Apa yang saya rasakan berubah dalam waktu 10 tahun di lingkungan dimana saya tinggal, diantaranya adalah menghilangnya permainan-permainan olah raga. Sebut saja bola voli, sepak bola, tenis meja dan bulu tangkis. Di lingkungan saya tinggal lapangan bola voli sudah lama tidak ada. Lapangan bulu tangkis terbiarkan begitu saja. Lampu-lampunya sudah tidak ada. Meja ping pong pun sudah lama dibiarkan rusak. Keinginan membuat meja ping pong baru sampai sekarang berhenti sebatas wacana.
Saya bukanlah orang yang suka bermain bola voli, sepak bola, dan olah raga permainan lainnya pada masa itu. Saya menulis posting ini karena kangen menonton pertandingan bola voli dan sepak bola antar kampung. Sambil mengobrol menonton teman-teman sebaya saya dulu bermain tenis meja di balai warga adalah hal lain lagi.
Di lingkungan dimana saya tinggal, pada jamannya, pegiat olah raga adalah remaja, pemuda dan anak-anak sekolah. Dewasa dan para orang tua sebatas sebagai pelengkap saja ketika mereka ada waktu luang dan tidak cape. Mereka para dewasa di lingkungan saya adalah orang bekerja.
Internet (baca: facebook dan twitter) harus diakui dalam dasa warsa terakhir ini telah merebut perhatian, remaja, pelajar, pemuda dan bahkan dewasa. Ada sebuah pameo: facebook mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Saya tidak dalam posisi membantah atau mengamini ini. Yang jelas facebook dan twitter sebagai social media baru telah berhasil menarik banyak orang dari media sosial lamanya yaitu: lapangan, balai warga, gardu ronda, dll. Meski tidak sepenuhnya saya benarkan bila menurunnya minat olah raga di masyarakat adalah gara-gara internet. Saya berpandangan malah facebook dan twitter bisa dimanfaatkan untuk mendorong gerakan-gerakan di dunia nyata, meramaikan lapangan pertandingan misalnya.
Hal lain yang saya lihat sangat berdampak bagi menurunnya minat olah raga di masyarakat adalah: sekolah. Benar. Ia adalah sekolah. Sudah saya katakan di awal bahwa tulang punggung olah raga di lingkungan dimana saya tinggal adalah remaja, pelajar dan pemuda. Sampai usia 18 tahun, remaja di lingkungan saya menghabiskan sebagian banyak waktunya di sekolah. Ini sesuatu yang pantas disyukuri karena berarti angka putus sekolah menurun drastis. Pendidikan sampai tingkat SMA bisa dikenyam. Sehingga menjadi bekal untuk mulai mencari nafkah, bekerja.
Sekolah-sekolah tingkat SMA di lingkungan saya biasanya masuk sekolah pukul 07:00 WIB dan pulang sekolah sekitar pukul 14:00 WIB. Bila ada kegiatan ekstra dan pelajaran bisa sampai jam 15:00 WIB atau jam 16:00 WIB. Mereka berangkat sekolah pukul 06:30 WIB atau lebih awal bagi yang rumahnya jauh dari sekolah. Pulang sampai rumah bisa sampai pukul 16:00 WIB atau lebih. Sepulang sekolah mereka mungkin istirahat dan pada malam harinya belajar atau mengerjakan tugas untuk pelajaran esok hari. Tidak ada cukup waktu dan stamina untuk berolah raga di sore hari. Tidak heran bila hasrat dan bakat olah raga di dalam jiwa muda mereka kurang tersalurkan. Tidak heran bila di lingkungan saya tim bola voli dan bola sepak menghilang.
Saya tidak tahu apa alasan sekolah-sekolah kita menerapkan kebijakan berlama-lama di sekolah. Mungkin tantangan masa depan anak-anak jaman sekarang sebegitu besarnya sehingga hal-hal seperti olah raga, dan keterampilan sosial harus sedikit disisihkan. 🙂
jaman aku SD di sektar rumah juga ramai yang man voli, tapi sekarang gak pernah lagi lihat pertandingan voli
klo ditempat saya sih yang banyak tuh bulu tangkis, itu pun mainnya kebanyakan pas malam hari…
Selain sepak bola, voli, dulu saya waktu sekolah juga diajak kasti. Sekarang? Benar sekali, Mas. Waktu untuk itu sedikit sekali. Sehingga anak-anak di sekolah seakan hanya sekadar dikenalkan saja terhadap olahraga tersebut.
Aanak2 sekarang semuanya pada mager #malesgerak keasyikan main gadget nya masing2