Menggambar Sket Wajah

Saya sering kali dibuat terpesona oleh orang-orang yang jago membuat sket wajah orang. Mereka bisa melakukanya dengan cepat, dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin mereka sengaja melakukanya dalam waktu sesingkat mungkin untuk menciptakan impresi di orang yang disket wajahnya itu.

Dulu orang membuat sket di atas kertas. Dengan tool yang sederhana, pensil atau pen, atau ballpoint biasa. Tiap goresan umumnya dibuat sekali jadi. Tidak elok kiranya bila mereka menggunakan penghapus untuk penyuntingan. 😀

Kini orang membuat sket tidak hanya di atas kertas. Mereka menggunakan tablet, atau komputer yang terinstall software image editing tentu saja. Nah, secara teknis ketika menggunakan tablet dan software di komputer, editing dalam membuat sket tentu menjadi hal mudah. Tapi bagi mereka terlalu banyak editing bukanlah pilihan.

Mungkin pertanyaanya, enakan mana membuat sket di atas kertas dan di atas tablet/layar komputer? Suka-suka si pembuat sket sih.

Sebagai orang yang tidak punya bakat menggambar, semalam saya iseng membuat sket wajah saya sendiri. Untuk lebih mudahnya, saya memilih menggunakan software. Saya menggunakan GIMP 2.8 di laptop Ubuntu saya.

Cara yang saya gunakan sebenarnya lebih kampungan dari orang pada umumnya. Kalau mereka dengan cara melihat wajah atau foto orang kemudian mulai menggambarnya. Yang saya lakukan dengan GIMP adalah menaruh foto pada satu layer, kemudian saya mulai membuat path dan garis-garis pada layer baru yang saya letakan di atas layer foto. Editing, tentu saja saya lakukan. 😀 Karena saya pemula, saya tidak malu untuk menghapus dan menyesuaikan garis-garis yang menurut saya tidak proporsional.

Sket sederhana ini semalam saya selesaikan dalam waktu yang cukup lama. Satu jam lebih. 😀 Tidak apa-apa, saya kan pemula. Selalu ada maaf untuk pemula kan. hehehe!

Beli Majalah Cetak

Majalah Tarbawi dan Djaka Lodang

Majalah Tarbawi dan Djaka Lodang

Sepulang dari mini market pada siang tadi, saya spontan mampir ke kios penjual koran di pasar Playen. Yang membuat saya spontan ingin mampir adalah wajah mas pemilik kios itu yang masih terasa akrab. Seperti dulu. Ketika saya masih rajin membeli bacaan informasi dari kios miliknya.

Dan saya pun kemudian membeli dua majalah. Majalah Tarbawi yang dulu hampir tiap edisi dari tahun 1999 sampai 2003 an tidak terlewatkan. Harga majalah Tarbawi sekarang sudah Rp 11.000,-. Seingat saya, dulu terakhir kali membeli majalah ini di kios yang sama masih berharga di kisaran Rp 5.000,-. Wajar sih sebenarnya naik dua kali lipat. Karena sudah selisih waktu hampir 10 tahun.

Majalah yang satunya adalah Djaka Lodang. Saya membeli majalah ini karena saat ini bacaan berbahasa Jawa di internet masih sangat minim. Saya bermaksud memperbanyak bacaan berbahasa Jawa agar kemampuan berbahasa Jawa saya tetap terjaga. Syukur-syukur bisa ada peningkatan. Rencananya saya ingin membaca Djaka Lodang secara rutin.

Mudah-mudahan saya tidak hanya suka membeli majalah. Semoga saya ada kesempatan dan kemauan untuk membacanya. 🙂

Nonton Pasar Malam di Alun – Alun Pemda Gunungkidul

Sepanjang hidup, saya baru beberapa kali nonton pasar malam. Jadi jangan heran bila saya masih terheran-heran melihat interaksi dan kehidupan sosial di pasar malam.

Video di atas saya rekam pada malam minggu yang lalu dengan handycam seadanya, tanpa perencanaan dan dalam waktu yang tergesa-gesa. Yang penting ada gambar. Nah dari gambar-gambar yang seadanya itu pula dalam waktu yang tidak kalah tergesa saya edit sekenanya.

Lain kali semoga saya mempunyai mood yang lebih baik untuk merekam kehidupan malam di pasar malam. 🙂

Ingin Merekam Suara Pagi

Saya sudah sering mencoba menceritakan pengalaman saya sehari-hari di blog ini dengan tulisan dan foto-foto. Dengan Video juga sudah beberapa kali. Dengan suara (audio) sudah pernah. Sekali.

Membagikan pengalaman dan ide, menurut saya tidak selamanya cukup dengan tulisan, foto-foto, video, atau gabungan ketiganya. Saya percaya dengan audio (suara) pun banyak hal bisa diceritakan. Dan kadangkala ada yang akan lebih tajam diceritakan dengan ilustrasi suara.

Misalnya adalah suasana pagi yang terjadi di lingkungan pedesaan dimana saya tinggal yang saya rasakan suasananya masih cukup alami. Ada suara beraneka burung berkicau, ayam berkokok, sapi melenguh, para orang tua yang sejak awal pagi sudah berangkat ke pasar dan ke ladang, dan lain-lain.

Saya tadi pagi tiba-tiba ingin merekam suara-suara pagi itu. Terutama kicauan burung-burung yang menurut telinga saya terdengar merdu. Ide merekam itu spontan saja. Tanpa persiapan. Jadi begitu mencoba merekam sudah muncul banyak masalah.

Kendala yang mudah saya rasakan adalah alat. Saya hanya menggunakan handycam Sony DCR SR 6. Handycam ini menggunakan harddisk sebagai media penyimpannya dan dilengkapi dengan built in zoom microphone. Kelebihan handycam ini dibanding dengan yang bermedia rekam kaset, tentu akan meminimalisasi noise suara yang ikut terekam. Permasalahannya adalah built in zoom mic tidak cukup peka untuk menangkap suara burung yang berkicau di ranting pohon-pohon yang tinggi. Suara hanya terdengar sayup-sayup.

Kendala berikutnya adalah saya kurang mengenal karakter dari burung-burung yang ingin saya rekam. Saya mencoba mendekat ke sumber suara untuk memaksimalkan tangkapan microphone. Namun yang terjadi burung-burung berkicau itu menyadari kedatangan saya yang tidak diundang dan akhirnya burung itu berhenti bercengkrama atau berpindah ke pohon yang lain yang jauh dari keberadaan saya.

Ada terlalu banyak jenis suara, padahal waktunya terbatas. Saya jadi kebingungan mana yang harus saya rekam terlebih dahulu. Seharusnya memang saya mengidentifikasi dan membuat daftar suara apa dan burung jenis apa saja yang ingin saya rekam. Syukur-syukur saya bisa membuat storyboard -nya. Ini akan lebih baik daripada menggunakan insting dan memaksakannya pada saat editing.

Ada satu ide yang muncul sejak kemarin sore. Ingin membuat sebuah recording yang berjudul “Hearing A Love in the Silent” Seperti halnya kebanyakan ide yang belum matang. Keinginan ini masih perlu banyak curah gagasan (brain storming) sebelum di-story board-kan sampai pada akhirnya dieksekusi.

Saya inginnya di recording itu tanpa penggunaan suara music. Semua footage yang digunakan adalah rekaman dari alam. Editing dan Compositing tetap perlu dengan seminimal mungkin penggunaan efek digital.

Sekaligus mengingatkan diri sendiri, perencanaan sangatlah penting, karena mungkin nantinya akan banyak meminjam peralatan. 😀

Oh, iya. rekaman suara pagi yang pernah saya buat pada beberapa bulan yang lalu sudah saya posting di sini.

Free Wi-Fi, Fitur Wajib di Bus Pariwisata

Berbicara fasilitas apa saja yang harus tersedia bila kita akan memilih bus pariwisata untuk saat ini, menurut saya sekarang ini di setiap bus pariwisata harus dilengkapi dengan banyak colokan listrik. Colokan-colokan listrik 220 Volt AC ini penting untuk men-charge gadget yang pasti dibawa oleh wisatawan. Gadget itu bisa berupa camera digital, ipod, handphone, dan lain-lain. Setelah colokan listrik adalah free Wi-Fi. Nah free Wi-fi ini sangat penting bagi wisatawan atau pelancong yang suka eksis. Saya amati sekarang ini sudah biasa bila ada orang yang melancong kemudian mengunggah aneka foto dan video ke berbagai layanan jejaring sosial dan internet.

Free Wi-Fi on a bus

Free Wi-Fi on a bus

Screen Capture diambil di sebuah Bus Pariwisata PO Bimo. Bus Pariwisata ini menyediakan fasititas free wi-fi dan stop kontak charger dalam jumlah yang cukup.

Fasilitas dan fitur standard seperti TV dan karaoke set, kursi yang nyaman, toilet, tour leader dan lain-lain wajib hukumnya. 🙂

Code Dress Untuk Tamu Undangan!

Beberapa pekan yang lalu, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri suatu acara di suatu instansi. Inti acara di instansi itu adalah suatu peresmian. Tidak perlu saya sebut apa yang diresmikan instansi itu. Intinya lagi posisi saya adalah tamu undangan.

Yang sebenarnya tidak inti tetapi cukup membuat tidak nyaman bagi saya adalah di undangan itu tertera code dress apa yang harus saya kenakan. Ini tamu undangan kok diatur-atur. Tamu undangan itu berkenan hadir saja sudah bagus. hehe Kalau tidak karena kenal akrab dengan individu yang mengundang saya akan memilih tidak datang.

Saya lebih nyaman mengenakan T-Shirt dan celana jeans kesukaan saya daripada mengenakan kemeja lengan panjang berdasi dengan setelan celana formal dan bersepatu. Memikirkan hal aneh dari sudut pandang saya. Kenapa orang-orang kita suka meniru budaya orang apa adanya. Indonesia negara tropis yang lembab dan gerah, bukan Eropa.

Andai mereka di undangan mengingatkan untuk menggunakan kostum batik sebenarnya saya lebih mengapresiasi. Baiklah untuk kali itu mungkin saya lebih mengapresiasi isi amplop yang diberikan ketika saya mengisi dan tanda tangan di buku tamu. 😀

 

Kejlegong

Kejlegong

Kejlegong

Foto ini saya ambil beberapa hari yang lalu. Persis ketika kejadian agak celaka ini sedang terjadi. 😀 Bus yang kami gunakan untuk keliling kota Solo mengalami sedikit insiden. Ban bus menginjak bagian jalan yang kurang tepat ketika berjalan keluar dari tempat parkir. Istilah dalam bahasa Jawa adalah kejlegong. Entah apa dalam bahasa Indonesia.

Sopir tidak mengira kalau bagian tepi jalan di komplek perkantoran ini merupakan tutupan selokan yang merupakan lapisan cor yang tidak cukup kuat untuk menopang bus berbobot sekitar 15 ton.

Dengan posisi satu ban belakang mengantung seperti pada foto jelas membuat kesulitan tersendiri bagi bus. Bus tidak bisa bergerak. Sehingga perlu ditarik oleh bus yang lain.