Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) bukanlah teknologi yang bisa memindahkan awan hujan dari suatu daerah ke daerah lain. Teknologi ini adalah tentang bagaimana agar suatu daerah yang mempunyai potensi awan hujan yang tinggi tidak terjadi hujan selebat potensi hujan yang sebenarnya,. Teknologi Modifikasi Cuaca akan mengurangi tingginya curah hujan saja.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi , berdasarkan apa yang saya baca, menggunakan dua teknik. Pertama: Teknik Powder, yaitu dengan menebar garam di awan sehingga pembentukan awan hujan bisa terjadi lebih cepat. Dengan cara ini diharapkan hujan sudah turun sebelum awan hujan sampai ke suatu tempat. Kedua: Teknik Flair atau Partikel Generator. Teknik kedua ini bertujuan untuk mengganggu pertumbuhan awan hujan. Atau istilahnya dimandulkan.
Menurut Heru Widodo, Kepala Unit Hujan Buatan BPPT, teknologi ini sudah pernah diterapkan untuk membantu penanganan banjir di Jakarta pada tahun 2013. Menurutnya curah hujan pada saat itu bisa diturunkan sampai 36%.
Terlepas dari pendekatan teknologi yang digunakan untuk mengurangi banjir di Jakarta, beberapa hari belakangan sampai pada pagi hari ini hujan lebat masih terus terjadi di Jakarta. Sejak bangun tidur tadi, saya sudah membaca di jejaring sosial dan di lini masa, orang-orang yang terus mengabarkan hujan, genangan, naik Trans Jakarta seolah sedang berjalan-jalan menikmati wisata bencana banjir, pesepeda motor yang melawan arus karena terhalang banjir dan lain-lain.
Memang, Jakarta yang belum membaik dari situasi hujan lebat dan banjir tidak serta merta bisa dijadikan alat untuk mengukur keberhasilan BPPT dalam menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca. Pun begitu tidak mudah untuk menjelaskan orang-orang yang mengatakan bahwa TMC yang diterapkan oleh BPPT merupakan kesombongan manusia untuk melawan kehendak Tuhan. Menurut orang-orang ini, hujan adalah takdir atau semacam kuasa Tuhan. Bukan wilayah manusia untuk mengaturnya. Manusia yang ingin memodifikasi hujan dikatakan ‘jumawa’.
Meskipun bila kita melihat ke belakang, keinginan manusia untuk memodifikasi cuaca ini sudah ada sejak jaman dulu. Misalnya di Jawa Tengah kita mengenal adanya Pawang Hujan, mitos bahwa dengan memasang sapu lidi di halaman rumah atau melempar celana dalam ke atap rumah akan bisa menolak hujan, dan lain-lain.
Saya sendiri berada di pihak yang menggunakan cara-cara yang keberhasilan (dan ketidak berhasilannya) terukur. 🙂
Melempar celana dalam ke atas atap rumah?
hauahahahha, gokil banget deh.
kalau disini orang-orang masih aman kayak nya karna daerah pesawahan masih banyak di sekitar Bukittinggi.
Pawang hujan di Jawa Tengah malah sering berhasil ya, Mas? Xixixi…
Tapi orang jaman dulu itu ampuh, memasang sapu saja bisa ‘menghalau’ hujan. Nah sekarang, pesawat hercules + 28 miliar saja ngga cukup hehe
Semoga bisa dipakai lagi tahun ini dan membantu untuk sedikit mengendalikan curah hujan ya Kang.. 🙂
Wah, cara2 seperti yg smpyn sebutkan juga ada didaerahku mas..sapu lidi plus katok (celana dalam) dipakai ritual khusus untuk mengatur hujan.
Tapi ngomong2 koq ada orang2an sawah pake baju ijo (ngayogjazz) ? numpang iklan.
Wakakak. Lempar celana dalem manten yang cewek yah. Nek celana dalemmu ampuh ga mas mencegah hujan Jakarta :p
DI daerah saya, melempar bawah ke atap rumah untuk menangkal hujan. Mujarab? Jarang sekali….
baru tahu ada mitos melempar celdam ke atap rumah buat nolak hujan 😛
mitosnya … 😀 masa sih ada yg gitu?
eh saya baru tahu ttg ini loh, thx 4 sharing