Adalah Wason. Seorang pria berpenampilan kalem yang duduk satu kursi dengan saya dalam bus yang mengantarkan dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali menuju Hotel Pop Haris dimana peserta ASEAN Blogger Conference menginap.
Saya tidak mengenal Wason sebelumnya. Saya hanya sedikit menyapa ketika tiba di bandara dengan wajah nampak ragu, dan lelah dengan koper bawaannya setelah menempuh waktu terbang dari negaranya, dan belum punya ide akan bunga kamboja yang dikalungkan pada setiap peserta ASEAN Blogger yang baru tiba di bandara sebagai ungkapan selamat datang.
Dibalik penampilanya yang kalem, kemudian baru saya ketahui, sebenarnya Wason adalah pria yang ramah dan penuh penasaran. Dia memulai mengajak saya berbicara dan lebih ngobrol-ngobrol. Dia penasaran dengan gambar-gambar dan poster di sepanjang jalan yang dilalui bus –secara bulan ini di Bali sedang berlangsung banyak konferensi, dengan patung-patung di beberapa perempatan jalan, termasuk ketika ia keheranan melihat sebuah poster yang mencantumkan nomor ponsel dengan digit yang menurut dia panjang sekali. Di negaranya ponsel hanya 7 digit. Di sini nomor ponsel sepanjang 12 digit.
Lebih dari itu, Wason juga mengajak saya ngobrol tentang kebebasan berbiacara di Indonesia, terutama kebebasan berbicara di internet, undang-undang yang mengatur penyampaian pendapat dan hal-hal terkait. Saya sedikit berbicara tentang UU ITE yang memuat pasal deflamasi/pencemaran nama baik yang banyak diprotes blogger dan onliner Indonesia, kasus Prita Mulyasari dan lain-lain.
Wason pun menceritakan tentang menyebut sesuatu yang buruk atas Raja Thai, apapun adalah pelanggaran hukum. Tidak ada kritik untuk Raja dan pemerintahan. Onliner harus berhati-hati bila tidak ingin dipenjarakan. Termasuk Wason menceritakan tentang blogging dan trend social media di Thailand.
Sampai di sini barangkali Anda mengira ngobrol-ngobrol saya dengan Wason itu lancar-lancar saja.
Kenyataannya tidak demikian. Masalah sudah terjadi ketika di dalam bis kami berkenalan nama. Ketika saya tanya nama, saya tidak jelas kata apa yang dikatakanya. Telinga saya mendengarnya sebagai sesuatu semacam Hua thou. Dia pun agak susah menyebut nama saya, Jarwadi. Mengulang-ulang menyebut nama ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Anda tau apa ide saya? Saya menuliskan nama saya di ponsel saya dan menunjukan ke dia. Dan di ponsel saya menuliskan namanya berdasarkan apa yang saya dengar. Oh ternyata saya salah mengetik namanya. Dia pun menuliskan ‘Wason’ di ponsel.
Nah, cara seperti ini yang kami gunakan sepanjang ngobrol panjang yang intinya saya tuliskan pada paragraf-paragraf terdahulu. Bila telinga saya kurang jeli maka saya akan mengkonfirmasinya dengan kalimat yang saya tuliskan pada ponsel. Hal serupa dilakukan oleh Wason. “Chating” seperti ini tidak perlu koneksi internet. Cukup Wason melihat ponsel saya. Saya melihat ponsel Wason. hehehe
Sampai sekarang saya masih menyimpan “file text” yang berisi apa yang saya katakan pada Wason. Andai Wason masih menyimpannya akan sangat memorable bila bisa saling bertukar file text untuk dapat membaca kembali offline text chat itu. 🙂
Lesson Learned:
Kalau saya saat ini hanya mengenal dan mempelajari United State English, Australia English dan United Kingdom English, itu saja belum cukup. Saya juga perlu belajar Thai English dan varian dari Asia English lainnya. Ngobrol-ngobrol dengan Mr Wason ini mengingatkan saya akan lucu-lucu penuh kocak di film remaja Thailand yang saya tonton beberapa tahun lalu yaitu Crazy Little Things Called Love dan Sucksheed.
Nah, saya harus mulai dengan lebih banyak menonton film Thai agar terbiasa dengan Thai English. Jadi bila suatu saat Mr Wason mengundang saya ke Pattaya beach di Thailand sana, saya tidak lagi terkendala Thai English pronounce. 😀
Penasaran dengan Mr Wason. Lihat foto berikut: Baca lebih lanjut →