Satu pohon jati milik tetangga saya, Kaki Tono, roboh karena terpaan angin kencang. Barat, sebutan orang Jawa untuk angin kencang, yang terjadi pada kemarin siang memang cukup mengagetkan. Biasanya angin kencang, baik barat dan lesus selalu berbarengan dengan awan kelam dan hujan. Dan seharian kemarin tidak turun hujan.
Angin kencang itu sendiri saya rasakan cukup merisaukan. Saya buru-buru menutup daun jendela dan daun pintu yang beradu-adu kencang terterpa angin. Melihat keluar rumahpun jadi menemukan pemandangan tak biasa. Pohon asem, akasia, leresede, jati dan tanaman pagar meliuk-liuk. Daun-daunan yang hijau berubah keputih-putihan terjambak angin.
Simbok sampai memperingatkan saya untuk menebang beberapa pohon yang dekat dengan rumah. Ia takut kalau angin terjadi lagi, pohon itu roboh menimpa rumah. Pohon-pohon yang dimaksud sebelumnya memang sudah akan ditebang dengan alasan yang sama, namun saya melarang ditebang karena suka dengan lebih banyak pohon di sekitar rumah.
Ketakutan simbok itu barangkali karena teringat peristiwa 20 tahunan yang lalu yang mana genting rumah kami porak-poranda diobrak-abrik oleh anging lesus. Kala itu amukan angin terjadi dua kali dalam waktu kurang satu bulan. Begitu genting dan atap diperbaiki, angin lesus menerpa lagi. 🙂
Rupanya kejadian angin kencang itu tidak hanya terjadi di lingkungan tinggal saya. Angin Barat lebih parah merobohkan pohon yang menimpa dua rumah di Dusun sumberjo, Ngawu, Playen, Gunungkidul. Kabarnya bisa dibaca di sini. Untungnya yang terjadi kemarin siang tidak separah yang terjadi di desa tetangga, desa Pampang, Paliyan, Gunungkidul seperti yang diberitakan di sini.
Nah, nampaknya untuk mencegah terjadinya angin kencang (barat, lesus, puting beliung, dan sejenisnya) masih sulit dilakukan. Mungkin sekarang kita perlu memikirkan untuk meminimalisasi kerusakan dan korban bila fenomena alam ini terjadi lagi. 🙂 Ada ide?