Icon dan ukuran font yang pada Gnome 3 “njendul – njendul”, kalau kata Mas Cahya besar besar segede gaban. Ini memang kesan pertama saya setelah selesai menginstall Gnome 3. Tanpa bermaksud meremehkan inovasi yang banyak dibawa oleh Gnome 3. Secara konsep, Gnome 3 saya akui luar biasa. Hanya konsep yang dibawa developer belum cocok dengan kebiasaan berkomputer saya.
Saat ini saya masih menggunakan komputer/laptop model biasa. Menggunakan keybord dan trackpad/mouse sebagai alat navigasi. Sementara saya rasa, interface pada Gnome 3 terlihat akan cocok untuk perangkat touch screen. Atau tablet? Icon – icon yang menurut saya “njendul – njendul” tadi barangkali didesain agar enak di tab dan di pinch. Interface pada Gnome 3 saya rasakan memerlukan lebih banyak klik untuk melakukan maksud yang sama dibandingkan bila dilakukan pada Gnome Classic atau Unity.
Pada Gnome Classic dan Unity untuk menghubungkan laptop dengan bluethooth headset diperlukan dua klik. Pada Gnome 3 bisa sampai 6 klik. Mau mendengarkan music saja harus pusing duluan. 😀 Untuk mengirim file ke mobile device melalui bluethooth malah belum saya ketahui caranya. Bisa nervous duluan kalau mau presentasi dengan navigasi bluethooth wireless presenter. Masalah ketidak nyamanan bluethooth saja sudah menghabiskan satu paragraf. hehehe Belum masalah stabilitas. Gnome 3 pada Ubuntu masih buggy. Barangkali karena Gnome 3 belum dipaketkan sendiri oleh Canonical. Saya meng-install-nya dari PPA.
Saya bertahan menggunakan Gnome 3 kurang dari 2 minggu. Masalah failed to load session “gnome” yang saya posting beberapa waktu lalu memantabkan hati saya untuk kembali ke Unity (atau kalau tetep belum nyaman akan balik ke Gnome Classic) Gnome 3 akhirnya saya remove. Ubuntu kembali ke tampilan default.
Link berikut ini menawarkan tutorial yang sudah saya praktikan dan terbukti menyesuaikan Unity dengan selesar saya. : Baca lebih lanjut