Review Borobudur Marathon 2018, Tanjakan Bukan Penghalang Finish FM Sub 4

 

Perlu waktu sampai menjelang ganti tahun menunggu foto di garis finish diunggah oleh rungrapher ke fan page Borobudur Marathon. Saya hampir frustasi dibuatnya. Meski foto finish saya biasa-biasa saja dibanding foto pelari lain yang bagus-bagus saya urung menulis review negatif even marathon ini. 😀

Jarwadi Sub 4 Borobudur Marathon 2018

Menembus batas waktu 4 jam dalam berlomba lari marathon barangkali merupakan perjalanan yang paling lucu dalam hidup saya.

Percobaan pertama bermarathon sub4 saya lakukan pada bulan Oktober 2017 di Jakarta Marathon. Hasilnya jauh panggang dari api. Dengan alasan – alasan yang seharusnya tidak perlu. Saat itu saya hanya mencapai finish 04:36:21 (gun time) atau 04:27:25 (nett time).

Bulan April 2018 saya melakukan percobaan yang kedua, di Mandiri Jogja Marathon. Hasilnya? Sama – sama gagal. Meskipun percobaan kali ini tidak begitu jauh meleset. Di Jogja Marathon saya bisa finish 4:05:50. Meleset sekitar 6 menit dari target sub4.

Mengikuti kegagalan percobaan bermarathon sub4 untuk yang kesekian kalinya sederet kata – kata penghiburan terucap manis dari mulut teman – teman saya.

Mas, latihan dan usahamu kali ini tidak sia – sia. Gagal marathon sub4 bukan akhir segalanya. Apalagi “hanya” meleset 5 menitan. Next marathon pasti bisa sub4”.

Selamat atas PB marathonmu mas. Luar biasa lho bisa memperbaiki catatan waktu sampai 30 menit. Apalagi di Jogmar yang tanjakannya sepanjang aduhai”, hibur teman saya yang lain.

Mulanya saya sempat merasa terhibur dengan kata-kata semacam itu. Sampai ketika teman – teman saya menanyakan kapan akan membalas kegagalan marathon sub4 dan saya menjawabnya di Borobudur Marathon 2018.

Di Borobudur Marathon? Ah yang bener saja?”, begitu umumnya secara spontan teman – teman saya merespon misi balas dendam ini. Suatu respon yang menyadarkan saya bahwa segala puja dan puji yang mereka ucapkan sebelumnya sebatas pemanis bibir.

Saya bisa memahami kesanksian teman – teman saya akan misi berat menembus barrier 4 jam di Borobudur Marathon. Bagi mereka yang sudah pernah mencobanya, Borobudur merupakan medan marathon yang berat.

Sebut saja rute marathon yang merupakan rolling hills yang bertabur tanjakan cinta dan turunan jahanam. Belum lagi penyelenggaraan lomba ini pada pertengahan bulan November, yang bisa jadi merupakan akhir kemarau yang menyengat atau awal musim hujan yang bisa memaksa tubuh menggigil.

Bukan saya kalau tidak keras kepala. Misi balas dendam harus berjalan. Marathon sub4 harus selesai tahun ini juga.

Berbekal dengan slot marathon yang sudah saya dapatkan sejak pertengahan Februari 2018 saya segera menyusun sejumlah persiapan. Persiapan itu berupa memetakan peran dan kesibukan pekerjaan saya sampai akhir tahun, mengalokasikan waktu latihan dan menyusun program latihan lomba marathon.

Dibandingkan program – program latihan lomba sebelumnya, kali ini saya memberikan perhatian lebih. Kali ini saya menyusun program yang terdiri dari satu bulan strength and conditioning diikuti dengan tiga bulan competition training plan.

Program yang tidak bisa sepenuhnya saya kerjakan. Dari program yang pada awal saya kira masuk akal hanya bisa saya tuntaskan kurang lebih 70%. Dengan penyesuaian dan tawar menawar di sana – sini.

Tetap optimis meski hampir frustasi. Bermaksud mempertajam keterampilan downhill pada periode tapering, cidera malah mendera. Cidera itu terjadi di kaki kanan saya. Gejala sakit itu terasakan dari telapak kaki, betis, paha, sampai punggung. Bermacam usaha saya lakukan untuk mempercepat pemulihan. Agar saya tidak kehilangan momentum.

Pelan – pelan cidera kaki kanan saya berkurang. Belum sembuh sepenuhnya. H -1 ketika saya mencoba tapering run untuk yang terakhir kali sambil aklimasi di kompleks Borobudur gejala cidera itu terasa lagi. Cukup mengganggu. Malam menjelang lomba saya meminta tolong teman sekamar untuk membantu dengan stretching di beberapa bagian tubuh saya.

Bagi saya marathon merupakan pertautan antara cinta dan benci. Saya bisa bertahan dengan program latihan yang panjang dan total mileage ribuan kilometer. Saya selalu menikmati meniti kilometer demi kilometer yang jumlahnya 42 lebih itu. Mengejar gerbang finish yang siap memeluk.

Apa yang saya benci dari tiap marathon adalah malam sebelum lomba. Malam yang tiap detik berdetak lambat. Mata terpejam tetapi bukan tidur. Orang – orang menyebutnya runsomnia. Iya, saya mengidap penyakit runsomsia. Penyakit yang sampai sekarang belum saya temukan obatnya.

Minggu, 18 – 11 – 2018, dini hari. Saya beranjak dari tempat tidur empuk yang tak menina bobokkan. Mengambil air wudlu dan shalat malam. Menyerahkan semua mimpi sub4 kepada Allah setelah semua persiapan yang menjadi ikhtiar saya sudah selesai terlaksanakan semampu yang saya bisa.

Masih ada kurang lebih waktu dua jam sebelum saya menuju race village yang berlokasi kurang lebih 5 km dari wisma dimana saya menginap.

Hal terpenting yang saya lakukan adalah menambah asupan nutrisi dan hidrasi untuk memenuhi kebutuhan berlomba. Saya mengunyah beberapa helai roti tawar yang saya olesi sari kurma dan meminum air mineral saja.

Hal terpenting kedua adalah self massage di kaki kanan saya yang mengalami cidera. Di bagian – bagian yang sakit itu sekaligus saya oles dengan krim pereda rasa nyeri. Pain killer cream yang saya dapatkan dari racepack Borobudur Marathon.

Gear, apparel dan segala tetek bengek perlengkapan marathon sudah saya persiapkan sejak semalam sebelumnya. Saya tinggal membawanya dan berangkat ke race village lebih awal. Tiba di race village lebih awal penting membantu saya untuk menunaikan shalat subuh dan mempersiapkan segala sesuatu tanpa tergesa.

Sekali lagi saya melakukan checking mulai dari: nomer dada (bib), kaos kaki, sepatu, singlet, distance short, hat, salt stick, gu gel dan memastikan corral wrist dan sportwatch sudah terpasang di pergelangan tangan. Setelah semuanya meyakinkan saya baru menitipkan tas ke tenda drop bag.

Jarak antara tenda drop bag dan area start tidak dekat, meski tidak bisa dibilag jauh. Berjalan kaki ke sana bisa dihitung sebagai bagian dari pemanasan.

Jam belum menunjukan pukul 04:30 wib. Saya mulai merasa grogi berbaur dengan para pelari marathon yang sedang menunggu gerbang area start dibuka. Meneguk air mineral dari botol yang saya bawa tak mengurangi rasa grogi itu. Apalagi ketika saya sudah memasuki area start yang makin terasa gerah.

Terdengar melalui pengeras suara (megaphone) suara Wandergut memberi pengumuman agar pelari yang mengenakan corral wrist untuk segera merapat ke depan. Saya mencoba mengabaikan pengumuman yang membuat jantung makin berdebar. Alih – alih saya melakukan gerakan – gerakan pemanasan di area start, demi apa kalau tidak sebagai usaha mengendalikan kecemasan di dalam dada.

Sayang, corral wrist yang saya pakai terlalu mudah terlihat olehnya. Mau tidak mau saya harus maju ke barisan lebih depan. Dahaga makin terasa di tengah suasana yang makin gerah.

Beruntung saya bertemu Mas Jati yang membawa sebotol air mineral. Tanpa malu saya meminta Mas Jati untuk berbagi sebelum saya bergabung satu baris dengan pelari komunitas seperti Ary Iskandar, Fauzi Imdadur, Siti Muawamah dan lain-lain. Sebaris pula dengan Bara Kumbara, Margono dan sejumlah pelari elit.

Apa – apaan ini? Salah saya sendiri kenapa menggunakan gold wrist corral, yang berarti punya target finish 3.15. Jangan anggap saya besar kepala. Anggap saja saya sedang optimis.

Berdiri di garis start bersama sekitar 3 ribu pelari marathon dini hari itu merupakan pengalaman yang membuat bulu kuduk merinding. Saya berusaha berdiri tegak memastikan telapak kaki saya masih menginjak tanah ketika lagu Indonesia Raya itu semakin bergemuruh dinyanyikan.

“Selamat berlari, kalian tidak hanya berlari tapi juga menikmati alam Borobudur, jangan sungkan untuk menyapa masyarakat,” kalimat yang selalu terngiang yang diucapkan oleh gubernur Ganjar Pranowo. Tepat pukul 05.00 wib Pak Ganjar melepas peserta marathon untuk berlomba di Borobudur.

Di tengah-tengah ribuan pelari yang berhamburan bak kelelawar keluar dari sarang saya berusaha menjaga diri dari euforia yang membuncah.

Remember the first 30km is just the warm up..The Marathon start at 30km..The Marathon is that last 12km..The Marathon start when you hit the wall..

Kalimat wejangan dari Rob de Castella ketika dia menjadi announcer Gold Cost Marathon 2018. Wejangan yang ‘iya banget’ sampai-sampai saya selalu mengingatnya. Meskipun tidak pernah mendengarnya dengan telinga sendiri. Saya hanya pernah membaca kalimat itu di status Facebook seorang kawan.

Setan menggoda para pelari marathon justru di kilometer – kilometer awal. Ketika kaki masih ringan, nafas masih lega, cuaca masih bersahabat dan pakaian belum berbau apek. Menyadari godaan berat itu sebisa mungkin saya mengamalkan wejangan Castella. Ingat bahwa 30 km pertama merupakan pemanasan.

Sejak awal saya telah mengatur jam Garmin di lengan untuk menunjukkan 3 besaran: pace, cadence dan heart rate. “Pemanasan” bagi saya adalah pace 5 menit/km, cadence 170 spm dan heart rate seharusnya tidak melebihi 155 bpm. Berbekal angka-angka ini saya mudah tahu kapan saya berlari dengan khilaf dan kapan bisa berlari dengan sabar.

Grafik di atas merupakan pembacaan jam garmin di tangan saya. Menunjukkan bahwa godaan setan ini memang berat. Bahwa Marathon itu dimulai di km 32 merupakan wejangan yang enak dibaca tetapi sulit diamalkan. Sampai kilo meter ke 28 saya malah over pace. Bila dirata-rata saya berlari dengan pace sub 5 menit/km

Padahal saya sudah mensiasati godaan over pace ini dengan berlari bareng beberapa teman. Saya berlari bareng Fauzi, Warra, Gilang dan Evry entah sampai km berapa. Entah sejak km berapa saya baru menyadari mereka sudah tidak berlari berdampingan.

Pelari yang kemudian berbarengan dengan saya lebih lama kemudian adalah Justin, pelari bule yang tinggal di Bali. Bila ada 2 orang yang berlari berbarengan, maka yang ke-3 adalah setan. Benar saja kali ini setan setan itu tampil dengan genit-genitnya. Setan genit yang membuat saya besar kepala untuk menyelesaikan Borobudur Marathon ini sub 3.30.

Jalan lurus, lebar dan menurun yang nampak seksi sejak km 28 lagi-lagi menggoda saya untuk menaikkan pace. Di sini drama itu dimulai. Kaki kanan saya yang cidera mulai kambuh, atau efek pain killer cream yang saya oleskan sudah mulai berkurang efeknya?

Ah, saya cape! Posting blog ini sudah terlalu panjang. Daripada saya makin lelah menulis, ambil mudahnya saya salinkan post-post saya di Instagram terdahulu untuk menutup tulisan ini.

Jam 8:01:48 wib. Saya persis menginjakan kaki di km 35.

Saya tahu saat itu sudah sulit untuk mengejar target marathon sub 3.30. Mana mungkin dengan cidera kaki kanan yang kumat sejak km 28 saya bisa menyelesaikan sisa 7.2km dalam 28 menit.

Di turunan sebelum tanjakan ini saya sudah slow down agar aman menyelesaikan tanjakan tanpa jalan. Agar tidak ada aib yang disebarkan oleh penunggu cop km 35 mas @hansaluft

Kira kira di km 37 (di ws) saya ditikung bang @andhikabagolakbar ketika saya sedang mandi air mineral. Saya pikir biar saja nanti gantian ditikung di depan. Sepertinya dia tidak kencang kencang amat.

Kenyataannya bang @andhikabagolakbar jago lari di turunan dan segera menyelinap di kerumunan peserta hm yang menghabiskan jalan di 2 km terakhir.

Bagian paling menantang dari @borobudur.marathon ada di km 40 sampai garis finish.

Betapa tidak di kilometer terakhir dimana kita melakukan last push, para pelari diuji sisa sisa tenaga dan ketabahan mentalnya untuk berlari zig zag menembus barisan dedek dedek gemes yang berlari memenuhi jalan.

Tapi ini sekaligus merupakan salah satu momen menyenangkan yang saya suka dari marathon road race. 😂 😂 😂

Menahan sakit saya hampir tergoda dnf. tapi saya mendadak sakit hati ketika di km 38 ditikung bu siti muawamah. Masa iya saya kalah sama ibu ibu berusia 53 tahun.

Meski kenyataannya kali ini saya tidak cukup strong untuk menaklukkan bu siti yang akhirnya Finish 3.43.55. saya harus tabah kali ini finish 3.47.38 (official result time). Alhamdulillah

***

Review Borobudur Marathon 2018

Merupakan event marathon milik Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, disponsori oleh Bank Jateng dan diselenggarakan oleh Harian Kompas dengan Race Organizer Pandara Sport.

Borobudur Marathon merupakan event pada akhir tahun yang pendaftarannya sudah dibuka sejak awal tahun. Sejak awal event ini tersosialisasikan dengan baik, baik secara offline maupun online. Kebanyakan pelari mengapresiasi pengalaman pendaftaran lomba yang bebas drama.

Social media digunakan dengan baik untuk mensosialisasikan berbagai hal dan aspek tentang Borobudur Marathon. Pendaftar bisa dengan mudah mendapatkan informasi rute, aturan lomba, venue, dan hal-hal baru seperti COT, COP dan blue line.

Pengambilan racepack dipusatkan di Artos Mall Magelang. Mengambil racepack pada hari terakhir saya mendapati antrian cukup panjang, namun rapi dan lancar. Booth booth sponsor pun bertebaran di area pengambilan racepack yang bisa menjadi penyemarak dan menggembirakan para pelari.

Pada hari lomba saya tiba di race central sekitar pukul 3.30 pagi. Untuk memasuki kawasan race central di Taman Lumbini semua peserta harus melalui security check yang ketat. Namun proses nya yang cepat dan lancar tidak mengganggu kenyamanan peserta marathon.

Di race central tersedia tenda mushala dan tempat wudlu yang memadai sehingga saya dengan mudah bisa melaksanakan shalat subuh. Toilet pun tersedia banyak sehingga ketika saya menggunakannya bahkan tidak perlu mengantri. Tenda drop bag dibuat memanjang sehingga mengakomodasi petugas dan antrian lebih banyak untuk mempercepat pelayanan. Tidak perlu hitungan menit bagi saya untuk menitipkan tas di tenda drop bag.

Peserta marathon baru dipersilakan memasuki start area sekitar pukul 4.30 wib. Saya dan peserta main mulai memasuki start area. Peserta marathon diatur berdasarkan corral wrist yang dikenakannya. Pelari yang punya target waktu tercepat ditempatkan di barisan terdepan. Bila tidak mengenakan corral wrist maka pelari ditempatkan di bagian belakang.

Borobudur Marathon merupakan event yang tidak melalui banyak prosesi. Sedikit sambutan dari Gubernur Ganjar Pranowo dan Menyanyikan Lagu Indonesia Raya saja. Tepat pukul 05.00 peserta marathon dilepas oleh Pak Ganjar.

Water Station tersedia tiap 2km (bila saya tidak salah). Menyediakan Isoplus dan air mineral dalam jumlah yang melimpah. Fruit station setahu saya menyediakan semangka, jeruk dan pisang. Berapa banyak jumlah tenda medis? Saya tidak memperhatikan. Saya mendapatkan tawaran semprot medis di sekitar km 34.

Jalan yang digunakan untuk Borobudur Marathon bagus, 98 persen aspal. Mungkin 2 persen saja yang jalan paving. Melewati bentang alam yang beragam mulai dari kota, desa, persawahan, jembatan dan pegunungan. Sayangnya tanjakan dan turunan di sepanjang rute cukup brutal. Andai panitia pelaksana bisa meratakan jalan di sepanjang rute marathon.

Jumlah marshal dan petugas pengamanan rute cukup banyak dan bisa bekerja dengan baik mengamankan rute lomba. Nampak di km 28 sampai 30 di jalan menuju Purworejo petugas cukup kesulitan mengatur lalu lintas yang padat dan pengendara yang nampak tidak sabar. Tapi overal masih cukup terkendali.

Fotografer official dan non official tersedia di banyak spot foto di sepanjang rute. Bagi saya dan kebanyakan pelari keberadaan mereka merupakan sumber energi yang lebih baik dibanding energi bar.

2 km menjelang finish rute cukup crowded. Pelari marathon harus menembus pelari HM ber-cc rendah yang hampir kena COT. Menurut saya ini yang perlu dipikirkan oleh panitia.

Bila di sepanjang rute cheering Borobudur Marathon luar biasa, baik dari masyarakat, pelajar, komunitas dan lain-lain dengan pertunjukan dan atraksinya, di garis finish menurut saya malah kurang greget. Apa saya saja yang tidak menyadarinya karena kelelahan. Sambutan di garis finish rasanya kurang wow.

Medali finisher tidak langsung dikalungkan di garis finish. Pelari yang sudah finish harus mengantri dulu untuk mendapatkan medali dan kaos penamat. Ketika saya mengambil masih lancar dan tidak mengantri. Konon pada siang harinya terjadi kisruh pengambilan medali dan kaos finisher.

Refreshment di race central cukup beragam, mulai dari tenda fisio terapi, kolam es, pertunjukan dan kulineran.

Singkat kata: Borobudur Marathon adalah event lari terbaik yang pernah saya ikuti.

Iklan

9 komentar di “Review Borobudur Marathon 2018, Tanjakan Bukan Penghalang Finish FM Sub 4

  1. Ping balik: 7 Fakta Menarik Seputar Borobudur Marathon 2018 – Gadget, Running & Travelling Light

  2. Ping balik: Seoul Marathon, Pilihan Lomba Marathon Awal 2019 – Gadget, Running & Travelling Light

  3. Ping balik: Race Jersey dan Finisher Jersey Baru Bikin Borobudur 2019 Lebih Keren? – Gadget, Running & Travelling Light

  4. Mas Jawardi, boleh di-share website data garmin connect-nya? Saya juga lagi berusaha untuk sub-4 ni 🙂 Mau belajar dari situ jadwal2 latihannya.
    Makasih.

  5. Ping balik: Garmin Vivo Active 4, Sportwatch Trendy bagi Life Style Atlit dan Pemulai Gaya Hidup Aktif – Gadget, Running & Travelling Light

  6. Ping balik: Review Mandiri Jogja Marathon 2019, Lebih Baik Namun Belum Baik – Gadget, Running & Travelling Light

  7. Ping balik: Borobudur Marathon 2019 Perkenalkan Sistem Ballot, Apa saja yang perlu diketahui? – Gadget, Running & Travelling Light

  8. Ping balik: Yuk Ketahui 7 Hal Menarik di Sepatu Adidas Adizero Pro ini – Gadget, Running & Travelling Light

  9. Ping balik: Tips Praktis Tingkatkan Self-Esteem Dengan Berolahraga – Gadget, Running, Travelling Light

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s