Di desa dimana saya tinggal, tradisi Rasulan atau Bersih dusun (atau di desa lain dikenal dengan sebutan Bersih Desa) sudah lama dikenal dan sampai sekarang masih rutin dilaksanakan oleh masyarakat. Sebagaimana di desa-desa agraris lain di Jawa, Rasulan merupakan salah satu cara masyarakat Petani dalam mengungkapkan rasa syukur mereka kepada Tuhan yang telah melimpahkan sejahtera di bumi yang dihuni manusia ini. Jadi tak heran bila tradisi Rasulan dilaksanakan tiap selesai musim panen padi. Mengingat padi (beras) merupakan makanan pokok masyarakat Jawa dan mansyarakat di desa dimana saya tinggal.
Di desa dimana saya tinggal, Rusulan atau Bersih Dusun tidak dilaksanakan secara serentak. Desa saya yang terbagi menjadi beberapa dusun, masing-masing dusun umumnya mempunyai hari Rasulan tersendiri. Misalnya di dusun Senedi dilaksanakan pada hari Rabu Legi tiap selesai musim panen dan di dusun Karangmojo dilaksanakan pada hari Jumat Legi seusai musim panen. Seiring waktu, hari pelaksanaan Rasulan bukan lagi hal yang sakral. Jadi tak heran bila terkadang masyarakat menunda atau mengubah hari diadakannya acara Rasulan atau Bersih Dusun ini. Misalnya: Di Padukuhan (dusun) Karangmojo B, Bersih Dusun/Rasulan sudah dilaksanakan pada Hari Jumat Legi, 2 Mei 2014 sedangkan di Padukuhan Karangmojo B rasulan baru akan dilaksanakan setelah Puasa Ramadhan tahun ini, atau sekitar bulan Agustus kelak. Alasan penundaannya karena pada bulan-bulan ini masyarakat padukuhan tersebut sedang sibuk dan bila ditunda sampai bulan Agustus dipandang Rasulan bisa dilaksanakan dengan lebih meriah.
Di beberapa desa di Gunungkidul, pelaksanaan Rasulan dari tahun ke tahun memang dilaksanakan dengan semakin meriah. Rasulan yang pada jaman dulu sebatas berupa kenduri sederhana di balai desa/balai padukuhan dan pada malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang kulit, di beberapa desa kini Rasulan atau Bersih Desa berubah menjadi semacam pesta rakyat yang dilaksanakan secara meriah dalam beberapa hari. Ada desa yang dalam melaksanakan rasulan ini menggelar pasar malam, pesta rakyat, pameran, berbagai pentas seni tradisional dan lain-lain. Ada pula desa-desa di Gunungkidul yang mengoptimasi tradisi Rasulan sebagai daya tarik wisata budaya.
Rasulan di padukuhan saya sendiri bukan termasuk Rasulan yang meriah itu. Dari dulu sampai sekarang tetap dilakukan dengan cara sederhana. Bila tidak mau dibilang makin “sederhana”. Masyarakat di padukuhan dimana saya tinggal merasa cukup melaksanakan Rasulan dengan menggelar kenduri di balai padukuhan. Dengan membawa ke balai padukuhan makanan berupa masakan tradisional yang terdiri dari: nasi, sayur, tempe, rempeyek, nasi gurih, ingkung, ketan, jadah, masakan-masakan lain yang berbahan hasil bumi lainnya. Sesampainya di balai pedukuhan semua jenis masakan itu dikumpulkan dan setelah didoakan oleh pemuka agama, dibagikan lagi kepada masyarakat padukuhan itu sendiri dan kepada masyarakat padukuhan tetangga yang pada hari itu tidak melaksanakan tradisi Rasulan.
Begitu saja.
Bahkan beberapa rangkaian acara Rasulan yang oleh masyarakat dianggap bertentangan dengan ajaran agama, saat ini sudah dihilangkan, tidak dilakukan lagi. Apa yang dihilangkan itu diantaranya adalah: Mbuangi. Mbuangi adalah mengirimkan makanan dalam porsi dan cara tertentu kepada para penunggu sumur-sumur tua yang ada di sekitar Padukuhan. Mbuangi ini mengingatkan masa kecil saya ketika bersama beberapa teman sebaya diperintah oleh pemuka adat untuk mbuangi ke Sumur Gede, Sumur Senedi dan Sumur Nglundo 🙂
Berikut ini adalah beberapa foto yang saya ambil dari tradisi rasulan yang diselenggarakan di padukuhan dimana saya tinggal:
Tulisan Mengenai Rasulan sebelumnya;
Oleh-Oleh dari Rasulan di Padukuhan Karangmojo B
Wah, bagus banget mas, di sana tradisinya masih bertahan… 😀
Setahu saya, di desa tempat tinggal saya ngga ada Rasulan…. Paling-paling nyadran, menjelang bulan Ramadhan….
Di sini nggak ada loh rasulan itu. Tradisinya beda ya berati. Di Nganjuk sini paling kondangannya ya memperingati hari jadi kota Nganjuk, atau kondangan2 biasa.. Aku palign suka kalau kumpul2 rame2 begituuu
Wah jadi meriah sekali ya mas. Namun tetap membersihkan desa kan? Kalau di tempat saya namanya Jum’at Bersih.
kalau di tempatku rasulan itu artinya selamatan semacam syukuran gitu
kalau di kampungku adanya bersih desa, bukan bersih dusun
di tempat saya gak ada tradisi rasulan atau semacam itu. Meriah ya …
Makanannya semua dimasukkan ke “tenggok” spt itu ya?
Banyak sekaliiii…. sebanyak itu bisa habis?
Kok di tempatku gak ada acara rasulan spt itu ya?
Kayaknya asyik tinggal di sana
ditempat saya ga ada rasulan,
nasi dan lauknya banyak juga,
semakin kesini semakin religi masyarakat berarti ya, jadi mbuang makanan ga ada lagi.
Keren banget Mas Jawardi, Kebudayaan dan tradisinya masih terjaga.
Salam kenal dari Adelays,
Sekalian memberikan informasi kalau berminat ikut lomba ngeblog berhadiah Rp. 12.500.000, saya share disini :
http://adelays.com/2014/05/02/lomba-nge-blog-berhadiah/
Wow, masih dilaksanakan ya adat seperti ini. Di kota enggak ada >.<
Kebayang andai bisa hadir langsung di acara ini 🙂
Adat seperti ini kalau di daerah masih dijalankan. Saya suka kalau main ke kampung pas ada adat-adat kayak gini. Sesuatu yang beda gitu.
guyub sekali ya mas…. sayang sekali, di tempat tinggal saya, meskipun bukan kota, keguyuban semacam ini sudah sangat berkurang. paling2 kumpul pas Suronan dan Agustusan.
Semoga tetap lestari tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya dan tidak bertentangan dengan agama.