Gamelan Jawa bukanlah sesuatu yang baru bagi saya. Ibu dan Bapak saya adalah seorang niyaga (pemain musik gamelan). Pada jaman ibu masih aktif ‘sepel’ menabuh gamelan saya sesekali menonton para niyaga berlatih musik karawitan. Sampai sekarang saya tumbuh menjadi penyuka karawitan/uyon-uyon, wayang kulit, kethoprak mataram dan seni tari tertentu khususnya tarian Jawa. Namun sampai sekarang saya baru akan sekali ini melihat bagaimana seperangkat alat musik gamelan dibuat.
Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo dimana tersohor pengrajin gamelan berkualitas internasional berada cukup ditempuh kira-kira setengah jam perjalanan dari kompleks Masjid Agung Keraton Surakarta. Memasuki gapura desa Wirun suasana desa kerajinan sudah terlihat, tetapi yang kami lihat adalah pengrajin genteng, bukan kerajinan gamelan yang kami maksud. Beberapa kali bertanya kepada penduduk akhirnya sampailah kami di kediaman Bapak Panggiyo. Rumah Bapak Panggiyo dari pintu gerbangnya yang berhias “gong” sudah bisa dipastikan bahwa di sini memang benar Kerajinan Gamelan itu berada.
Rombongan kami disambut oleh Bapak Panggiyo sendiri yang pada saat itu sedang sibuk mengepak pesanan seperangkat gamelan Jawa yang akan dikirim ke Adelaide-Australia. Rupanya gamelan yang menurut informasi yang kami dapatkan sedang di “laras”/distem/di-tune, saat ini sudah dikerjakan. Jadi di sini tidak ada lagi yang bisa kami tonton. Untungnya Bapak Panggiyo cukup baik hati dengan mengajak kami untuk menyaksikan proses pembuatan gamelan yang sedang berjalan di workshop milik Pak Supoyo. Pak Supoyo adalah kakak Pak Panggiyo yang sama-sama berprofesi sebagai pengrajin gamelan.
Di dalam workshop milik Pak Supoyo saat itu sedang dikerjakan pembuatan Gong berukuran besar/sedang. Memasuki workshop yang cukup membuat kami berkeringat, kami menjadi tahu betapa rumitnya proses pembuatan gamelan. Melihat tungku yang digunakan untuk membakar/membenam logam bahan dasar gong dan bagaimana logam itu ditempa dan dibentuk, melihat percikan apinya mengingatkan masa kecil saya ketika turut serta kakek ke pandai besi untuk memesan alat-alat pertanian. Tetapi pembuatan gong jauh lebih rumit dan dikerjakan lebih banyak orang. Kira-kira 6 – 8 orang pekerja di tungku perapian dan penempatan. Finishing dan ‘pelarasan’ dikerjakan oleh orang lagi.
Tak heran bila Pak Panggiyo menjelaskan bahwa seperangkat Gamelan Jawa lengkap dikerjakan dalam waktu 2 bulan dan harganyapun tidak murah. Seperangkat Gamelan perunggu yang akan dikirim ke Adelaide tadi berharga Rp 300 juta. Seperangkat Gamelan Jawa lengkap berbahan perunggu terbaik dihargai sampai Rp 600 juta. Namun untuk Gamelan Jawa yang lebih murah bisa dibuat dengan harga yang lebih terjangkau ketika menggunakan bahan logam kuningan dan yang paling murah dari besi.
Kakak beradik Bapak Panggiyo dan Bapak Supoyo bukanlah pemain baru di bidang kerajinan gamelan. Usaha kerajinan gamelan yang sudah ditekuni selama puluhan tahun ini sebenarnya didirikan dan dirintis oleh ayah mereka yang bernama Bapak Sudakir/Sudakir Reso Wiguno sejak tahun 1987. Selama mengrajin gamelan sudah banyak gamelan berkualitas tinggi yang dijual baik di Indonesia maupun mancanegara seperti Australia, Malaysia dan negara-negara lainnya.
Kunjungan kami dalam rangkaian Cultural Trip Bedug Asyiik bersama PT Sampoerna kali di Kerajinan Gamelan milik bapak Supoyo ini diakhiri dengan mengunjungi galeri dimana gamelan-gamelan jadi terpasang di sana. Di galeri selain menjelaskan tiap-tiap instrumen gamelan, bapak Panggiyo juga sedikit mendemokan bagaimana sebuah alat musik dimainkan.
Tulisan Terkait :
Selain di desa ini pembuatan gamelan dimana lagi ya?
Ping balik: Cultural Trip Solo: Semangat Pertemanan Dalam Bedug Asyiik 2015 | Menuliskan Sebelum Terlupakan
Ping balik: Cultural Trip Solo: Masjid Agung Keraton Solo | Menuliskan Sebelum Terlupakan
Ping balik: Keindahan Tak Tergantikan Kawah Ijen, Kawah Surga di Banyuwangi – Gadget, Running & Travelling Light