Telah saya tuliskan berulang-ulang, bahwa sejak dulu, di desa dimana saya tinggal, teh merupakan minuman default untuk setiap acara. Apa yang saya lihat di hajatan pada beberapa waktu lalu pun belum berubah. Termasuk siapa peramu sajian teh (jayeng) untuk acara hajatan di desa dimana saya tinggal. Masih bapak-bapak yang ini dan itu saja. Bapak-bapak yang sudah mengabdi sebagai jayeng desa sejak saya masih kecil.
Tidak ada regenerasi. Sampai sekarang belum kelihatan ada pemuda yang berminat meneruskan pengabdian bapak-bapak itu untuk menyajikan kekhasan wedhangan dalam acara-acara hajatan, gotong-royong, sambatan, rembug desa, dan lain-lain. Dulu sebenarnya saya berharap kepada teman saya, yaitu Si Kus dan Sutan yang di antara teman sebaya adalah yang paling piawai dalam meramu teh. Namun mereka sekarang telah memilih jalannya untuk mengadu nasib di rantau.
Saya jadi termenung membaca komen Pak Hery Nugroho di suatu foto yang saya unggah di jejaring sosial. Kalau tidak ada regenerasi, akankah kelak wedhang teh ini kedudukanya dalam sebuah hajatan, sambatan, gotong-royong, gugur gunung dan acara rembug desa akan digantikan oleh teh botol dan teh kotak.
Bukan hal yang mengada-ada karena saat ini gelas-gelas air putih di meja prasmanan telah digantikan oleh botol-botol air kemasan ukuran gelas.
Masih di acara hajatan yang sama di desa dimana saya tinggal. Seharusnya Pramu Ladi/Juru Ladi merupakan tugas para pemuda di suatu desa. Namun foto di atas bercerita sebaliknya. Dengan wajah-wajah lama yang tetap eksis. …
Ada satu pertanyaan, apa tugas-tugas seperti ini memang sudah sampai pada masanya di-out sourcing-kan? Dimana keluarga yang punya hajatan tinggal membayar sejumlah uang kepada penyedia layanan pesta dan terima beres saja tanpa keterlibatan lingkungan sosial dimana mereka tinggal. 🙂 Dengan kata lain sistem sosial yang makin individualis menjadi mudah diterima.

