Berikut adalah tampak atas foto – foto alam desa dimana saya tinggal. Foto diambil oleh Mas Andri Gandes. Dari Menara BTS Telkomsel.
Klik untuk melihat lebih banyak foto:
Berikut adalah tampak atas foto – foto alam desa dimana saya tinggal. Foto diambil oleh Mas Andri Gandes. Dari Menara BTS Telkomsel.
Klik untuk melihat lebih banyak foto:
Saya semalam lumayan sebel. Gara – gara burung malam yang berkicau tak  henti henti di dekat rumah dimana seharusnya tidur senyenyak – nyenyaknya. Jam menunjukan angka kurang dari 3, tetapi saya memutuskan untuk keluar rumah bermaksud mendiamkan burung yang tidak tahu diri itu dengan lemparan batu. Sungguh kejengkelan saya itu benar – benar menanggalkan rasa kantuk dan hawa dingin sangat dini hari di luar rumah.
Burung malam itu masih saja meneriakan suara “titit tuiiiit” terus menerus.
Niatan saya untuk melempari burung itu saya urungkan. Dalam benak saya. Dia kan burung dan memang suaranya sudah seperti itu dan habitat dia kan disitu. Oleh alam dia sudah ditakdirkan buat ngicau malam – malam. Mana bisa dia tahu kalau malam malam gini ada orang sedang tertidur dan tertanggu dengan kicauaaanya 😀
Burung malam itu saya sebut burung malam saja. Saya tidak tahu apa tepatnya nama burung itu. Hanya yang saya dengar dengan orang orang tua di sini, burung itu disebut burung “titit tuit”
Sebenarnya ada beberapa jenis burung malam di kampung dimana saya tinggal, selain burung Titit tuiiir yang menjadi biang jengkel semalam, ada disebut burung “kulik”, ada burung “tuwu”, dll . Kedua terakhir, semasa saya kanak – kanak, oleh masyarakat kehadirannya diartikan sebagai tanda atau perlambang akan adanya pencuri yang sedang beraksi di desa. Ada ada saya 😀
Petang kemarin, saya ditelepon seorang teman. Inti telpon itu adalah mengkonfirmasi newsticker yang ia dan temannya baca di MetroTV yang memberitakan kalau pengungsi – pengungsi Merapi yang berada di wilayah gunungkidul KELAPARAN. Kelaparan?
Tentu saja saya kaget. Â Dan penasaran pengin tahu. Yang diberitakan metroTV itu pengungsi di Gunungkidul sebelah mana. Atau Posko mana? Â Karena saya sendiri termasuk relawan di posko pengungsian besar di Gunungkidul, yaitu di rest Area Bunder. Di Posko ini saya memastikan semua kebutuhan logistik dan pakaian aman sampai satu minggu.
Memang di Gunungkidul, posko rest area Bunder bukanlah satu – satunya yang digunakan sebagai tempat pengungsian. Pengungsi terbagi menjadi kelompok – kelompok kecil yang berjumlah antara 20 – 80 jiwa dan tersebar di hampir seluruh penjuru gunungkidul yang seluas 18 kecamatan. Pengungsi – pengungsi yang tersebar ini kebanyakan menempati rumah tinggal penduduk Gunungkidul, bangunan balai desa dan bangunan bangunan yang mereka anggap aman untuk mengungsi.
Karena jumlah jiwa per kelompok pengungsi relatif kecil dan tersebar, kelompok ini sempat luput dari publikasi dan kurang mendapatkan perhatian dari relawan dan penderma bantuan. Seorang teman juga bercerita kepada saya kalau pengungsi yang bertempat di desanya sangat kekurangan logistik. Selama mengungsi kehidupan mereka hanya mengandalkan topangan dan kebaikan hati pemilik rumah yang ditempati dan warga sekitar yang terketuk hatinya. Â Agak memiriskan juga. Â Â Karena banyak penduduk yang rumahnya ditempati pengungsi juga bukan semuanya merupakan orang yang berekonomi mampu. Warga sekitar yang rela membantupun tidak cukup meyakinkan akan sampai kapan masih bisa memberikan bantuan jatah makan.
Saya ingin mengumpulkan data tentang jumlah pengungsi yang tersebar ini. –walaupun saya juga tidak bisa berbuat banyak untuk membantu mereka. Tidak mudah ternyata mendapatkan data yang baik tentang tempat dan keadaan kelompok pengungsi ini. Data yang bisa diberikan oleh teman yang diambil dari PB Gunungkidul hanya menyebutkan jumlah jiwa pengungsi per kecamatan. Sedangkan data yang saya butuhkan adalah termasuk alamat, jumlah pengungsi per kelompok. contact person, demografi, angka difabel, sarana MCK dan lain – lain.
Berikut adalah jumlah pengungsi per kecamatan se Gunungkidul :
Meninggalnya mbah Maridjan, Juru Kunci Gunung Merapi telah menjadi simpang siur sejak dini hari sampai saat sekarang saya mengetik posting ini. Mulanya beredar kabar kalau mbah Maridjan meninggal bersama belasan orang lainnya di dalam rumah mbah Maridjan yang terbakar awan panas. Tidak lama berselang disusul kabar mbah Maridjan dtemukan dalam kondisi lemas tetapi masih hidup oleh tim evakuasi. Dan pagi ini santer beredar mbah Maridjan ditemukan meninggal dengan posisi bersujud di ruang dapur, ada versi di dalam kamar mandi. Berita dari sumber yang berbeda melaporkan mbah Maridjan meninggal dalam perjalanan ke RS Sarjito – Yogyakarta.
Kesimpangsiuran berita yang lain yang membuat orang awam seperti saya kebingungan tujuh keliling adalah mengenai jumlah korban meninggal dan hilang pada bencana Tsunami yang terjadi di Mentawai – Sumatra Barat. Dalam waktu hampir bersamaan beberapa media berita online telah melansir jumlah korban yang sangat berbeda.
Sekarang ini tiap – tiap media berita, terlebih media online, media televisi dan media radio, seolah berlomba untuk adu cepat dalam mempublikasikan hasil liputanya dan menomor sekiankan akurasi berita. Saat ini saya mulai merasakan efek samping dari mengkonsumsi berita cepat saji. Media 2.0 . Web 2.0 Yah OK -lah kalau begitu.
Paling tidak di era dimana mendapatkan dan menyebarkan lagi berita bisa dilakukan dengan mudah dan seketika, saya harus lebih berhati – hati dalam menerima kebenaran suatu kabar dan tidak tergesa – gesa untuk menyebarkan kembali suatu berita sebelum benar – benar verified.
Foto bunga kapas ini saya ambil pagi ini di depan rumah saya. Seperti biasa, saya menggunakan ponsel Sony Ericsson Cybershoot kuno untuk mengkonversi apa yang dilihat mata ini ke dalam citra digital agar mudah dibagikan di dunia maya.
Tombol shutter pada Cybershoot yang beberapa waktu lalu -sudah cukup lama- saya keluhkan, akhirnya diganti. Uang sekitar $ 14 telah saya barter dengan part ini. Tapi senang juga, saya bisa leluasa menfokus obyek sebelum menekan penuh tombol pengambil gambar.
PS : Posting ini saya buat dengan ponsel sekaligus saya siap – siap ditertawakan bila gambar yang saya pamerkan ini kelihatan jelek di monitor.
Kawanan Lebah madu ini, kemarin sore mulai bertamu ke rumah saya. Kerepotan juga untuk dengan tanpa persiapan menerima tamu sebanyak ini. Tetapi tidak kenapa. Saya bisa mencari pinjaman (untuk selamanya) tempat tidur untuk masyarakat lebah ini. Sebuah Glogodan kayu semoga nyaman di diami kawanan lebah ini.
Migrating Honey Bee Kingdom
Lebah lebah ini tidaklah seberbahaya bila kita melihat serangan lebah seperti yang kita tonton di Animal Planet atau National Geographic. Tentu saja dengan Term and Condition. Sepanjang kita tidak mengganggunya. Buktinya lebah – lebah ini cukup bersahabat ketika saya pindahkan. Dan berkenan berpose untuk saya sharing disini.
Foto lebih banyak ada di :
Menyaksikan hujan turun membasahi tanah dan dedaunan di pekarangan dari balik jendela, bagi saya merupakan pemandangan yang menentramkan sekaligus aroma harapan. Apalagi bila diperlengkap dengan aroma kopi hitam yang tidak terlalu dikhianati oleh manis gula. Secangkir saja.  Menyeruput kopi panas kental hitam itu sambil sesekali menengok status, komentar dan feed di facebook, membalas chat, dan kadang men tweet akan apa yang bagi saya menarik.
Ahhh, sudahlah, tidak usah terlalu menghayal. Saat ini perut tidak akan sedikitpun mau berkompromi dengan kopi. Sedikit saja ingkar janji, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, maag akan segera mendemo, iri dengan kenikmatan sekejap yang baru dikecap. Internet?
Lihat berapa tenaga yang masih tersisa di baterai, mungkin tidak akan beberapa lama lagi. Tidak ada yang perlu dipertanyakan dan dipertentangkan dengan keberadaan listrik PLN yang byar pet. Meski bagaimanapun, tetap nikmatilah dari balik jendela selama waktu masih menyisakan sempat (halaah)
Tidak tahu apa jenis makhluk yang tinggal di lingkungan sekitar tempat ini, namun dari apa yang diperlihatkan oleh foto ini membuat saya menduga bahwa mereka bukanlah Homosapien. Bukan manusia kebanyakan seperti kita. Limbah yang memenuhi keranjang – keranjang itu jelas – jelas adalah batu. Bukan limbah rumah tangga ala kebanyakan. Tidak ada plastik dan kertas.
Jadi bagi teman – teman penggiat gerakan Plasticless atau Paperless mungkin bisa mengambil studi banding di tempat ini. Siapa tahu bermanfaat.
Foto ini saya ambil pada kemarin siang didepan/sebelah utara Puskesmas Playen.
Beberapa Minggu terakhir, di daerah tinggal saya semakin terasa panas dan gerah. Dampak kemarau yang panjang. Biarlah, sudah banyak orang yang mengeluh kesahkannya.
Daripada ikut – ikutan mengeluhkan keadaan yang mana hanya memperkeruh keadaan dan mood, bagi saya kok lebih baik untuk mencari hikmahnya saja. Menggeser pandangan ke sudut yang berbeda bukan dari jendela saja.
Hal positif menguntungkan apa yang bisa saya rasakan dengan meningkatnya temperatur antara lain adalah, saya tidak perlu berolah raga keras untuk mendapatkan keringat, saya cukup sedikit berjalan maka keringat sudah deras mengucur. Makan siang pun kini cukup untuk memeras keringat. Bila sedang malas mandi, saya juga tidak perlu memanaskan air, suatu efisiensi waktu dan bahan bakar.
Hal negatif, mengapa mesti di cari cari kalaupun memang banyak 😀
Bukan kabar baru kalau kemacetan telah menjadi ciri khas dan bagian dari ke-Indonesia-an, terutama di kota – kota besar. Kalau belum macet, tentulah kita belum berada di kota – kota Indonesia.
Ceritanya dua pagi hari terakhir saya berangkat kerja agak siang, kira – kira menjelang jam tujuh. Ini Hebat, pikir saya. Suatu kemajuan pesat terjadi di bundaran siyono. Tidak beda dengan apa yang sering saya temui di Jakarta, pagi ini kemacetan menjadi pemandangan sekaligus pengalaman menarik. Sekarang ini Siyono pagi hari sudah bisa disamakan dengan kota kota besar Indonesia yang lain.
Sopir angkutan umum yang saya tumpangi yang seenaknya mengklakson dengan suara menyalak, telah membuat lengkap sudah.
**Mudah mudah proses download yang saat ini mencapai 94% tidak ikutan macet. Amiin