Bagi seorang blogger yang senang menulis tentang gadget ini bukanlah topik yang mudah diterjemahkan menjadi postingan blog. Ini sentilan bagi saya yang selalu ingin mengulik gadget terbaru tanpa pernah mempedulikan bagaimana suatu gadget diproduksi. Tohokan terhadap apatisme saya selama ini terhadap berita-berita penambangan timah yang abai terhadap kerusakan alam dan gangguan ekosistem. Kompetisi ini menggugah diri untuk turut bersuara.
Kali ini saya tidak akan menuliskan hal besar seperti deforestasi, konversi hutan menjadi perkebunan sawit yang saat ini masih terus terjadi di Sumatra. Atau membahas perusahaan pembeli pasokan minyak sawit mentah kotor, perusahaan-perusahaan yang secara membabi buta menambang batubara di Kalimantan dan PLTU haus batubara yang terus diberdayakan oleh PLN. Saya memilih menuliskan hal-hal kecil tetapi terjadi di depan mata.
Di sebelah barat desa dimana saya tinggal dulu terbentang hutan yang luas. Kerimbunan hutan alam yang membentang di 2 wilayah kecamatan, di kecamatan Paliyan dan Playen. Pohon-pohon besar yang tumbuh di hutan itu adalah Jati, Akasia, Mahoni, Sono Keling dan lain-lain. Tumbuhan semak di hutan itu pun sangat beragam sampai saya tidak hafal nama-namanya.
Menurut cerita kakek, hutan itu sudah sejak dulu kala ada. Semasa hidupnya kakek sering menceritakan pengalamannya menjadi “Blandong” –buruh yang dipekerjakan paksa oleh Belanda untuk menebang pohon Jati hutan pilihan. Kayu Jati itu kemudian diangkut untuk kepentingan Belanda. Cerita kakek yang tidak kalah heboh adalah peristiwa semua penduduk desa mengungsi ke hutan pada masa kedatangan tentara Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, para pengungsi keluar dari berlindung di hutan, kembali ke desa dan beraktivitas seperti sedia kala. Kala itu masyarakat desa dimana kakek saya tinggal kembali ke hutan hanya sebagai perambah untuk mencari pakan ternak, mencari kayu bakar, menggembala dan sejenisnya.
Kedekatan masyarakat desa dengan hutan ini berlangsung lintas generasi. Sampai badai krisis moneter yang menerjang Indonesia pada tahun 1997 melambungkan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat, menimbulkan kekacauan sosial, mengacaukan stabilitas nasional sampai rezim orde baru pun tumbang diikuti instabilitas nasional.
Euforia reformasi yang tidak terkendali itu menyebabkan lemahnya supremasi hukum. Semua orang seolah bebas menerjang aturan dan bebas melakukan apa saja. Penjarahan yang terus diberitakan oleh media terjadi di Jakarta menyulut masyarakat di daerah menjadi beringas. Masyarakat desa yang berabad lamanya berdamai dengan hutan tiba-tiba secara serakah menjadi penjarah hutan. Dalam sekejap hutan di sebelah barat desa habis berubah menjadi wilayah tandus nan gersang.
Beberapa waktu kemudian, sebagai bagian dari program peningkatan produksi pangan, pemerintah melalui Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan mulai melirik tanah-tanah terlantar bekas hutan yang terjarah itu. Maka munculah ide untuk menjadikan bekas hutan sebagai ladang tanaman pangan. Untuk dengan ‘memberdayakan masyarakat’ sekitar hutan ditanamlah singkong, padi dan tanaman pangan lainnya. Usaha itu hasilnya memang nampak. Produksi pangan meningkat. Masyarakat pun senang. Sehingga sampai sekarang wilayah yang seharusnya diperuntukan sebagai hutan tetap dijadikan lahan pertanian.
Mengkonversi tanah bekas hutan menjadi ladang pertanian untuk menggenjot produksi pangan merupakan solusi pragmatis, terlalu menyederhanakan masalah. Peningkatan produksi pangan dengan menggarap tanah bekas hutan dalam beberapa tahun terakhir membuat masyarakat tidak peduli dengan krisis air bersih tiap musim kemarau, kerusakan tanah, pendangkalan sungai dan banjir yang terjadi tiap musim penghujan seperti sekarang ini. Masyarakat lupa fungsi hutan sebagai pelindung keseimbangan alam sebagaimana pada jaman kakek saya dulu hutan ini pernah melindungi masyarakat dari ketakutan akan kedatangan Jepang.
Suatu masalah pelik yang berbeda dengan masalah pembalakan hutan secara liar yang terjadi di daerah lain. Untuk masalah pembalakan hutan secara liar atau konversi lahan menjadi perkebunan sawit secara tidak prosedural apa yang diperlukan adalah penegakan hukum di lapangan. Tetapi alih fungsi lahan bekas hutan menjadi lahan pertanian untuk menopang kebutuhan pangan adalah masalah kebijakan. Diperlukan solusi komprehensif di tingkat pengambil kebijakan dan pembuat aturan. Pemerintah perlu didorong untuk menyelesaikan masalah pangan dengan cepat namun tidak boleh menyimpan bom waktu sebentuk kerusakan alam dan hutan.
Cerita hutan & sudut pandang yg menarik… Iya, salah satu penyebab hilangnya hutan juga dari pembukaan lahan pertanian atau peternakan. Sebagai permasalahan global, seharusnya tak ada lagi hutan yg dikonversi menjadi sesuatu yg lain, bahkan sudah sangat perlu penanaman kembali. Untuk sektor pertanian seyogyanya mempergunakan lahan yang bukan hutan ya… Semoga kritik ini didengar (dibaca) untuk kemudian memperbaiki kebijakan terkait & implementasinya…
Saya juga anak petani, Mas, tapi sawah dan ladang bapak di Jombang sana jauh dari hutan.
Hmm, membaca “blandong” jadi teringat warung kopi kecil yang sekian tahun lalu ada di depan Pesantren Wahid Hasyim, Gaten, yg kini telah pindah.
Semoga hutan kita lestari ya, Kangmas.
Sebagian hutan di daerah saya malah jadi tempat wisata atau perumahan. Sayang ya ..
Pembukaan hutan jadi lahan pertanian dan tempat tinggal masih banyak memang terjadi. Yang buka hutan, alasannya cari makan. Berat nih pe-er bersama.
kebnyakan hutan sekarang itu dijadikan tempat wisata 😀
artikel yang menarik..
makasih gan 😉