Pantai Watu Lawang – Gunungkidul dan Kehidupan

Pantai Watu Lawang - Mencari Cangkang Kerang

Pantai Watu Lawang – Cecilia Lasiyem

Wanita pencari kulit kerang yang saya jumpai di Pantai Watu Lawang – Gunungkidul. Sebut saja namanya Cecilia Lasiyem. Agar terasa lebih akrab saya panggil Cecil saja.

Nyonya Cecil ini seorang wanita yang bersahaja, ramah dan dari garis-garis diwajahnya terlukis betapa keras sebuah kisah kehidupan.

Mencari kulit kerang bukanlah pekerjaan utamanya. Mencari kerang hanya dilakoni sebagai kerjaan sampingan ketika ia sedang tidak sibuk bekerja di lahan pertanian yang tidak jauh dari rumah tinggalnya di Tepus.

Untuk kita semua tahu. Jarak rumah tinggal nyonya Cecil dengan Pantai Watu Lawang sekitar 5 km. Menurut nyonya Cecil, kecuali ojek motor yang bertarif Rp 3.000,- sekali jalan, tidak ada angkutan dari rumah tinggal ke pantai ini. Naik ojek bukanlah pilihan bagi nyonya Cecil. Ia memilih jalan kaki saja. Iya jalan kaki. Uang Rp 6.000,- untuk naik ojek pulang-pergi bukanlah besaran yang sepadan dengan penghasilan dia mengumpulkan kulit-kulit kerang ini.

Barangkali kita penasaran, kulit kerang yang dikumpulkan nyonya Cecil dari hamparan pantai pasir putih yang terik akan di-monetize dengan cara apa.

Pantai Watu Lawang - Gunungkidul : Memungut Kulit Kerang di antara pasir putih

Pantai Watu Lawang – Gunungkidul : Memungut Kulit Kerang di antara pasir putih

Kulit-kulit kerang seperti ini adalah bahan untuk aneka souvenir dan hiasan yang banyak dijual di Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Krakal dan pantai-pantai lain yang berpengunjung banyak. Tapi nyonya Cecil bukanlah tangan terampil yang bisa menyulap kulit-kulit kerang ini menjadi benda-benda cantik. Nyonya Cecil menjualnya kepada pengepul.

Apabila wadah yang dipakai nyonya Cecil di atas penuh, maka ia akan mengantongi Rp 3.000. Berapa banyak wadah yang bisa ia penuhi dengan kulit-kulit kerang per hari? Tidak pernah bisa dipastikan.

Kerajinan dari kulit kerang

Kerajinan dari kulit kerang

Gambar di ambil dari sini

Oleh tangan-tangan terampil kulit-kulit kerang yang dipungut nyonya Cecil dari hamparan pasir tadi disulap menjadi souvenir cantik yang banyak dijajakan di Pantai Baron dan sekitarnya.

Pantai Watu Lawang : Barbara Niken Sumilah

Pantai Watu Lawang : Barbara Niken Sumilah

Saya lupa bertanya, siapa nama nona yang ini. Tetapi saya mengira tidak berlebihan bila saya menamai Barbara Niken Sumilah.

“Hey, Barbara, apa yang kamu cari di Pantai ini?” tanya saya

Oh, I am gathering seaweed for money here” jawab Barbara “If I am lucky enough, I’ll get about 10 kg during mid day and the collectors will pay me about Rp 10.000,-

I know Rp 1.000 each kilo gram seaweed is not  a good rate, but I don’t know where place else to go” keluh Barbara.

Pantai Watu Lawang : Mencari Rumput Laut

Pantai Watu Lawang : Mencari Rumput Laut

Pantai Watu Lawang : Rumput Laut

Pantai Watu Lawang : Rumput Laut

Barbara dan Cecil, keduanya datang ke sini dengan berjalan kaki  dari Tepus sejauh kira – kira 5 km. Kalau di iklan Anlene menyarankan berjalan kaki sebanyak 4 ribu langkah per hari agar tidak terkena osteoporosis, saya yakin Barbara dan Cecilia bisa melangkah lebih dari 2 X 4 ribu langkah per hari.

Hamparan pasir putih di Pantai Watu lawang dan bentang laut yang luasnya hanya dibatasi oleh cakrawala boleh dikatakan sebagai tempat yang merumahi bentang kehidupan.

Cecilia dan Barbara mempunyai definisi kehidupan yang berbeda dengan makhluk Tuhan yang bernama Jacques, pelancong dari negeri menara Condong, Paris. Di pantai yang sama Jacques mendifinisi dan menikmati kehidupan dengan caranya sendiri. Ia bernafsu menikmati sensasi berjemur di pantai pasir putih yang tidak ia temukan dinegaranya.

Pantai Watu Lawang : Jacques, tourist from France

Pantai Watu Lawang : Jacques, tourist from France

Bonjour. Jacque, Que pensez-vous de cette chienne, ehh plage?” saya bertanya sekenanya.

“Apik tenan dab, segarane ombak e gede banget, watu karang pancen peni, opo maneh wedi putih prasasat oro-oro” jawab Jacques” ngerti ora dab, opo maneh aku nggowo wedhokan cacah telu, nganti sayah ngayahi, hahaha.”

Bajigur, yo wis, profiter de vos vacances

Sebenarnya, pada hari Minggu kemarin, saya tidak merencanakan untuk berlibur ke Pantai Watu Lawang ini. Sebelumnya, dalam rencana teman-teman online, direncanakan untuk berkunjung ke Pantai Watu Manten yang bersebelahan dengan Pantai Drini. Entah kenapa teman saya. Annot, Amma, Tri Nur Ahmadi dan Nduk Ayoe keranjingan untuk ke Pantai ini.

Batuan di Pantai Watu Lawang

Batuan di Pantai Watu Lawang

Pantai Watu Lawang

Pantai Watu Lawang

Sebelum saya mengakhiri posting ini, ijinkan saya untuk bernarsis-narsis sendiri sementara saya belum mendapatkan foto-foto bareng dengan gerombolan itu. Mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama foto narsis berjamaah dapat segera disusulkan. 😀

Narsis di Pantai Watu Lawang

Narsis di Pantai Watu Lawang

Pantai Watu Lawang merupakan Pantai yang baru dibuka sebagai obyek wisata pantai di Gunungkidul. Pantai Watu Lawang menawarkan keunikan pantai laut selatan dengan pasir putih dengan gundukan – gundukan batu karang dengan aneka formasi. Barangkali batuan karang inilah cikal bakal kenapa disebut Pantai Watu Lawang. Meski saya belum menemukan batu karang mana yang berformasi seperti pintu. Dalam bahasa Jawa, Watu Lawang berarti, watu : batu; Lawang : pintu. Dugaan saya Watu Lawang berarti pintu batu, pintu yang terbuat dari batu, atau batu yang berformasi menyerupai pintu.

Untuk mencapai Pantai Watu Lawang kita tinggal mengarahkan kendaraan ke arah Timur dari Pantai Indrayanti. Dengan berjalan perlahan dan hati-hati, Anda akan menemukan plang papan nama seperti ini. Jalan sekitar 200 meter menuju pantai memang jalan berbatu yang belum diaspal. 🙂

Pantai Watu Lawang : Plang Penunjuk Pantai

Pantai Watu Lawang : Plang Penunjuk Pantai

Salam dari bumi Handayani – Gunungkidul 🙂

14 komentar di “Pantai Watu Lawang – Gunungkidul dan Kehidupan

  1. Uwoooh itu fotonya Barbara yang lagi nyari rumput laut kok macam tembus pandang ya? :O #amazed

    Waa pantainya indah bangeeet! Pengen ke sana deh kapan-kapan. Oh and aww semoga kerja keras Barbara dan Cecil lebih diapresiasi oleh yang menikmati ya (baca: yang belinya)…

  2. Palembang kagak punya pantai mas.. haaaaaahh, selalu saja diam terpesona kalo ada blogger yang cerita tentang pantai..

    saya mencoba nerjemahin ucapan Jacques, tapi ra mudeng blas mas.. mesti buka kamus boso jowo dulu iki.. 😀

Tinggalkan Balasan ke annosmile Batalkan balasan