Bila Anda sekarang meminta saya memberi rekomendasi akan buku apa yang bagus ditambahkan ke dalam rak bacaan keluarga, maka saya langsung menunjuk novel “Ibuk” yang ditulis oleh Iwan Setyawan. Sebuah buku yang menceritakan perjuangan hidup keluarga yang bersahaja dengan cara yang sederhana. Buku ini ditulis dengan alur yang mudah dimengerti, dengan kalimat-kalimat sahaja sesahaja kehidupan yang dibawa buku ini.
Membaca buku ini saya menemukan kejujuran, sesuatu yang saat ini sangat sulit untuk didapatkan. Kejujuran itu berwujud bagaimana berbagi telur dadar, berbagi tempe goreng, berbagi empal di dalam keluarga bersahaja berkepala sopir angkot beranak lima.
Bayek Iwan Setyawan, satu-satunya anak lelaki paling manja dari keluarga sederhana yang tinggal di Gang Buntu kota Batu yang menuliskan perjuangan hidup mereka itu tidak sedikit pun malu menceritakan semuanya dengan jujur. Saya kira tidak ada yang Iwan tutup-tutupi. Masa lalu yang bagi kebanyakan orang disebut “kelam” itu mungkin lebih baik bila tidak banyak orang yang tahu. Kalau perlu dikubur dalam-dalam. Toh ia sendiri sekarang sudah memenuhi lebih dari cita-cita kecilnya mempunyai sebuah kamar sendiri untuk membangun ruang pribadinya, lebih dari itu sudah membahagiakan kedua orang tua dan keempat saudara perempuannya. Sudah tumbuh besar menjadi “orang”, menjadi direktur di Nielson di New York.
Iwan tidak demikian. Iwan lebih suka berdamai dengan bayek. Bisa benar-benar berdamai dengan bayek. Ia merekontruksi potret keluarga sahaja yang foto keluarga saja tidak pernah mereka punya. Jangankan foto keluarga, memikirkan uang sekolah saja sudah tidak mudah, begitu kata Ibuk, kata Bu Tinah.
Siang hari ini saya baru saja menyelesaikan membaca buku yang sebenarnya sudah sejak lama ingin saya baca. Ya karena “kahanan”, begitu saja. Ini adalah buku Iwan yang ketiga yang saya baca. Buku pertama adalah Melankoli kota Batu yang beberapa tahun yang lalu diberikan gratis oleh Iwan. Buku kedua, 9 Summer 10 Autumn yang membuat saya terpesona dengan gaya menulis Iwan yang sangat to the point dan jujur tetapi dengan alur yang menurut saya kreatiflah yang membuat saya ingin dan ingin sekali berkenalan dengan Ibu Ngatinah yang dibukukan dalam buku ketiganya “Ibuk” ini. Ngomong-ngomong Melankoli Kota Batu dan 9 Summer 10 Autumn juga sangat saya rekomendasikan untuk rak bacaan keluarga Anda. 🙂
Buku ini dibuka dengan mengajak kita untuk merenungkan arti penting pendidikan bagi manusia. Apa yang bisa dilakukan oleh seorang Tinah putus sekolah. Anak perempuan yang sedang dihadapkan kenyataan tidak bisa menamatkan Sekolah Dasar.
Memasuki bab 2 buku ini saya mulai mendapatkan “ibuk” dituliskan dengan cara yang berbeda dengan novel terdahulu, 9 Summer 10 Autumn. Bab-bab awal buku ini bagi saya membawakan keriangan dalam kesahajaan hidup. Saya pikir ini kisah hidup yang ditulis dengan bumbu novel. Sampai beberapa bab berikutnya pelan-pelan saya merasa dibawa kedalam suatu kenyataan hidup yang sebenarnya. Kenyataan bahwa kita memang harus berpijak pada sesuatu yang tidak sempurna, sebagaimana harus berpijakan sepatu yang sudah jebol-jebol, yang mana lem sudah sulit membuat rekat kembali. Namun tidak seketika itu juga bisa membeli sepatu pengganti baru. Tetapi semuanya harus tetap berdiri, harus terus berjalan. Life must go on. Entah bagaimana segala cara halal digunakan Ibuk untuk menopangnya.
Kita semua mungkin tahu, kita semua mungkin punya pengalaman bagaimana hidup bersama dengan satu, dua atau banyak saudara dalam sebuah keluarga. Ketidak akuran antar sesesama anak saudara dalam sebuah keluarga lumrah terjadi. Yang bagusnya, mungkin karena hebatnya ibuk Tinah, hal ini tidak terjadi pada keluarga pak Abdul Hasyim. Saya kira ini adalah buah kejujuran yang ditanamkan ibuk dalam keluarga meskipun hal ini tidak disebutkan dalam buku. Begitu juga gaya menulis bersahaja penuh kejujuran yang digunakan Iwan di sepanjang buku ini.
Ketercapaian cita-cita bayek untuk membahagiakan keluarga ibuk dalam novel ini tidak digambarkan sebagaimana seorang bayek dengan aksi super hero, yang single fighter. Kesuksesan mereka adalah sukses bersama. Gandengan tangan yang erat ibuk, bapak, bayek, isa, dan ketiga saudaranya perempuan yang lain. Gandengan tangan itu membuat mereka kokoh terpaan badai untuk Berlayar dan Terus Berlayar. 🙂
Buku ini memang berjudul “ibuk”, dan menceritakan peran vital ibuk dalam bahtera pengarung kehidupan, namun menurut saya fokus buku ini lebih banyak mengekspos bayek sendiri. Ibarat film, bayek adalah aktor utamanya, dan ibuk seolah tampil sebagai best supporting actress. hihi. Tapi tidak masalah. Ini tidak akan mengurangi kenyamanan mengikuti pesan moral tentang arti sebuah perjuangan hidup yang mengalir.
Bila Anda belum membaca “ibuk”, segeralah ke toko buku dan bawalah sebagai bacaan Anda dan keluarga di rumah. Jangan menunda-nunda seperti saya. Karena cinta tidak bisa menunggu. Segeralah mencium ibu. Jangan sampai sekali waktu pun lupa untuk mencintai ibuk.
Cinta saya untuk simbok selalu #rauwis uwis. 🙂 ❤
Di Gramedia ada, atau harus beli online nih, Mas?
ini bukan buku baru kak. di toko-toko buku ada. buku ini diterbitkan oleh gramedia 🙂
segera meluncur ke bukukita 🙂
jadi kangen umi deh..
boleh juga di rekomndasi bukunya
nengok dulu di toko buku..sapa tau tertarik beli 😀
Judulnya keren ” Ibuk” bukan “Ibu”
Mungkin karena penulis memanggil ibunya dengan sebutan Ibuk.. bukan ibu
sama kek aku..
kadan Ibuk, kadang Buk-e
Indonesia bangeeett
nikmatnya jadi pustakawan, sebelum dibaca pemustaka bisa mbaca dulu. sembari memeperhatikan pemustaka yang mbaca #Ibuk nya mas iwan, tidak sedikit pemustaka yang meneteskan air mata atau bilang “bikin nangis”
i ❤ simbok
Aku juga udah sering denger buku ini. Ok sip
Penasaran… pengen punya novelnya nih
Iwan menambahkan film ini bukanlah film yang bercerita tentang mimpi tapi tetang keluarga. Bagaimana suatu keluarga bisa bergandengan tangan menembus badai kehidupan.
Iwan tumbuh besar di daerah Batu, Malang. Di tengah keluarga yang memiliki berbagai keterbatasan namun justru memiliki kehangatan tidak terbatas yang tidak dapat dibeli dengan kekayaan. Kehangatan dan perjuangan bersama sebagai satu keluarga itulah yang saya rasa membuat jiwanya terasah. Kepekaan terhadap indahnya kehidupan, determinasi untuk melakukan hanya yang terbaik, kesabaran dan keihklasan dalam mencapai tujuan. Semua berawal dari kehangatan di sebuah rumah mungil di Batu, Malang.
Aha! Saya pernah baca kisah iwan yg akhirnya sukses sebagai direktur di new york ini.. Dalam satu keluarga, dia laki2 sendiri ya kalau ga salah? Anak supir angkot, tp dia ga malu dengan keadaannya, malah jadi pemacu untuk sukses. Bagus dan inspiring bgt! Saya baca di tabloid, tp baru tau klo judul bukunya ibuk, dan dia udh nulis 3 buku ya? Hebat… Salam kenal 🙂