Sepulang dari shalat Isya berjamaah di masjid tadi malam, di jalan yang saya lalui menuju rumah, saya terganggu oleh bau asap pembakaran sampah yang menyengat. Bau menyengat yang oleh orang Jawa disebut “sangit”. Ada tetangga yang membakar sampah dalam jumlah banyak di pekarangan.
Sampah itu bukanlah sampah rumah tangga. Sampah itu berupa daun-daun yang digugurkan oleh pohon yang sedang meranggas. Saat ini di desa dimana saya tinggal sedang berada di musim kemarau yang sangat kering yang memaksa pepohonan untuk seirit-iritnya menggunakan air di tanah yang sangat terbatas.
Membakar sampah dedaunan di pekarangan sudah turun temurun terjadi di desa dimana saya tinggal. Saya tidak tahu apakah ada orang lain yang merasa terganggu dengan asap pembakaran ini sebagaimana yang saya rasakan. Bila pun atau yang merasa atau pun tidak, barangkali yang tetap perlu diubah adalah cara memperlakukan sampah daun, sampah organik seperti ini menjadi lebih baik dan lebih ramah lingkungan.
Kalau tidak bisa mengolah sampah organik menjadi semacam pupuk organik, kalau bisa mengolah menjadi pupuk organik tentu menjadi berharga di desa pertanian, setidaknya tidak dibakar yang mengakibatkan pencemaran lingkungan. Misalnya dengan mengubur sampah-sampah daun itu dipekarangan tanpa perlu khawatir sampah daun mencemari tanah.
Memang, tidak mudah untuk bahkan sekedar menawarkan ide manajemen pengelolaan sampah lingkungan di pedesaan. …
Sangat menganggu. Apalagi kalau dilakukan pagi hari, benar-benar polusi. Kasihan yang sedang jemur baju, hiks…
iya perlu disebarkan brosur dong mas mengenai cara membuat kompos, sehingga kemudian hari bisa lebih berguna…
Mereka tidak tahu karena memang kurang informasi….:)
apalagi buat penderita asma seperti saya… bau asap itu seperti siksaan..