Menikmati lanskap dan wisata alam di Kabupaten Gunungkidul rasanya tidak akan ada habisnya. Bahkan bagi saya yang bertumpah darahkan Bhumikarta Dhaksinarga pun tetap tidak pernah bosan menikmatinya.
Mendung menggelayut dan hujan yang terus berjatuhan pada Selasa sore pekan lalu tidak menyurutkan nekad saya untuk menikmati sunset di Gunung Ireng yang terletak di desa Pengkok, kecamatan Patuk, kabupaten Gunungkidul.
Menurut Google Map, sebenarnya letak Gunung Ireng tidak begitu jauh dari rumah saya. Kira-kira 16 km saja. Rute menuju Gunung Ireng yang saya tempuh adalah: Paliyan => Playen => Gading => Sambi Pitu => Beji => Jelok kemudian mengikuti petunjuk arah ke Gunung Ireng. Kalau Rute menuju Gunung Ireng dari arah Jogja sebenarnya juga mudah. Tinggal ikuti jalan Jogja Wonosari. Sesampainya di kantor kecamatan Patuk tinggal cari jalan aspal menuju Desa Pengkok dan Gunung Ireng.
Sepanjang jalan yang saya lalui sudah beraspal mulus. Hanya ruas jalan ada yang rusak sepanjang kira-kira 500 m. Dari jalan aspal yang bertuliskan gerbang selamat datang ke Gunung Ireng menuju area parkir juga merupakan jalan yang dicor.
Hujan makin deras ketika hampir Maghrib itu saya memarkir motor. Tidak apa-apa. Ada jas hujan yang sebelumnya saya persiapkan dan tinggal dipakai saja. Petang itu bakalan tidak akan ada sunset. Pun begitu hujan sore itu di Gunung Ireng tidak boleh disia-siakan. Apalagi sore itu tidak ada banyak pengunjung. Gunung Ireng yang jauh dari kegaduhan mungkin kelak akan menjadi sesuatu yang langka.
Saya berjalan kaki melalui setapak di antara bebatuan cadas. Sambil berjalan saya selalu merapikan jas hujan agar air tidak sampai membasahi tubuh. Sesuai namanya di puncak itu saya mendapati batu-batu cadas berwarna hitam, Gunung Ireng. Pemandangan yang kontras saya dapati ketika melemparkan pandang ke sisi selatan. Di sana ada hamparan sawah dengan padi menghijau.
Entah kenapa saya selalu suka dengan pemandangan seperti ini. Padahal saya dibesarkan, tumbuh dan sampai sekarang tinggal di keluarga petani pedesaan. Apa yang saya suka berikutnya adalah semburat jingga di sebelah barat. Itu yang seharusnya merupakan sunset yang saya cari.
Adzan Maghrib berkumandang. Memang belum puas. Tapi saya memutuskan untuk turun. Tidak langsung pulang. Saya ingin mencari semacam makanan atau minuman untuk menghangatkan badan. Dan mencari tempat untuk shalat Maghrib tentu saja.
Saya kemudian mengendarai motor menuju Kampung Nusantara/Kampung Wisata Jelok. Saya ingin menuju Resto Kampung Jelok yang kabarnya sudah beberapa lama beredar.
Perlu bertanya sekali kepada penduduk sebelum saya tahu pasti jalan mana yang seharusnya saya lewati. Jalan menuju ke sana masih menyisakan kira-kira 1 km jalan bercor blok dari jalan aspal utama. Uniknya saya harus melewati semacam jembatan kayu menyeberangi Sungai/Kali Oya. Untungnya saya sore itu menggunakan motor. Jadi bisa langsung menyeberangi jembatan kayu. Bila dengan mobil, maka harus diparkir sebelum jembatan dan perlu berjalan agak jauh.
Gerimis, petang dan kerlap-kerlip lampu dekorasi Resto Kampung Jelok membawa suasana dingin yang magis. Apalagi bagi yang belum begitu terbiasa dengan hening dan suara alam pedesaan Kampung Jelok.
Tidak ada petugas resto yang berjaga di pintu masuk Resto Kampung Jelok. Kalau bukan karena lampu-lampunya yang dipasang khas menyala, saya mungkin mengira resto itu tutup. Secara petang itu tidak ada banyak pengunjung Resto Kampung Wisata. Meja-meja yang diletakkan secara khas di dalam bangunan tak berdinding berbentuk kandang sapi nampak kosong. Saya saat itu bisa memilih dimana saja yang saya suka.
Saya terus berjalan saja sambil mencari dimana saya bisa menemui petugas yang bisa saya pesani makanan. Sampai seorang mbak-mbak menghampiri saya dengan sebuah payung besar yang kemudian saya pinjam. Saya memilih tempat duduk yang sekiranya nyaman sambil membuka buka buku menu.
Rasanya tidak banyak menu yang ditawarkan di Resto Kampung Jelok. Tapi dari nama-namanya terasa sesuatu yang khas. Dan kalau dilihat harganya tidak mahal. Paket makan untuk satu orang hanya berharga Rp 27.000,- (yang saya pesan). Lainnya yang saya pesan adalah Jahe Panas, Teh Pas dan Pisang Goreng sebagai camilan.
Pesanan saya sampai dalam waktu tidak lama. Saya tidak mengira paket seharga Rp 27.000,- porsinya sebanyak ini. Isi paket pesanan saya adalah nasi putih, ayam bakar, sayur lombok, tahu dan tempe bacem, serta gudheg sinuwun. Penyajiannya pun unik. Menggunakan perkakas yang semua terbuat dari anyaman bambu.
Komentar saya: Makanannya enak-enak dan tempatnya asyik sehingga di sana saya betah berlama-lama. Makanan, penyajian, dan tempatnya sangat insta-genic/instagrammable. Jadi jangan heran bila di sana saya betah berfoto-foto. Saya lain kali ingin makan malam lagi di sana 🙂
Resto Kampung Jelok
Alamat: Jalan Jogja – Wonosari km 25, Dusun Jelok, Desa Beji, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta
HP : 0878-3942-7171
Email : desajelok@gmail.com
*laper
menghijau…
dulu kalau dengar gunung kidul, langsung kebayangnya pegunungan gamping yang gersang
Awalnya pantai-pantai, lalu gua-guanya. Kini Gunung Kidul semakin membuka diri perlahan bahwa kabupaten ini punya potensi wisata alam yang satu per satu tersingkap.
asikkk, suka yang kuliner kayak gini. Penyajian unik dengan harga yang cukup 🙂
Jozzz…
Ping balik: Melihat Potensi Wisata di Wilayah Kecamatan Paliyan | Menuliskan Sebelum Terlupakan