Saya mengenal Dewi Sri melalui buku-buku bacaan pada jaman Sekolah Dasar dulu. Dikisahkan dalam buku-buku itu Dewi Sri adalah dewi penjaga bagi kelahiran dan kehidupan. Yang mana sang dewi pun dengan kekuasaannya mampu mengatur hasil bumi, pangan manusia di dunia, terutama padi yang dilambangkan sebagai pangan manusia sejahtera. Jadi tidak terlalu salah bila Dewi Sri disebut juga Dewi Padi.
Minggu pagi pekan lalu (9 Maret 2014) perjalanan naik motor saya menuju Embung Langgeran, Pathuk, Gunungkidul sedikit terhambat oleh arak-arakan festival di ruas jalan di Desa Putat. Arak-arakan yang kemudian saya tahu sebagai Festival Dewi Sri. Sebuah festival yang mengingatkan saya pada suatu legenda yang saya tuliskan di dalam paragraf pertama di atas.
Festival Dewi Sri yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Putat itu terlihat semarak. Nampak diidukung oleh segenap elemen masyarakat desa dari anak-anak, pemuda pemudi, bapak ibu sampai beliau yang sudah tua namun terlihat antusias. Nampak pula oleh saya beberapa orang yang dari tindak tanduk gerak geriknya nampak bukan masyarakat biasa, kalau bukan perangkat desa mungkin mereka adalah pejabat pemerintahan setempat.
Dewi Sri yang difestivalkan sepanjang yang saya tahu bukanlah suatu adat budaya di Jawa, bukan pula suatu tradisi. Sependek yang saya tahu, dalam catatan sejarah Jawa merayakan rasa syukur atas panen bukanlah dengan kehiruk pikukan. Namun kalau boleh saya menyebutnya, ini bisa dibilang sebagai kontemporer-isasi istiadat. Toh dalam banyak hal, kehiruk pikukan semacam ini menyenangkan juga bagi banyak orang.
Beberapa hari yang lalu, masih dalam penasaran saya akan Festival Dewi Sri di Desa Putat, Pathuk, Gunungkidul ini, saya googling dan mendapatkan beberapa dari media online. Dari media online itu saya mendapati bahwa Festival Dewi Sri ini memang baru pertama kali diadakan di Desa Putat. Diinisiasi oleh masyarakat setempat dan didukung oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Festival Dewi Sri ini bertujuan untuk meningkatkan hasil panen. Hmmm… Ini terdengar klise, tapi tujuan berikutnya yang lebih masuk akal adalah disebutkan untuk memajukan sektor pariwisata di desa Putat itu.
Jumlah pengguna internet yang terus meningkat, angka pertumbuhan ekomoni yang cukup bagus dan infrastruktur yang sedikit demi sedikit terperbaiki adalah sebab mengapa arus wisatawan ke Gunungkidul dalam beberapa tahun terakhir ini terus meningkat. Jadi wajar-wajar bila makin banyak yang ingin mendapat bagi aliran wisatawan itu dengan banyak melakukan optimasi di sana-sini. Ada yang mengoptimasi wisata alam, wisata kuliner, wisata minat khusus, maupun wisata adat budaya seperti dengan mengadakan Festival Dewi Sri ini. ๐
Menurutku dewi srinya dipilih yg tidak berjilbab saja. Soalnya akan lebih pas menggambarkan dewi sri sesungguhnya sesuai budaya. Hehehe..
Di desa deket kantor aku di klaten juga lagi musim panen. Sebagian sudah mulai tanam.
Tapi gak ad festival seru kaya gini nya. Paling kalo iseng2 jalan2 bisa diajak ikutan bancakan yg lagi pada panen. Lumayan makan gratis *eh
Kalau untuk meningkatkan daya tarik wisatawan masuk akal.. tapi kalau menambah hasil panen sepertinya kurang relevan..
baru pertama kali diadakan di sana ya ? semoga makin berkembang deh festivalnya, biar makin rame tu wisatawan kesana
Neng ndesaku mbiyen yo sering ada karnaval, biyasane pas pitulasan/rasulan. ning saiki kayane wes sepi…. ๐ฆ
acara yang menarik kihh..
aku malah baru tau setelah acara selesai *doh
yang kayak gini ini harus terus di lestarikan, biar nanti anak cucu kita juga tau ๐