Pukul 05:52 wib 5 tahun yang lalu saya masih di rumah mengetik dengan komputer AMD Athlon dan tiba – tiba gempa jogja mengguncang. Saya langsung berlari keluar rumah menuju tempat terbuka di persawahan yang tidak jauh dari rumah tinggal saya. Saya mengira Gunung Merapi yang pada saat itu diberitakan berstatus siaga benar – benar meletus dan menimpulkan efek gempa yang hebat.
Namun di pagi yang berkabut waktu itu saya tidak melihat ada kepulan asap membumbung di arah barat daya. Tidak ada visual gunung meletus. Saya meng-SMS seorang teman yang tinggal di Pakem Sleman, Pak Gunawan. Jawabnya tidak terjadi apa – apa dengan gunung Merapi.
Artinya, penyebab gempa bukan gunung Merapi. Jangan – jangan di laut. Saya meng-SMS teman saya, Ika, yang tinggal tidak jauh dari pantai Baron, Tanjungsari. Menurut Ika, di rumahnya terjadi gempa, tetapi bukan gempa besar. Saat itu saya berkesimpulan pusat gempa bukan di laut selatan. Penasaran saya akan pusat gempa belum terjawab.
Gempa susulan terus terjadi. Ditambah dengan kabar terjadinya korban jiwa meninggal dan luka – luka di pasar Paliyan yang mana salah satu korban luka adalah seorang tetangga, yaitu Mbah Sastro, membuat warga di lingkungan dimana saya tinggal menjadi makin panik.
Personel TNI AD yang seharusnya pada saat itu berlatih di Puslatpur Paliyan ditugaskan untuk berkeliling desa untuk menenangkan masyarakat yang sedang dilanda panik. Mereka bilang ke masyarakat yang bergerombol agar tetap tenang dan waspada dan tetap di luar rumah. Alih – alih, hal ini malah membuat masyarakat bertanya – tanya. Sebenarnya apa yang sedang terjadi. Jangan – jangan gempa – gempa yang terjadi baru merupakan gempa permulaan. Ada gempa yang lebih dahsyat yang akan terjadi.
Listrik PLN yang padam seketika terjadi gempa di susul tulalitnya jaringan seluler pasca gempa membuat masyarakat kesulitan mendapatkan informasi dan putus komunikasi. Saya dan Pakde saya, Tasiman, hanya bisa memantau kabar gempa yang terjadi di daerah lain dari pesawat radio yang bertenaga 2 band baterai. Radio peninggalan dari simbah saya, Nini Kuminem.
Selang beberapa jam, dari radio dapat kami ketahui mulai ada laporan korban jiwa terjadi. Jumlah korban yang terpantau dari radio terus bertambah seiring waktu. Apalagi setelah jam 12:00 wib. Bisa dikata tiap detik sama arti dengan bertambahnya jumlah korban meninggal. Betapa masif korban gempa baru bisa diketahui oleh masyarakat di lingkungan dimana saya tinggal pada sore hari ketika listrik PLN sudah nyala. Mayat – mayat yang berjatuhan tertimpa bangunan yang roboh menjadi isi semua stasiun TV nasional.
Ketakutan masyarakat di kampung dimana saya tinggal makin menjadi – jadi pada malam harinya. Mereka mendirikan tenda – tenda dengan bahan seadanya di halaman yang di rasa lebih aman.
PS :
Hanya menuliskan apa yang masih bisa saya ingat dari peristiwa yang terjadi genap pada 5 tahun yang lalu. Sudah banyak yang susah saya ingat dan tulis kembali di sini. Bahkan saya tadi ingat tanggal dan bulan terjadi gempa dari membaca stream di facebook dan twitter.
Saat terjadi musibah gempa Jogja kebetulan saya belum pindah ke Jogja, Mas. Dan saya baru dengar cerita-ceritanya kemudian setelah pindah ke sini (2007). Ngeri sekali kalau dengar ceritanya. Tapi saya salut dengan Jogja yang proses recoverynya sudah selesai 100%, nyaris tak ada bekasnya. Beda dengan Lumpur Lapindo yang sampai kini tak kunjung selesai bencananya. Semoga kejadian serupa tak akan terulang lagi, Mas. Amin.
wah… laptop amd athlon nya dibawa ga mas waktu menyelamatkan diri 🙂
Saat itu ku masih kerja di Bekasi kang,.. ga sempet ngrasain goyangan gempa Jogja 27 Mei 2006, cma bisa mantau via saluran televisi.. tp alhamdulillah semua saudara di GK selamat.. 🙂
Saya tidak di TKP, Mas..
Tapi merasakan kesedihan orang-orang kampung saya
Ping balik: Menyikapi Informasi Bencana Gempa « Menuliskan Sebelum Terlupakan