Seorang pilot US Army, Kapten Colter Stevens (Jake Gyllenhall), seketika mendapati dirinya terbangun di sebuah kereta api menuju Chicago. Di depannya, duduk seorang wanita bernama Christina Warren (Michelle Monaghan) yang seolah kenal dekat dan memanggilnya dengan nama Sean Fentress. Colter kebingungan mendapati identitas ID nya bernama Sean Fentress. Saya tidak ikut – ikutan kaget Colter untuk terkejut mendapatkan wajah orang lain ketika dia sedang di depan cermin.
Karena jauh – jauh hari sebelum nonton saya sudah ngubek – ubek imdb.com di http://www.imdb.com/title/tt0945513/plotsummary . Jadi sejak menit awal film -tepatnya sejak sebelum nonton- sudah tahu akan keberadaan Colter dalam sebuah misi yang disebut “Beleaguered Castle” Misi untuk mencari tahu siapa pelaku pengeboman kereta di Chicago dengan menelurusi jejak – jejak otak seseorang di masa lalu.
Saya ketinggalan kereta menuju Chicago yang apes malang itu. Film yang sudah box office beberapa bulan yang lalu baru diputar di jaringan XXI Jogja mulai pekan lalu. Sebenarnya saya merencanakan menonton film ini masih pada pekan depan. Biar kalau terlambat tidak tanggung – tanggung terlambatnya. Adriana Sari -lah yang akhirnya tadi malam memaksa saya nonton Source Code pada jam 19:05 wib di Studio 21 Ambarukmo Plaza. Setelah saya dan Adriana kompak telat datang pada jam putar 17:15 wib. Hitung – hitung mencoba sensasi dari sebuah ketidakterencanaan.
“Dengan satu kata inti film Source Code adalah Bing (atau Nokia) :D” kata saya pada Adriana. Adriana bilang, “Cewe itu, Christina, lah orang yang dicari dalam misi” Kata saya, “Lihat aja entar”
Yang menarik pada film ini, menurut saya bukanlah pada pencarian teka teki siapa pelaku pengeboman kereta. Misi dalam film bergenre seperti ini umumnya pasti berhasil. Dan Ben Ripley sudah menuliskan Source Code dengan simple dan kecerdikannya yang membuat saya senyum – senyum sorangan setiap perulangan repitisi misi delapan menitan. Di Source Code ini Duncan Jones apik mengawal visual dan pace yang konsisten seolah memberi saya signal untuk merasakan sebuah sensasi yang tercipta dalam repitisi delapan menitan. Atau Duncan memang ingin bilang pada saya kalau sensasi itu memang terjadinya hanya sesingkat tidak lebih dari delapan menit.
Atau delapan menitan yang membuat orang untuk mempertanyakan kontribusi dan sebuah arti hidup.
Colter Stevens: What would you do if you knew you only had one minute to live?
Christina Warren: I’d make those seconds count.
Secara umum saya menikmati Source Code, menikmati kesederhanaan ceritanya, ketampanan Jake Gyllenhall, landscape danau dari setiap mula visual repetisi delapan menitan dan ide bahwa hal hal maya bahkan dari suatu program komputer dapat sangat mempengaruhi kepribadian dan pilihan hidup seseorang.
Beberapa hal yang cukup mengganggu saya adalah transisi on – off simulasi yang menurut saya menggunakan visual effect yang tampak maksa, barangkali karena saya terpesona dengan transisi antar layer mimpi pada Inception. Microphone dan Camera serta monitor yang dipakai oleh Goodwin dan Colter untuk berkomunikasi selama simulasi rasanya juga kurang pas di kalau memang teknologi penjejakan ingatan otak manusia telah demikian canggih.
Oh, iya, hampir kelupaan, subtitle film yang tidak focus di theater 5 Studio 21 Ambarukmo Plaza . Saya sampai nanya sama Adriana, apa mata saya saja yang salah focus.
Dan …
Pesan saya, check barang bawaan anda sebelum meninggalkan theater. Jangan ada barang yang tertinggal dan tertukar. Apalagi kharakter anda sampai tertukar dengan milik nonton-mate anda. Kalau masih ragu. Mudah – mudahan cermin – cermin di lorong keluar cinema akan bisa membantu anda. 😀
Ya, saya suka film-film pendek seperti ini, seperti Phone Both dulu, latarnya tidak banyak berubah, tapi ceritanya apik :).
udah nonton juga 😀
keren dah apalagi yang maen emang ngganteng,
bikin lupa klo nonton film itu sama cowo yang kalah ganteng sama dia xixixi
eh cowo juga terpesona dengan ketampanan si Jake toh? 😀
aku terpesona sama Jake di film broke back mountain; lhooooooo
Kok terpesona sama cowok sih, Mas? :p
hmm… sepertinya ini pelem bukanlah genre yg saia suka menontonnya. yah… namanya juga selera ya mas ya…
🙂
Hehe, cerita pilem ini unik ya, Mas Jar.
Saya ama adik saya cukup terkesan dengan ceritanya.
Ending-nya bener2 gak saya sangka, ternyata si kapten bisa “hidup” di alam otak-entah-apa-namanya.
Kami berpendapat bahwa hal ini mustahil trjadi di dunia nyata. Habis tubuh ini mati, roh kembali ke yang punya, ya sudah. 😆