
Puncak Bukit Turunan, Watu Payung, Panggang, Gunungkidul
Bisa jadi kemarin merupakan lari terjauh saya dalam satu bulan ke depan. Joy Run ke alam terbuka yang memang sudah saya rencanakan sejak cukup lama. Mengingat mulai hari ini sampai 30 hari yang akan datang adalah Ramadan dimana saya menunaikan ibadah puasa sebulan penuh.
Selama berpuasa saya akan tetap berlari. Seperti komitmen yang sudah saya ceritakan dalam posting terdahulu di sini. Namun bukan lari ke alam terbuka dengan jarak yang cukup jauh.
Joy Run saya kemarin memilih rute yang sebagian belum pernah saya coba. Namanya juga Joy Run, tentu saya ingin mendapatkan pengalaman dan kesenangan baru darinya. Lari saya kemarin mengambil rute dari: Desa Grogol, Pasar Paliyan, Desa Bayusoca, Pasar Nggora, Jembatan Besi Gedad, Dusun Klepu, naik ke Watu Payung dan berakhir di Dusun Bibal.
Rute ini mempunyai elevasi yang cukup tinggi. Bahkan elevasi tertinggi yang pernah saya coba untuk berlari. Elevasi di sepanjang 12 KM termasuk biasa-biasa saja. Menginjak KM ke 13 merupakan tanjakan yang mengajak bercanda paha, betis, dengkul dan paru-paru saya.
Menurut Garmin selisih evevasi dari jembatan besi Gedad sampai dusun Bibal hampir 300 meter. Bayangkan perbedaan ketinggian sebesar 300 meter dalam jarak 6 KM. Sebagai gambaran bisa dibandingkan dengan elevasi di rute Mandiri Jogja Marathon 2018 sebesar 180 meter dalam jarak sekitar 10 KM.
Sebenarnya kemarin saya ingin berlari sampai sekitar kecamatan Panggang. Dengan selisih elevasi sekitar 400 meter. Tapi apa daya paha mulai linu dan nafas makin engap. Di dusun Bibal, di KM 18 saya memilih untuk balik dan menggenapi 3 KM selanjutnya dengan turunan.
Rute yang sebenarnya saya rencanakan. Detilnya klik di link: https://connect.garmin.com/modern/course/18332593
Persis di KM ke 21 saya pun berbelok. Saya menuju ke salah satu spot favorit saya di sekitar rute ini. Adalah Bukit Turunan dimana saya biasanya menghabiskan pagi dengan menikmati sunrise berbalut lautan kabut.
Saya tahu sekitar jam 7.30 am sampai di sana waktu terbaik untuk menikmati sunrise dan kabut sudah berlalu. Akan tetapi saya masih berharap menemukan sisa – sisanya. Benar saja, puncak itu masih terbalut kabus tipis dengan pancaran matahari yang makin menghangat.
Menghabiskan waktu beberapa saat di bukit Turunan, saya kemudian beranjak. Mencari tempat yang lebih teduh untuk beristirahat. Hitung – hitung sambil mencari sarapan, saya pun menuju ke Kopi Panggang.
Sayangnya, sampai di sana sekitar jam 8.30 am resto Kopi Panggang masih nampak sepi. Pintu baru terbuka sedikit. Namun tetap saja saya masuk ke sana dan mendapati suasana yang belum siap.
Ke salah satu petugas yang sedang beres-beres, saya menanyakan jam berapa resto ini buka. Rupanya Kopi Panggang baru akan buka pada jam 10 am. Cape habis long run sepanjang 21.1 km dan malas mencari tempat sarapan lain, saya bertanya lagi kepada petugas, apakah saya boleh beristirahat dan melihat-lihat di sini. Untungnya diperbolehkan. Apalagi di area resto ini ada free wifi. Pikir saya lumayan mengingat di lokasi ini kesulitan mendapat sinyal seluler.
Resto Kopi Panggang atau Omah Kupu Kopi Panggang merupakan resto yang menyajikan makanan tradisional ala pedesaan Gunungkidul. Terletak di lereng perbukitan di pinggir jalan Imogiri – Panggang. Mempunyai view yang menurut saya bagus, panoramic.
Berkeliling dan melihat-lihat di area resto, rupanya Omah Kupu Kopi Panggang mempunyai konsep yang apik. Terpadu dengan Guest House , terpadu dengan budaya dan kearifan lokal. Saya melihat ada pendopo dimana di sana ada gamelan dan bangunan bergaya limasan dan joglo. Alam di sana pun nampak dikonservasi dengan baik. Selama di sana saya menikmati aneka kicau burung – burung liar. Kopi Panggang juga mempunyai kebun dan taman dengan konsep hijau yang dipersejuk dengan sebuah kolam ikan besar.
Sekitar jam 10 am, Omah Kupu Kopi Panggang siap. Saya pun segera menikmati sarapan ala Desa Panggang. Menu yang saya nikmati berupa: nasi merah, telor, ayam goreng dan beberapa makanan lain. Andai perut saya tidak sensitif pasti saya akan mencicipi: jangan lombok dan sebagainya.
Lagi – lagi mumpung belum puasa. Jadi nikmati larinya, nikmati makannya, nikmati semuanya.
Mengambil finish di Resto Omah Kupu Kopi Panggang, rute yang saya pilih kali ini memang tepat untuk sebuah Joy Run. Bayangkan, setelah saya berlari melintasi 2 pasar tradisional, menikmati segarnya udara di sepanjang hutan jati, menikmati sensasi berlari menuruni jalan menginjak jembatan besi, sensasi menikmati tanjakan mesra menembus kampung santri di dusun Gedad, menikmati pemandangan dengan pemandangan sunrise di atas hamparan kabut yang terbentang luas di Watu Payung, kemudian ditutup dengan sarapan makan-makan enak.
Hayuk ah bagi yang mau saya ajak menikmati Joy Run di Gunungkidul.
Ping balik: Tips Berlatih Lari Uphill dan Downhill Bagi Pemula – Gadget, Running & Travelling Light