dengar-dengar beberapa hari yang lalu ada yang mewacanakan untuk mencari dana dengan menghubungi para caleg yang akan permain pada Pemilu Legislatif 2014. Bila ada caleg yang bersedia memperbaiki masjid maka “mereka” akan memilih caleg itu. Tentu saja kalau wacana yang ini akan lebih baik kalau berhenti sebatas wacana saja. Wacana yang saya pikir tidak perlu dianggap serius. Masa iya akan menggadaikan iman hanya untuk dana pembangunan tempat ibadah. Bukahkah tempat ibadah itu merupakan alat saja.

Saya sendiri tidak anti dengan bantuan pihak lain dalam pembangunan masjid dan sarana beribadah. Yang penting semua bantuan harus berupa bantuan yang tidak mengikat. Yang tidak kalah penting lagi menurut saya bantuan pihak lain itu hanya sebagai pendukung. Pokoknya akan lebih baik dijadikan ladang amal oleh jamaah itu sendiri. Jamaahlah yang hendaknya menjadi tulang punggung pembangunan tempat ibadah yang akan mereka gunakan untuk alat menuju “ke sana”.

Jamaah di lingkungan dimana saya tinggal sudah mendapatkan contoh yang baik dari para kakek nenek dan para sesepuh pini sepuh yang membangun masjid ini. Para sesepuh membangun masjid dengan keringat dan pengorbanan yang tidak sedikit dan tidak seketika. Tidak instant.

Menurut cerita bapak saya, yang merupakan salah satu panitia pembangunan masjid At Taqwa pada sekitar 30 tahun yang lalu, pembangunan masjid didanai dengan urunan. Mungkin kalau istilah sekarang disebut dengan istilah mentereng “crowd funding”.

Langkah awalnya masyarakat menentukan dimana masjid akan dibangun. Di tanah siapa. Ini bukan hal mudah. Karena pada saat itu banyak warga yang berkeinginan mewakafkan tanahnya. Para calon pewakaf itu saling ngotot agar tanahnya yang dipakai mendirikan masjid. Sampai akhirnya disepakati tanah mbah Reso Samingin dimana sekarang didirikan masjid.

Kemudian masyarakat mulai urunan hasil panen tiap kali musim panen tiba. Bentuk urunan itu berupa jagung, kedelai, gaplek dan lain-lain. Dalam beberapa kali musim panen didapatkanlah dana untuk mulai membangun masjid.

Sampai pada proses membangun masjid, selain dalam bentuk urunan itu, banyak masyarakat yang menyumbangkan kayu, ada yang menjual bianatang ternak, menyumbangkan tenaga, logistik dan lain-lain.

Ini adalah sebuah kisah.

Kini, jaman sekarang, tahun 2013. 30 tahun kemudian. Tidak mampukah masyarakat/jamaah di lingkungan saya tinggal minimal melakukan hal serupa. Syukur-syukur lebih baik. Bukankah semua masyarakat sekarang sudah makan nasi, masa iya kalah sama kakek nenek yang masih makan thiwul. Masyarakat sekarang telah mengenyam pendidikan yang lebih baik, masa iya belum punya kesadaran beramal yang lebih baik dibanding kakek nenek yang membaca Al Fatihah saja belum lancar.

Masa iya untuk membangun masjid warisan kakek nenek saya malah akan mengandalkan bantuan pihak lain. Saya percaya akan banyak donatur pihak ketiga yang mau membiyai pembangunan masjid di lingkungan tempat tinggal kita. Tetapi apabila kita “njagakke” bantuan untuk perbaikan masjid saya membayangkan akan ditertawakan oleh kakek nenek kita dari akherat. 🙂

Selamat Pagi

Dua potong foto yang saya ambil pada pagi ini. Foto pertama saya ambil dari sudut depan rumah. Foto kedua saya ambil dari latar belakang rumah keluarga.

Saya ingin menegaskan keduanya merupakan foto pagi dengan foto ketiga berikut:

Ketiga foto itu, sebenarnya tadi banyak sekali foto yang saya ambil, namun foto-foto itulah yang layak tampil, saya ambil dengan Kamera Ponsel Samsung Galaxy Ace Duos.

Hampir satu tahun yang lalu saya mengucapkan Selamat Pagi dengan foto yang saya ambil di tempat yang sama. Saya posting di sini. Perbedaannya pagi hampir setahun yang lalu itu saya ambil dengan Sony Ericsson K810i. Beleh ditengok dan dibandingkan. 🙂

Suka Mengunggah Foto Ponsel ke Google+

Ada beberapa alasan kenapa saya suka mengunggah foto-foto ponsel saya secara langsung ke Google+. Google tidak kebangetan dalam me-resize/memperkecil ukuran foto yang diunggah ke Google+. Album foto di Google+ ditampilkan dengan lebih keren. (dibanding Facebook menurut saya) Foto-foto yang diunggah ke Google+ otomatis akan ditaruh ke Picasaweb Album tanpa mengurangi jatah kuota kita di sana.

Alasan yang tidak kalah pentingnya adalah, provider dimana saya berlangganan paket data (Flash pada Kartu Halo) saya ketahui tidak (terlalu) mencekik kecepatan unggah meski kuota saya sudah melebihi fair usage. Atau ini ada hal yang salah yang belum diperbaiki teknisi mereka? hihi

Namun ada sedikit hal yang kurang saya mengerti ada di Google+ Apps for Android. Saya menggunakan Google+ Apps hanya pada ponsel Android saya. Apa yang tidak saya mengerti itu adalah foto-foto yang saya unggah ke Google+ kadang-kadang di resize tanpa konfirmasi ketika saya mengunggahnya dengan mobile apps. Saya pernah mengalami sampai foto saya diperkecil separah seukuran 320: 480 pixel. Jelek sekali kan 😦

Lagi, ada fitur yang saya ingin ditambahkan pada Google+ apps for Android, yaitu upload progress bar. Agar saya bisa melihat sampai sejauh mana/seberapa banyak file foto yang sudah terunggah, berapa yang berhasil dan berapa yang gagal. Tidak hanya diam tanpa ada notifikasi apa-apa.

Berikut ini adalah salah satu foto yang kemarin sore saya unggah ke google+ dan diteruskan ke picasaweb oleh google:

Dawn Near Home (Karangmojo B)

Dawn Near Home (Karangmojo B)