Jam setengah enam pagi waktu desa dimana saya tinggal nampak di sekitar rumah saya berkabut tebal. Ini langsung mengingatkan saya dengan Turunan Geoforest atau yang dulu dikenal dengan Watu Payung. Beberapa waktu yang lalu ketika saya ke Turunan Geoforest, oleh petugas parkir di sana, saya diberi tahu: waktu terbaik untuk menikmati pemandangan alam di Turunan Geoforest adalah pada pagi hari. Pemandangannya adalah tebing, bukit, hutan dan sungai oya yang diselimuti oleh kabut.
Landscape Taman Wisata Alam Watu Payung pic.twitter.com/Lb8pAGHS5q
— jarwadi MJ (@jarwadi) February 22, 2016
Ketika saya tanya apakah pemandangannya seperti di Kebun Buah Mangunan? Mas, petugas parkir itu menjawab: menurut beberapa pengunjung pemandangannya lebih bagus di sini, di Turunan Geoforest.
Saya pun langsung berkemas dengan cepat. Sekitar pukul 6 saya meluncur menembus kabut dan melawan kedinginan dengan berkendara sepeda motor menuju Watu Payung (Turunan Geoforest) yang terletak kira-kira setengah perjalanan dari rumahnya. Watu Payung/Turunan Geoforest tepatnya terletak di Dusun Turunan, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul sebelah barat. Berbatasan dengan kecamatan Imogiri kabupaten bantul.
Rute yang saya lalui kemarin pagi adalah: dari rumah saya, kantor kecamatan Paliyan ke Barat, melewati Ketangi dan Balai Desa Bayusoca, kemudian keselatan melewati jembatan besi Gedad dan belok kiri menanjak melewati dusun Klepu sampai akhirnya saya sampai di Geoforest.
Kalau kamu juga ingin ke ke sana, berikut ini adalah Peta Google Rute Menuju Turunang Geoforest/Wisata Alam Watu Payung. Silakan diikuti dengan gadget kamu:
Pagi itu saya tidak bisa memacu sepeda motor lebih cepat. Kabut yang tebal di sepanjang jalan menghalangi pandangan mata saya. Jarak pandang sangat pendek. Saya harus berhati-hati mengingat jalanan yang saya lalu banyak turunan, tanjakan, tikungan tajam dan bermacam kelokan. Lampu sepeda motor saya yang menggunakan lampu LED warna putih ternyata punya kelemahan tidak bisa menembus kabut. Nah, mungkin saya harus menggantinya dengan lampu warna kuning atau halogen. Atau menambahkan lampu kabut tersendiri.

Turunan Geoforest, Girisuko, Panggang, Gunungkidul
Sesampai di Geoforest, saya langsung bergegas ke Gardu Pandang, ke Gardu Pandang 1 yang terletak di sisi barat. Kabut yang tebal menyelimuti apa saja sudah turun menyambut saya.
Mau Selfie di sini: pic.twitter.com/ssrhPhnA4Q
— jarwadi MJ (@jarwadi) February 22, 2016
Memotret Kabut di Turunan Geoforest pic.twitter.com/GiMqFaOWOi
— jarwadi MJ (@jarwadi) February 22, 2016
Sayangnya sekitar pukul setengah tujuh pagi itu di sana matahari sudah tinggi. Ini berbeda dengan gambaran yang ingin saya potret. Apa yang ingin saya potret sebenarnya adalah sunrise yang berselimut kabut.
Tidak apa-apa, lain kali saya akan ke sini lagi berangkat setelah subuh. Toh jaraknya dari rumah saya cukup ditempuh 30 menit dan satu liter pertamax saja.
Saya pun pagi ini memutuskan untuk bersantai saja. Menikmati alam secara apa adanya. Duduk dan kadang sendirian bermain ayunan (juga sendirian). Nah makanya kalau ke sana lagi ajak teman. Atau memang lebih nyaman jalan sendirian?
Ayunan di Turunan Geoforest/Taman Wisata Alam Watu Payung, Girisuka, Panggang, Gunungkidul pic.twitter.com/D4J8s3QrJ3
— jarwadi MJ (@jarwadi) February 22, 2016
Minggu pagi itu mulai hangat ketika tiba-tiba saya ingin trekking, menikmati alam dan suasana Turunan/Watu Payung Geoforest dengan cara yang sedikit berbeda dari sekedar wisatan, ya secara saya juga tidak bisa dibilang wisatawan, anggap saja penikmat alam begitu saja.
Apa yang ingin saya tuju pada trekking pagi itu adalah persawahan yang nampak di kejauhan dan sungai Oya yang nampak berkelok-kelok indah. Dari Gardu Pandang 1 menuju ke sana ternyata sudah ada jalan yang bisa dilalui. Berupa jalan setapak kecil, menurun, berkelok yang terletak di sisi barat gazebo. Saya pun melalui jalan ini. Trekking menyusuri jalan setapak perbatasan kabupaten Gunungkidul dan kabupaten Bantul ini menyenangkan, dan kontemplatif.
Perbatasan Gunungkidul Bantul pic.twitter.com/eU3HKLGejg
— jarwadi MJ (@jarwadi) February 22, 2016
Menyusuri jalan setapak kecil yang di kiri kanannya menjulang pohon-pohon jati dan pohon sono, dimana ada iringan gemericik air alam mengingatkan akan masa kecil saya. Dulu ketika alam belum rusak saya kerap menikmati, bisa dibilang tiap hari berjalan di tengah-tengah suasa seperti ini, di hutan sebelah barat desa yang di tengah-tengahnya juga terdapat sungai yang mempunyai karakter kurang lebih seperti sungai Oya ini.
Sendirian trekking di hutan yang belum dikenal kemudian saya sadari berbahaya, bukan saya takut dimangsa binatang buas atau takut tergelincir jatuh ke jurang. Apa yang saya khawatirkan adalah tersesat. Ada banyak percabangan jalan setapak di sana. Jadi saya mulai sadar harus mengingat baik-baik tiap persimpangan dan percabangan jalan setapak ini.
Nah, sampai juga di persawahan yang tadi nampak dari gardu pandang. Adonan antara sawah dengan padi menghijau, gubug di tengah-tengahnya, sungai dan gunung menjadi latar belakangnya adalah gambar-gambar yang paling saya suka di buku-buku sekolah dasar dulu. Saking senangnya saya juga suka melukiskannya dulu di lembaran buku gambar.
Persawahan di Kab Gunungkidul pic.twitter.com/XoaUNQ2USO
— jarwadi MJ (@jarwadi) February 22, 2016
Puas memotret beberapa kali, saya pun rasanya harus menuntaskan trekking kali ini di pinggiran sungai Oya, di pinggiran sungai ini saya istirahat dengan duduk-duduk, mendengarkan aliran sungai, dan menyimak kicau burung tengkek.
Perjalanan balik dari Sungai Oya ke Gardu Pandang dimana saya tadi memulakan trekking adalah perjuangan. Perjuangan pertama adalah melawan kesesatan. Dengan mengingat-ingat baik-baik setapak dan persimpangan yang tadi saya lalui. Perjuangan kedua adalah melawan tanjakan yang curam. Ini cukup menguras keringat. Pada saat yang sama saya harus menghemat energi sekaligus biar tidak dehidrasi.
Trekking pagi ini benar-benar tanpa persiapan. Sebelumnya saya tidak sarapan, tidak cukup minum dan parahnya juga tidak membawa bekal air minum. Saya merasa lega sesampainya lagi di Gardu Pandang. Saya merasa puas dan saya merasa aman karena meski rasa haus mendera toh saya selamat juga sampai di sini, hehe.
Iseng mengecek aplikasi Health di iPhone, ternyata trekking pagi ini setara dengan 9.421 langkah atau saya setara telah berjalan sejauh 8,33 km. Phew.
Tahu ini saya merasa tidak terlalu berdosa karena pagi ini saya tidak latihan lari. Hitung-hitung ini bisa setarakan dengan sebuah latihan ringan, atau berat? hehe
Di bawah ini adalah pemandangan pada kunjungan saya ke Turunan Geoforet beberapa waktu sebelumnya:
beda banget ya hasil foto yang udah ahli kaya gini hasilnya pasti bagus
fotonya keren-keren mas, heheh
bagus-bagus banget gambarmu jar
Cantik ya!
Btw itu embeded twitter bisa, harusnya IG juga bisaaa
Ah saya belum pernah memotret kabut. Dulu banget waktu di Berastagi sering berkabut tapi belum pernah difoto.
Destinasi selanjutnya *nyatet
melihat foto kabut kedua, aku malah membayangkan tempatnya pasti lumayan dingin. Aku juga jadi ingat akan kampung halaman yang dinginnya minta ampun kalau pagi-pagi.
Salam kenal Mas Jar, makasi tadi udah kesasar di blog saya. Daaan, setelah sampai sini saya tersedot oleh pemandangan yg indah indah ini. Dulu, lebih sepuluh tahun lalu, saya KKN di Playen. Selama masa KKN iti kelompok kami menghabiskan 11 rol film utk mengabadikan kenarsisan kami di tempat2 yg indah di GK dan belum seterkenal sekarang.
Agaknya sy juga pernah melewati jalur yg ada di postingan ini saat akan turun ke Yk melewati jalur bantul. itu memang luar biasa indaaaaah, kelak kelok jalannya, naik turun bukitnya, hijau menawan walau ngeri2 sedap karena jarang banget kendaraan yang lewat.
Nah jadi nostalgia…:)
Maaf ya mas… salam kenal sekali lagi..
Wih jadi ingat paralayang di Batu. Padahal aku ke sana aja juga belum pernah. >,<
#anak rumahan
gak ada habisnyaaaa Jogjaku tercintaaaa
i am coming brooo
Viewnya ajib mas 😀
Pemandangannya keren. Masih alami. Belum ada tower2 kayak di Gunung Api Purba
Jadi pengen beli kamera mahal 😀
indahhnyaaa.. 🙂
mantab tekniknya gan…
malah belum pernah kesini..padahal beberapa kali lewat jalur imogiri panggang..
kudu diagendakan nih..
papan petunjuk arah jelas kan mas?
Ping balik: Melihat Potensi Wisata di Wilayah Kecamatan Paliyan | Menuliskan Sebelum Terlupakan
Sudah 2 kali ke sana dan belum menyempatkan pagi-pagi sekali biar dapet kabut menyelimuti kali opaknyaa
Ping balik: Jalan-Jalan ke Puncak Panguk dan Jembatan Gantung Selo Pamioro | Gadget, Running & Travelling Light
Ping balik: Memotret Sunrise Berbalut Kabut di Watu Payung – Gunungkidul | Gadget, Running & Travelling Light
Ping balik: Mencari Gua Pertapan di Turunan Panggang Gunungkidul | Gadget, Running & Travelling Light