Musim panen di desa dimana saya tinggal belum benar-benar selesai. Musim panen yang sudah dimulai sekitar dua pekan yang lalu mungkin baru akan benar-benar selesai satu sampai dua minggu lagi. Saat ini keluarga saya sendiri baru menyelesaikan memanen padi di sawah. Selanjutnya proses pemanenan masih dilanjutkan dengan mengeringkan gabah, menggiling menjadi padi dan pekerjaan pasca panen lainnya. Kesemuanya itu harus disegerakan agar bisa segera menanam lagi. Menanam lagi ini segera, bila berlambat-lambat tidak segera maka hukum alam yang akan menjawab. Kedatangan musim kemarau tidak bisa ditawar agar ditunda.
Bila dilihat dari hasil panen padi di lingkungan dimana saya tinggal, maka bisa dipastikan untuk desa saya swasembada beras sudah tercapai. Betapa tidak, hampir semua keluarga bertani padi, hasil panen padi pun bagus-bagus, lahan yang ditanami padi pun juga lebih banyak karena lahan yang dulunya ditanami jagung dan kedelai kini dialih fungsi sebagai lahan padi.
Saya dan Adik saya suatu kali berkelakar. Bila beras hasil panen ini dikonsumsi untuk keluarga sendiri, maka panen pada musim ini cukup untuk kebutuhan makan nasi selama 2 sampai 3 tahun. Ini tidak berlebihan. Bila keluarga saya yang terdiri 4 orang dalam satu hari menghabiskan beras 1.5 kg, dalam satu tahun hanya akan habis 540 kg saja. Panenan beras 2 ton akan cukup sampai 3 tahun. Hasil panen para tetangga tidak jauh berbeda. Bahkan yang panen lebih banyak ada banyak.
Kebutuhan nasi sudah cukup. Masalahnya adalah masalah keluarga petani tidak hanya nasi. Untuk makan orang butuh lauk pauk. Butuh kebutuhan-kebutuhan lain. Keluarga petani biasa akan menjual beras hasil panen mereka untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan itu. Menyisakan secukupnya untuk kebutuhan nasi sehari-hari sampai beberapa bulan ke depan.
Memang adalah masalah klasik, masalah laten yang turun temurun harga beras di pasar turun begitu musim panen tiba. Sebelum musim panen harga beras kualitas terendah di desa dimana saya tinggal adalah Rp 8.500 per kg. Kini sudah turun menjadi Rp 7.500 per kg. Harga gabah kering turun drastis menjadi Rp 4.000 per kg. Petani tidak punya pilihan lain. Kebutuhan di rumah tidak bisa menunggu. Betapa rendah harganya, petani hanya bisa pasrah.
Tidak usah menyalahkan ini adalah permainan para tengkulak. Tidak perlu mempertanyakan kehadiran negara pada saat harga beras petani turun. Lupakan teori koperasi dan Kopera Unit Desa yang ketika kita sekolah dulu diagungkan akan membeli harga gabah petani dengan harga yang baik, kemudian menampungnya, kemudian melepaskan lagi dengan takaran pas ke pasar. Persoalannya jauh lebih rumit.
Selain petani segera menjual beras untuk menopang kebutuhan sehari-hari mereka. Sebenarnya bila beras itu tidak dijual dalam jangka waktu tertentu, beras dan gabah akan menurun kualitasnya. Gabah yang sudah lama disimpan, bila kelak digiling menjadi beras, maka kualitas berasnya sudah menurun drastis, berubah warna dan tidak pulen. Meski tahu resiko ini, keluarga saya pun tetap memilih menyimpan gabah dan beras sebagai lumbung. Untuk jaga-jaga karena masih percaya masa paceklik bisa terjadi tanpa diduga. Lebih baik makan nasi kualitas rendah yang tidak enak daripada tidak bisa makan sama sekali. Begitu menurut simbok.
Gadah dan beras yang disimpan terlalu lama tidak saja menurun kualitasnya. Ini terjadi tahun lalu. Di desa saya tinggal dan desa-desa sekitarnya terjadi wabah. Gabah-gabah yang disimpan petani terserang wabah kutu. Gabah yang disimpan di lumbung akan rusak dalam waktu singkat.
Menurunnya kualitas beras dan ancaman serangan wabah kutu di gabah yang disimpan ini sebenarnya yang menarik perhatian saya. Saya tidak punya keahlian dan pengetahuan di bidang pasca panen. Tapi bila ada yang bisa menciptakan alat atau menemukan teknologi penyimpanan beras dan gabah agar dalam jangka waktu yang lama tidak menurun kualitasnya tentu akan menjadi penolong bagi para petani. Tentu teknologi dan alatnya harus memenuhi persyaratan: mudah dioperasikan, murah dioperasikan dan tidak mahal pengadopsiannya.
Bila masing-masing petani bisa mempunyai teknologi ini tentu mereka akan bisa menikmati harga jual beras dan gabah yang lebih bagus. Perlu diketahui satu atau dua bulan setelah masa panen, harga beras akan kembali mahal. Bila teknologi ini dipunyai, tentu petani akan bisa menikmati beras dengan sama enaknya pada akhir musim kemarau atau awal musim tanam dimana orang-orang di desa saya menyebutnya sebagai masa pailit.
Benar, bila teknologi ada pun tidak akan menyelesaikan semua masalah petani. 🙂
bila di biarkan terlalu lama berkutu ya. Aku pernah simpan beras merah padahal cuma sedikit tapi berkutu juga untungnya gak di campur penyimpanan dengan beras putih
Mestinya sudah ada teknologinya ya? Mgkn disimpan di ruang kedap udara?
Wah, membincangkan panen padi jadi teringat desaku di masa lalu. Aku tahunya harga beras biasa aku beli di warung sudah Rp. 10ribu yg paling jelek.
Ini butuh inovasi lagi, baik dari ilmu pertanian maupun teknologi ya…
bapak saya bergerak dibidang ini, dan jadi teringat rumah kalau baca postingan ini
wah keren mas…. setelah saya besar ini saya malah pengen jadi petani mas… produksi sendiri berjuang hidup sndri mandiri mas…. gak usah jadi kaya kalo udah ajdi petani itu.. rasanya hidup tgal terus ibadah dan berusaha mas…. saya selalu salut dengan para petani mas…. kalo aja saya bisa ikutan bertani dah suatu hari nanti… kalo gak di dunia yah moga di akhirat kelak…. petani itu keren ms bagi saya…. semoga teknologi pengembangan ke dalam teknologi lain sgra ada mas…. dan para tengkulak yang jahat itu sgra insyaf mas… kalo kita tahu cara kirim ekspor sndri mah tengkulak” jahat gak bakaln ada mas… hidup petani….
Asyik sekali, bisa memanen padi sendiri.
Hmm sekarang ini beras harganya mahal sih. Beberapa waktu lalu malah saat belanja ke supermarket, beras habis, tinggal yang paling mahal. Waduh ya gak ada pilihan.
Petani memang penolong masyarakat…