Sang Penari, Review Konflik Cinta Segitiga

Gambar diambil dari sini.

Sampai menonton film ini pada tadi malam di televisi saya belum membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Novel beken yang menginspirasi Isfansah untuk membawa Srintil menari di gedung bioskop pada tahun 2011 kemarin. Saya menonton dengan merdeka sama sekali terbebas dari ekspektasi tertentu terhadap Sang Penari. Tidak ada dimensi yang mengekang saya akan seperti apa seharusnya Srintil menari. Saya menonton saja. Biarlah Srintil menari dengan caranya sendiri.

Sang penari dalam waktu singkat membuat saya jatuh cinta.

Saya terpesona dengan landscape sosio-kultural pedukuhan Paruk pada tahun 1960-an yang dibawakan Isfansah dalam detil suatu produksi kelas atas. Penasaran saya dalam hati, dimanakan Isfansah mendapatkan lokasi syuting yang so 60s. Begitu juga dengan pemahanan, set, kostum dan properti yang begitu membangun suasana pedesaan tahun 1960.

Panorama alam dukuh paruk, jalan tanah berbatu, detil rumah, sesaji, logat bahasa ngapak, pakaian, semua tidak ada yang perlu saya pertanyakan ke-1960-annya. Seingat saya tidak banyak film Indonesia yang mencoba seserius ini merekontruksi masa lalu.

Film ini membuat saya patah hati. πŸ˜€

Srintil membuat saya terjebak ke dalam diri Rasus. Hati saya terkurung di dalam badan Rasus. Hati saya menanggung elegi cinta seorang Rasus yang harus mau tidak mau menerima kenyataan Srintil yang memilih menjadi Ronggeng Dukuh Paruk.

Cinta sih Cinta. Cinta yang oleh Srintil dicoba dikalahkannya dengan berbekal keyakinan bahwa dirinya mendapatkan titisan “inang” Ronggeng di dukuh dimana ia tinggal. Cinta yang harus mengalah dengan keinginan mendarma baktikan diri untuk mencuci nama baik orang tuanya yang semasa Srintil kecil secara tidak sengaja membunuh banyak warga Dukuh Paruk dengan racun tempe bongkrek.

Namanya juga Cinta. Saya turut merasakan bagaimana cinta Rasus kepada Srintil yang tidak akan serta merta hilang atau mungkin akan tetap ada selamanya meskipun Srintil tetap teguh memilih menjalani kehidupan seorang ronggeng yang harus melakoni upacara buka kelambu dan tidur dengan pria manapun yang membawa tawaran tertinggi. 😦

Kisah cinta yang dihadapkan konflik segitiga bukanlah hal baru. Sudah banyak yang menfilmkanya. Konflik cinta segitiga bukan hanya milik Rasus, Srintil, dan keteguhanya untuk meronggeng.

Keterjebakan saya ini pasti gara-gara Prisia Nasution (Srintil) dan Okta Antara (Rasus) yang seolah membawa roh Srintil-Rasus untuk saya. Ada kepiawaian Isfansah mengolah chemistry dalam kisah cinta seorang gadis yang bercabang. Ia mencintai seorang pemuda desa yang lugu, sekaligus mencintai keteguhannya untuk meronggeng.

Sang Penari saya rasakan kaya dan mempunyai dimensinya sendiri ketika berlatarkan kemiskinan, kebodohan dan ketidak adilan yang terjadi dalam suatu masyarakat. Kemiskinan dan kebodohanlah yang membuat penduduk dukuh Paruk begitu mudah diperdayai oleh Bakar (Lukman Sardi). Keterbelakangan ini yang memudahkan Bakar memerahkan Dukuh Paruk, mem-PKI-kan Dukuh Paruk.

Tragedi 1965 yang berujung pembersihan PKI sampai keakar-akarnya yang mengantarkan orang-orang Dukuh Paruk termasuk Srintil ke dalam penjara, bahkan beberapa orang divisualisasikan dibantai tanpa melalui proses pengadilan, sekali lagi dengan apik menguji cinta Rasus kepada Srintil. πŸ™‚ Rasus yang telah lama meninggalkan desa tanah tumpahan darah tidak tahan melihat kekasih hati meronggeng dan telah menjadi seorang anggota TNI AD tetap menyimpan cinta yang tidak berubah.

Yadi Sugandi, penata kamera dalam film ini selalu saja punya sudut kamera untuk mengobok-obok hati saya dengan lanskap yang “sebelah barat desa” mengantarkan perpisahan saya dengan Sang Penari.

17 komentar di “Sang Penari, Review Konflik Cinta Segitiga

  1. Aku belum pernah nonton filmnya, tapi sudah baca bukunya. Ajib! Keren banget! Btw, konflik cinta segitiganya antara Srintil, Rasus, dan satu lagi sama siapa? *iseng banget sih, kim, nanyanya* Hihihihi…

  2. Saya juga baru nonton filmnya semalam di tv, walaupun baca novelnya sudah sejak setahun yg lalu (masih inget banget, waktu itu baca novelnya buat tugas bhs. Indonesia, dan ternyata saya malah jatuh hati sama sastra Indonesia).

    Filmnya bagus, terutama pemilihan setting dan karakterisasinya, seperti yg tergambar di triloginya. Endingnya memilukan, tapi tetap saja ending novelnya lebih menyayat hati.

    Dan jujur, sebagai wong banyumas saya penasaran sekali di mana lokasi syuting filmnya! πŸ˜€

  3. Hahah…. aduh kalau aku baca atau nonton yang bikin patah hati, pasti deh kapok gak mau lagi mengulanginya….. soalnya jadi suka kebawa kepikiran gitu…. :)))

  4. Oalaaahh….ternyata dukuh paruk diputar ditipi toh ? Pantesan hari itu traffic website saya rame banget ke halaman review buku ronggeng dukuh paruk πŸ˜€

    Baca bukunya deh, lebih detail lagi, saya juga jadi paham bagaimana jahiliyahnya kultur masyarakat pada masa itu berkat novel ini πŸ™‚

  5. Kata Penulis Novelnya, Pak Tohari, yang kebetulan menjadi Bos di kantor saya, novelnya lebih bagus dari filmnya bro? hehe…SUbjektif banget Pak Tohari yah? Oh, ya, mungkin mas bro belum punya novel ini versi bahasa Inggrisnya? Saya masih ada, karena itu stok langsung dari Pak Tohari. Salam kenal:)

  6. novelnya emg keren …tp filmy juga gak kalah keren…. aq baru liat film indonesia di garap sgt serius smpi hal detail diperhatiakan… semua keren… settingnya… ceritanya… bahkan pemainnya yg super keren dg acting yg luar biasa bgs….. aq bilang sih ini salah satu film Indonesia dg kualitas super keren…. bangga punya orang-orang hebat dibelakang film ini πŸ™‚ sukses terus yah perfileman Indonesia

  7. Ping balik: Rectoverso, Film atau Sandiwara Radio? « Menuliskan Sebelum Terlupakan

  8. saya masih ingat waktu kuliah sangat terkesan dengan novel trilogi ronggeng dukuh paruk, terlebih sekarang difilmkan. setting pedesaan dengan kultur tahun 60an dan bahasa ngapaknya…… Salut !

  9. sangat penasaran, jadi pengen ke masa masa itu (spt di film)
    tapi apakah ada dan nyata dukuh paruk itu???
    saya di tegal dan dulu kuliah di purwokerto, jadi penasaran dimana TKP film nya 😦

Tinggalkan Balasan ke Vicky Laurentina Batalkan balasan