Ah, akhirnya dapat juga gambar yang saya maksud. Gambar di atas saya ambil dari sini. Saya mendapatkan gambar ini setelah di Facebook saya diberi tahu oleh Marini Salwa akan kutipan yang sebenarnya:
A developed
country is not where the poor
have cars. It’s where the rich
use public transportation.
Seberapa maju suatu kota jangan dilihat dari seberapa banyak mobil pribadi yang dikendarai oleh penduduk di jalanan kota, tetapi lihatlah dari seberapa banyak masyarakat yang memanfaatkan sarana transportasi publik. Kira-kira begitu terjemahan bebas dari suatu baliho yang fotonya pernah diunggah ke situs jejaring sosial Facebook pada beberapa waktu lalu. Foto baliho itu kalau tidak salah diambil di suatu jalanan kota di suatu negara di Afrika. Poster yang bagi saya inspiratif.
Sebenarnya saya ingin memasang foto baliho itu di sini. Sayangnya saya lupa siapa teman saya yang mengunggah foto itu. Usaha saya untuk “ngubek-ubek” foto-foto di Facebook teman-teman saya pun berakhir nihil.
Kembali ke Laptop, halah 😀
Apa yang saya tangkap dari pesan baliho tersebut adalah adanya kecemasan akan dampak semakin membludaknya kendaraan pribadi di jalanan. Ini merupakan gejala umum di negara-negara berkembang. Baik itu di kota-kota di negara-negara di Afrika atau di negara berkembang manapun termasuk di Indonesia.
Sebagai orang yang tiap hari tetap mengandalkan angkutan umum untuk sarana utama mobilitas selama bertahun-tahun, saya mulai mengandalkan sarana transportasi umum sejak menginjak sekolah menengah sampai sekarang, tentu saja dengan mudah melihat dan merasakan dengan jengkel apa yang sedang terjadi.
Di kota kecil di daerah dimana saya tinggal dan bermobilitas, kota Paliyan, Playen, Wonosari, Yogyakarta sampai saat ini kualitas dan kuantitas angkutan umum semakin menurun. Semua armada kendaraan umum baik itu angkot kobutri, mini bus, dan bus saya lihat sudah tua renta. Saya duga armada-armada kendaraan umum itu paling muda berusia 20 tahun. Bisa dibayangkan kenyamanan seperti apa yang bisa diberikan oleh armada serenta itu. Selain armada yang renta, masalah lain dari pengguna angkutan umum seperti saya adalah jam keberangkatan angkutan umum yang tidak pasti. Tidak jarang saya merasa sangat jengkel karena harus menunggu angkot sampai lebih dari 30 menit, lebih dari 1 jam. Untungnya sekarang ada twitter dan facebook untuk membunuh waktu. hehehe Paling apes bila sampai tidak dapat angkot. Kalau sudah begini maka solusinya hanya naik ojek, atau mengandalkan jemputan teman saudara.
Bagi orang yang tiap waktu bermobilitas demi kelangsungan hidupnya, tidaklah banyak yang betah secara terus menerus bergulat dengan masalah angkutan umum yang payah. Kalau sudah begitu tentu saja mereka akan mulai mengadopsi dan menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitasnya. Saya amati dalam beberapa tahun terakhir jalanan sudah mulai makin padat dengan kendaraan pribadi. Kendaraan-kendaraan pribadi semakin bertambah seiring makin berkurangnya kendaraan umum yang beroperasi.
Saya kira tidak dalam waktu yang sangat lama lagi di kota-kota kecil dimana saya tinggal ini akan menyusul jakarta dalam hal masalah kesemrawutan lalu lintas. Bila negara/pemerintah tetap absen mengupayakan permasalahan yang tidak kelihatan mendesak ini. Bukankah di sini sudah ada terlalu banyak permasalahan yang harus segera selesai dipikirkan pemerintah. 😦
Saya kadang berpikir, apa keputusan saya untuk tetap menggunakan angkutan umum ini sesuatu yang konyol. Sebaiknyakah saya seperti banyak orang yang lain segera menggunakan kendaraan sendiri setiap hari daripada ngangkot. Toh tidak ada yang menghargai upaya orang-orang yang tetap ngangkot dengan pemerintah dalam hal ini memberikan fasilitas yang layak. Kok malah curhat, hehehe.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca Jokowi mulai berusaha membenahi sistem transportasi khususnya angkutan umum Jakarta yang akut, parah dan laten dengan segala pro kontra. Saya ingin melihat bagaimana Jokowi bisa mengurai kemacetan, lalu lintas dan sarana transportasi publik Jakarta. Harapan saya, Jokowi bisa melakukan sesuatu meskipun tidak dalam waktu dekat. Tidak ada hubungan sebenarnya antara angkot yang akan saya tumpangi dengan Kopaja atau Mayasari yang renta di di Jakarta sana. Namun mudah-mudahan bila berhasil bisa memberi Jokowi-effect ke kota-kota dan daerah-daerah lain di Indonesia.
kalau angkotnya terurus dan soprnya tidak asal nyetir enak ya naik angkot
gmana kalau mas jarwadi yang ngojek ntar niar boncengin deh :))
dulu niar pengguna setia bis mas, bemo, lyn tapi semenjak ada bity niar kemana2 bity lebih hemat waktu dan tenaga 😀
Transportasi di Indonesia sih jelas gak support banget. Sopir ugal-ugalan, angkot kotor dan bau, tidak terawat, banyak pencopet pula. Prefer naik taxi biru yang lebih nyaman sih kalau aku daripada angkot.
salam sukses ya