Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Begitulah definisi Warga Negara Indonesia sesuai yang saya dapatkan dari wikipedia. Selengkapnya bisa dibaca di sini.
Kenapa saya tiba-tiba berbicara tentang kewarganegaraan. Memang ini bukan bidang saya. Saya penasaran mencari tahu karena saya memang tidak tahu menahu. Rasa penasaran saya ini berangkat dari keluhan seorang sopir angkot yang kebetulan merupakan tetangga dusun dimana saya tinggal.
Si Sopir angkot itu menceritakan masalahnya ketika anak perempuannya yang sedang lulus SMK menemui kesulitan ketika akan melalui proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) di balai desa. Surat pengantar dari RT dan Dusun dimana ia tinggal ternyata belum membantu melewati proses di kantor balai desa. Seyogyanya bila proses di kantor balai Desa Grogol sudah beres, pengurusan KTP selanjutnya adalah di kantor Catatan Sipil yang bertempat di kantor Kecamatan Paliyan.
Ketika saya tanya apa masalahnya sehingga proses pembuatan KTP menemui kesulitan ternyata adalah ayah si anak perempuan itu masih mempunyai tunggakan hutang yang terkait dengan pemerintah desa.
Bagaimana si ayah anak perempuan itu yakin kalau permasalahannya adalah masalah hutang. Cerita si sopir angkot itu adalah ketika pada suatu malam ia datang ke kediaman lurah desa untuk menanyakan hambatan pembuatan KTP si anak perempuan. Lurah desa menjelaskan ia akan segera mempermudah pengurusan KTP bila si ayah segera melunasi hutang-hutangnya.
***
Saya tidak habis pikir. Betapa apes nasib si anak. Taruhlah si sopir angkot ayah anak perempuan itu bersalah. Tetapi kenapa si anak harus turut menanggung dosa. Kenapa gara-gara kesalahan seorang ayah, hak warga negara seorang anak menjadi terhambat. Dalam hal ini adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk.
Dalam urusan utang-piutang, misalnya ayah saya mempunyai hutang dengan suatu Bank. Kemudian karena alasan tertentu ayah saya tidak atau belum bisa melunasi hutang-hutangnya, apakah serta merta saya akan menerima hutang warisan. Apakah bank akan menagihkan hutang ayah saya itu kepada saya? Sepanjang yang saya tahu tentu saja tidak.
Bukan berarti saya berpihak kepada si sopir angkot. Saya setuju bahwasanya kewajiban orang yang berhutang adalah membayarkan sesuai kesepakatan mulanya. Hak orang yang meminjamkan pula untuk mendapatkan pembayaran hutang sesuai kesepakatan. Dan bukankah Indonesia adalah negara hukum yang mempunyai aturan tentang bagaimana menyelesaikan sengketa dan piutang.
Tidak dengan menyalah gunakan wewenang dan kekuasaannya sebagai Lurah Desa dengan mempersulit hak-hak kewarganegaraan seseorang untuk memaksa seseorang segera melunasi hutang-hutangnya.
Penggunaan ancaman agar segera melunasi hutang-hutang dengan pihak desa bila tidak ingin dipersulit bila mengurus surat-surat seperti KTP, KK dan lain-lain ternyata tidak hanya pernah ditujukan kepada si sopir angkot. Menurut cerita si sopir angkot sudah ada beberapa orang yang mendapatkan perlakuan serupa. Ketika permasalahan ini kemarin sore saya perbincangkan dengan Mas Tunjung dan teman-teman yang lain, ternyata Lurah Desa sudah sering mengutarakan konsekuensi bila tidak segera melakukan penyelesaian urusan hutang-piutang.
Jadi ke depan saya khawatir ancaman dan tekanan serupa bisa dikenakan kepada lebih banyak orang. Lebih dari permasalahan hutang-piutang.
Saya awam terkait permasalahan ini. Mohon pendapat dari teman-teman yang lebih mengerti hukum di Indonesia. Bukan hukum rimba tentu saja. 😀
eh kok, kan yang ngutang Bapaknya, kenapa jadi anaknya jadi ikut susah
kalo misal Bapaknya yang mau urus KTP terus dipersulit karena soal hutang itu mungkin saya masih bisa maklum *walo tetep aja aneh*, cuma ini kan anaknya yang mau urus
dafuq tenan nek oknum koyo ngene iki mas.
*ngelus dodo*
bantu menyebarkan om
perlu di protes nih mas
harusnya masalah utang piutang tidak mengganggu sesorang dalam memperoleh KTP masbro
aneh sekali ya hukum di sana
Lurahnya melakukan “blunder” kebijakan, .. 😦
wah ngga bener nih…
kalo tunggakan berkaitan dengan PBB, keknya udah peraturan dari kelurahan tapi kalo utang berkaitan dengan pemerintahan desa, nah.. ini yang patut dipertanyakan, utang apaan coba? CMIW
bukan masalah PBB mas, ini masalah piutang, pinjaman 🙂
Wah itu sih menyalahgunakan wewenang utk kepentingan pribadi.
aneh ..
Ping balik: e-KTP Sampai Sekarang Belum Jadi, Terus Kapan Jadi? « Menuliskan Sebelum Terlupakan