Menangkap Ikan dengan Racun

Ikan, pada jaman saya masih di sekolah dasar dulu, pada musim hujan sangatlah mudah ditemukan di desa dimana saya tinggal. Ikan-ikan liar bebas berkeliaran di sungai, di sawah bahkan di parit-parit kecil. Tak heran anak-anak sebaya saya banyak yang menikmati permainan menangkap ikan.

Menangkap ikan tentu saja bukan hanya kesukaan anak-anak saja. Orang muda, orang tua semua suka menangkapi ikan-ikan yang banyak ditemukan dimana. Kalau orang-orang tua umumnya menangkap ikan untuk lauk.

Mulanya mereka menangkap ikan-ikan di sawah, di kolam alam, di sungai dengan alat sederhana seperti kail, jaring, jala, icir dan sejenisnya. Sampai kemudian orang-orang mulai menemukan cara sangat mudah untuk menangkap ikan, yaitu dengan racun atau setrum listrik.

Nah, cara yang terakhir ini yang merusak segalanya. Racun dan setrum merusak ekosistem ikan. Populasi ikan makin lama makin menurun. Sampai sekarang berakibat pada semakin sedikitnya ikan-ikan yang bebas berkeliaran di sungai, di sawah dan di parit-parit. Ikan-ikan tertentu seperti gabus bahkan bisa dikatakan punah.

Populasi ikan yang sampai sekarang sudah sangat menipis ini ternyata belum membuat orang-orang insyaf dari meracun ikan. Tiap kali melihat ada sungai yang alirannya tidak deras dan ada ikannya, banyak orang yang buru-buru ingin meracunnya. Melihat ada ikan-ikan di sawah sudah buru-buru ingin menyetrum ikan. Haduuuuh …

Meracun dan menyetrum ikan, memang secara hukum dilarang. Itu perbuatan illegal. Tetapi ya aturan tetap sebatas aturan. Tidak mudah menegakanya. Masyarakat sebenarnya tahu kalau meracun dan menyetrum ikan itu salah dan bisa dipenjarakan, sekaligus masyarakat tahu kalau aturan itu tidak akan terlalu dipedulikan. Meracun dan menyetrum ikan bagi masyarakat tidak dianggap sesuatu yang melanggar norma jadi tidak ada sanksi sosial bagi yang melakukannya.

Seperti orang mencuri kayu milik hutan. Meskipun kalau tertangkap bisa dihukum, mencuri kayu milik hutan bukanlah perbuatan yang memalukan, karena toh yang dicuri bukan milik warga/milik perseorangan. Tidak ada malu (sanksi sosial) baik bagi peracun ikan maupun pencuri kayu di hutan.

Meracun, menyetrum ikan dan perbuatan merusak alam adalah ancaman yang nyata.  Sangat menjadi tantangan untuk menyadarkan kekhilafan publik ini.

Iklan

Merusak Botol Bekas Air Mineral

Baru saja di ruangan dimana saya numpang mengerjakan kerjaan editing terjadi peristiwa yang membuat agak risih. Seorang bapak-bapak karyawan masuk ruangan dan meminta beberapa botol minuman bekas. Saya tanya untuk apa, katanya botol itu mau diloakkan, dijual gresek.

Rasa risih itu bukan karena saya pelit dengan botol-botol bekas minuman itu. Apa yang segera terlintas di kepala adalah akan dipakai untuk apa botol bekas itu pada akhirnya. Untuk digunakan lagi? Atau untuk mengemas produk-produk minuman palsu? Secara bapak itu hanya meminta botol yang masih bagus secara fisik.

Ini memang kesalahan saya sendiri. Akibat saya malas merusak botol-botol bekas minuman ini sehabis dipakai dan segera membuangnya di tempat sampah. 😦

Sarang Burung Truwok Pindah ke …

Pohon Melinjo di belakang rumah saya ini biasanya sejak pagi sudah banyak burung kutilang dan trotokan yang nongkrong – nangkring berkicau. Tetapi tadi pagi burung – burung pekicau itu pindah tongkrongan. Tidak jauh sih. Masih di pepohonan lain di sekitar kebun milik keluarga.

Eksistensi burung Kutilang dan burung Trotok’an ini rupanya terusir oleh kehadiran sepasang burung Truwok –bahasa Jawa, entah apa nama burung ini dalam bahasa Indonesia– yang membuat sarang di pohon Melinjo. Saya tadi melihatnya dari balik Jendela kamar. Tidak lazim memang kalau burung ini bersarang di rerantingan pohon. Mereka terpaksa menyesuaikan diri karena tempat lama bersarang, di rerumputan di pematang – pematang sawah terusir oleh manusia. Rerumputan di pematang – pematang itu dibabat oleh Pak Tani untuk pakan ternak Sapi/Kambing.

Begitulah, satu habitant terpengaruh akan kemudian mempengaruhi habitant yang lain. Berikutnya dan berikutnya membentuk rantai berantau … 😉

Posted with WordPress for BlackBerry via Telkomsel Network

Produk Refill : Mengurangi Sampah Plastik?

Pernah me-refill cartridge printer? Sering ya 😀 Harga cartridge printer memang kelewat mahal dibanding dengan beberapa kali mengisi ulang dengan tinta refill. Bahkan ada yang jualan tinta refill dalam kemasan botol. Untuk ukuran saya, me-refill cartridge printer itu sangat menghemat duit.

Lain cerita,  beberapa bulan yang lalu saya tertarik  membeli isi ulang sabun cair, Vas*l*nm*n. Sebenarnya harganya tidak banyak berbeda dengan yang non refill. Kira – kira selisih 25%. Tidak banyak memang. Kemasan sabun cair itu sampai saat ini sudah 3 kali saya refill. Alasan saya me-refill itu sebenarnya cukup mulia, kalau bukan karena ikut-ikutan trend termakan iklan lingkungan hidup, yaitu untuk mengurangi sampah botol plastik.

Tetapi setelah saya pikir – pikir kok apa yang saya lakukan itu tidak cukup ber-efek. Toh kemasan plastik sabun cair untuk refill itu  akan segera berakhir di tempat sampah … 😀

Jauhkan Anak – Anak dari Topeng Monyet!

Saya tidak suka dengan atraksi Topeng Monyet.  Kenapa? Orang yang mengeksploitasi monyet untuk mengais recehan, menurut saya tidak berperi-kehewanan. Mereka merampas hak dan kemerdekaan monyet untuk hidup nyaman dan berkembang biak dengan bahagia di habitat aslinya. Monyet – monyet yang sudah ditopeng-monyetkan seperti ini tidak mudah/hampir mustahil untuk bisa dikembalikan untuk hidup normal di habitat asli mereka.

Lebih biadab lagi, atraksi topeng monyet ini lebih sering disajikan sebagai tontoanan anak – anak kecil. Artinya secara tidak langsung, tetapi efektif untuk mendidik anak – anak kita untuk memperlakukan binatang sebagai barang mainan semata. Bukan sebagai makhluk yang mempunyai hak untuk hidup damai dan berbiak dengan bahagia. Atraksi topeng monyet seperti ini beberapa waktu lalu membuat saya merasa berang dan mengumpat dalam hati, “Rasain kalau si Abang Topeng Monyet itu diculik Alien dan ditopeng-monyetkan di galaxy antah barantah” 😦

Gambar dipungut dari sini

Selamat Hari Bumi

Google telah mengingatkan kalau sekarang hari bumi. Mari kita memberikan sekecil apa yang kita bisa untuk bumi tercinta. Syukur – syukur bisa melakukan hal besar. Kalau tidak bisa memberi apa apa, setidaknya kita tidak mengambil secara berlebihan dan tidak berbuat kerusakan.

Selamat Hari Bumi

MILO, sama rupa tapi beda

milo

Kedua kemasan Milo saset ini nampak sama. Tapi beda. Bukan hanya beda takaran isi tapi juga spesifikasinya. Dan beda harga pula.

Sebenarnya ini bukan masalah dan memang tidak ada masalah yang terjadi. Hanya saya heran juga, mengapa perusahaan sekelas Milo kurang mempertimbangkan aspek desain produk dan kemasan agar setiap spesifikasi lebih terarah pada konsumen yang tepat. Baca lebih lanjut

Internet : Wilayah Politik Baru

Barack Obama

Barack Obama

Peranan Internet bagi kemenangan Barack Obama atas John Mc Chain pada Pemilu di United States yang dilangsungkan kemarin, Rabu, 5 November 2008 waktu Indonesia merupakan tonggak sejarah terbuktinya pergeseran pengaruh politik ke dunia baru. Dunia Maya. Sebuah planet dimana sebagian besar inhabitant nya merupakan kaum muda dan kaum terpelajar. Dan tentu saja diperlukan cara – cara dan bahasa baru untuk berkomunikasi dengan mereka. Silahkan baca disini dan disini. Keseriusan dan Keberhasilan Tim Kampanye Obama dalam menggalang dana, dukungan dan Suara telah mengantarkan si Kulit Hitam ini menjadi Presiden Amerika Pertama non Kulit Putih. Wilayah baru, cara berpolitik baru, cara berkampanye baru dan dilengkapi dengan Presiden Baru. Seorang Barack Obama.

Sepanjang Perjalanan saya dari rumah ke sawah tempat mencari makan, beberapa Minggu belakangan ini sudah berdekorasikan Bendera beraneka warna. Bendera Bendera Parpol kontenstan yang akan berlaga pada Pemilu 2009 mendatang, Pemilihan Wakil Rakyat dan Pemilihan Pemegang Kursi R I SATU. Lebih dari sekedar jalanan yang berhiaskan warna warni Pelangi, banyak Caleg yang sudah mencuri curi start berkampanye dengan memanfaatkan berbagai momen dan event. Dalam bayangan Para Penjual Partai dan Figur Caleg di pasar pasar tradisional ala Indonesia, penggalangan masa dan bagi bagi rejeki masih dianggap cara yang ampuh supaya dagangan mereka laris manis.

Berbeda dengan Calo nya Obama yang menggarap pasar secara intelektual, memperlakukan konstituen sebagai makhluk ber neokorteks, nampaknya para jurkam ala negeri Roro Jonggrang ini lebih melihat pangsa pasar mereka di dominasi primata ber limbik kongkret yang bisa secara emosional memberikan apa yang mereka punya, mengikuti arus mayoritas yang gayeng regeng. Konstituen juga perlakukan tidak lebih dari primata yang butuh makan sehingga perlu dibagi bagikan sembako kepada mereka. Kalau di AS para pendukung menyumbang dana Kampanye kepada Kandidat Pilihan mereka, bukan menjadi rahasia kalau di negeri serba semalam ini, orang atau sekelompok orang lebih suka meminta sejumlah uang sebagai pengganti suara yang akan mereka berikan atau menghendaki jalan ke komplek mereka di aspal atau kompensasi fasilitas lain untuk dipertukarkan.

Berbeda dengan Amerika yang lebih dari 74% masyarakatnya melek dan menggunakan internet, teledensitas masyarakat internet indonesia yang baru 89 per 1000 [ data saya baca dari sini ], memang bukanlah suatu lahan subur untuk digarap. Tetapi berdasarkan grafik pertumbuhan yang menukik serta kecenderungan global, suatu saat nanti Indonesia juga akan memasuki babak dan wilayah baru dalam politik. Atau bisa jadi dalam semalam Bandung Bondowoso bisa memindahkan Panggung Politik Nasional dari pasar dan lapangan ke Gelanggang Media Informasi dan Internet. Sepertinya tidak ada yang tidak mungkin terjadi di Indonesia.

Baca lebih lanjut