Rectoverso, Film atau Sandiwara Radio?

rectoverso

Gambar diambil dari Kofindo di sini.

Saya termasuk orang yang mempercayai bagus tidaknya sebuah film sangat ditentukan oleh imajinasi, idealisme, kreatifitas dan kepiawaian sutradara. Kemampuan olah peran yang superb pemeran paling bintang, ide cerita dan penulisan naskah yang tajam dan beralur pun tidak akan serta merta membuat film bagus bila jatuh ke tangan sutradara yang kurang tepat. Itulah mengapa saya lebih nge-fan dengan sutradara-sutradara bahkan kurang mengenali aktor/aktris suatu film.

Apalagi bila menterjemahkan suatu cerita yang sebelumnya diperuntukan sebagai bahan bacaan. (baca: novel, cerpen, dll) Tidak banyak sutradara yang berhasil menerjemahkan bacaan ke format audio visual di layar bioskop. Beberapa tahun belakangan ini, di perfilman Indonesia, terjemahan bacaan ke format audio visual yang cukup bagus, sepanjang yang saya ingat adalah Sang Penari (terinspirasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk) dan Laskar Pelangi yang diangkat dari novel yang berjudul sama.

Rectoverso, saya rasakan belum menjadi mampu menerjemahkan cerpen-cerpen karya Dewi Lestari ke layar bioskop. Keberaniannya membawa konsep Omnibus dengan mengkomposisikan 5 dari cerpen terpilih (dari 11 cerpen Dee dalam Rectoverso) memang layak dipuji. Masih jarang sineas Indonesia yang mengusung konsep ini. Tetapi keberanian ini belum diikuti dengan kreatifitas editing/penyuntingan dan penulisan naskah yang sesuai. Transisi antar scene cerita terasa maksa. Saya mengira sebelumnya setiap satu naskah cerita dibuat dengan belum mempertimbangkan naskah cerita yang diangkat dari cerpen lainnya dalam film ini. Kemudian ide penyuntingan baru datang belakangan.

Rectoverso mengangkat cerpen Malaikat Juga Tahu, Firasat, Curhat Buat Sahabat, Hanya Isyarat dan Cicak-Cicak di Dinding.

Bagi saya, dari kelimanya, hanya Malaikat Juga Tahu yang cukup merebut perhatian saya. Olah peran bagus baik Lukman Sardi sebagai Abang dan Dewi Irawan sebagai bunda mampu mengisi ruang visual dengan karakternya yang kuat. Its OK, bila cerita dalam Malaikat Juga Tahu secara teknis lebih mudah “dilayar lebarkan” dengan bahkan sedikit kreatifitas, sementara keempat lainnya memerlukan kreatifitas lebih. Bukankah kreatifitas itu jantungnya orang-orang berkesenian.

Malaikat Juga Tahu bukan tanpa cela. Ada adegan yang menurut saya terasa maksa dan membuat saya nyengir tertawa, yaitu adegan malam hari di kebun belakang dimana Abang dan Leila menghitung bintang. hihihi.

Film yang bagus menurut saya adalah ketika visual, tempo, suara, kata-kata dan semua aspeknya bercerita saling melengkapi. Film tidak hanya bercerita dengan kalimat dan kata-kata sebagaimana novel atau bacaan. Film tidak hanya bercerita dengan mulut yang berbicara seperti halnya sandiwara radio. Terus terang saya kurang suka dengan Rectoverso karena lebih banyak menggurui dengan segudang filosofi yang diucapkan oleh pergerakan lidah, bibir dan rongga mulut. Rectoverso mempunyai gaya menuturi yang mengingatkan saya akan film CIN(T)A. (2009)

Saya ingin menonton film Rectoverso bukan sandiwara radio berjudul Rectoverso, hihihi