Beberapa bulan yang lalu, di status facebook teman saya, yaitu Mas Pandu, terjadi diskusi menarik. Tepatnya, obrolan kawan – kawan kampung saya. Obrolan yang mengerucut pada pertanyaan, “Apakah desa Grogol dimana kami tinggal itu terbelakang?” dan “Apakah desa kami itu miskin?”
Kali ini saya akan mulai melihat dari kemiskinan. Berbicara mengenai kemiskinan suatu wilayah, dalam hal ini institusi desa, maka menurut saya salah satu indikator yang cukup relevan adalah keberadaan infrastruktur transportasi dan komunikasi – informasi.
Bagi kawan – kawan yang saya yang dulu dibesarkan mulai dari anak – anak gembala yang kini telah lama merantau boleh – boleh saja kaget akan jalan dari ujung Pandan sampai SD N Karangmojo 2 (yang berdekatan dengan kantor Desa Grogol) yang kini sudah beraspal. Saat ini sebagian besar jalan utama desa sudah beraspal. Jalan – jalan tingkat RT -pun sudah di-cor blok. Bahkan pada bulan – bulan ini pengerjaan pengaspalan masih terus berlangsung di dusun Gerjo.
Komunikasi. Di desa Grogol memang tidak ada jaringan telepon kabel, tetapi sekarang sudah ada dua BTS telepon seluler. Yaitu XL dan Telkomsel. Jadi bisa dipastikan lebih dari 90% wilayah desa Grogol terbebas dari blank spot area. Mengenai teledensitas alat komunikasi ponsel di desa Grogol dapat diukur dari angka penjualan pulsa di toko -nya Mas Pandu. 🙂
Selain dari kedua indikator di atas, menurut saya masih ada banyak indikator lain yang bisa dijadikan variabel menghitung kemiskinan, misalnya, tingkat penerima beras Raskin, pemegang kartu Jamkesos dan Askeskin, angka putus sekolah, rata – rata pendidikan masyarakat yang berusia 17 – 40 tahun, tingkat pengembalian kredit, dll
Kemudian mengenai “Apakah desa Grogol terbelakang?” Gambaran mengenai “keterbelakangan” kemudian saya dapatkan dari ngobrol – ngobrol saya dengan Suwiyanto, alias Mas Gareng, pada acara resepsi pernikahan Kang Slamet Cumik. Saya merasa beruntung pada saat sedang ramai ngobrol online tentang kemiskinan dapat bertemu dengan teman lama yang bekerja sebagai aktifis pendampingan pengentasan kemiskinan di wilayah kecamatan Paliyan. Jadi saya bisa diberikan gambaran mengenai kemiskinan yang terjadi di desa – desa lain di kecamatan Paliyan.
Mas Gareng sendiri merasa kesulitan untuk menilai apa yang disebut kemiskinan. Standard kemiskinan, baik yang dikeluarkan oleh WHO maupun oleh BPS, masing – masing mempunyai kelemahan. Namun bila menggunakan angka penerima beras Raskin, Jamkesos dan Askeskin, angka putus sekolah dan rata – rata pendidikan masyarakat maka skor desa Grogol masih di atas rata – rata.
Dari ngobrol – ngobrol dengan mas Suwiyanto ini, paling tidak sudah dapat saya simpulkan bahwa Desa Grogol tidaklah sangat terbelakang di antara desa – desa lain di kecamatan Paliyan. Pertanyaan yang tersisa tinggal “Apakah Grogol termasuk desa miskin?”
PS : Tulisan ini hanya untuk mengingatkan supaya apa yang pernah kami obrolkan dapat mudah ditemukan kembali 🙂
miskin atau kaya sebenarnya hanyalah sebuah anggapan…
coz banyak orang kyk tapi masih bermenta pengemis, ga mau ketinggalan ngantri sembako. tapi banyak pula orang miskin yg mampu manahan diri dari meminta2, bahkan masih ada yg mampu menolong orang lain 🙂