Koran Tempo, beberapa hari yang lalu, menulis sentimen negatif tentang Google+, layanan jejaring sosial milik Google. Sentimen negatif itu berangkat dari minimnya keaktifan para petinggi Google dalam mengisi konten di jejaring sosial produk mereka itu.
Saya tidak membaca sendiri tulisan bernada sentimen di Koran Tempo itu. Saya hanya tahu dari membaca posting/update Mas Ikhlasul Amal di account Google+ nya diΒ https://plus.google.com/100145856129045595138/posts/DTrumJSLrct
Dan saya jadi langsung teringat sebuah artikel yang diterbitkan pada tanggal 5 Juni 2009 oleh Marshall Kirkpatrick yang memuat penjelasan dari co-founder twitter, Jack Dorsey, tentang banyaknya pertanyaan kenapa staff twitter malah jarang nge-tweet/twitter-an. Artikel Mas Marshall Kirkpatrick sekarang masih bisa dibaca di :
http://www.readwriteweb.com/archives/twitters_staff_may_not_use_twitter_like_you_do_tha.php
Dalam artikel itu saya cukup terkesan dengan apa kata Mas Dorsey berikut:
Twitter co-founder, Jack Dorsey, said this week that he hopes the service willΒ someday be just like electricity, something everyone uses but few feel the need to talk about. To follow that analogy, if you were someone who used a heavy duty washer and dryer in your home and found out that the electric company didn’t employ people who regularly used any appliances bigger than a toaster – wouldn’t you be a little concerned about the long term viability of your power supply?
Dalam konteks ini petinggi Google+ apabila ditanya langsung saya kira akan memberikan jawab dengan analogi yang sama. Atau analogi yang lebih cerdas lagi? hehehe
PS:
Untuk menemukan artikel yang ditulis Mas Marshall ini, saya tadi googling dengan kata kunci “twitter employees do not tweet often” Jadi sebenarnya saya tidak pernah mengingat nama Marshall Kirkpatrick dan Jack Dorsey sebelumnya. π
nah..nanggung banget mas pembahasannya..tidak masuk pada inti…dan saya belum bisa menangkap isi artikel secara utuh…
mohon maaf atas kebodohan saya…
Sepertinya penulis memang sengaja membuat seperti plot terbuka, Mas Widodo. Artinya pembaca biar menebak-nebak atau menyimpulkan sendiri. Bukan begitu, Mas Jarwadi? π
arah dari tulisan saya kali ini sebenarnya sederhana, kurang lebih, tidak relevan bila keaktifan staff google+ dipakai untuk menilai penetrasi dari google+ di dunia social media π
Artikel dari Koran Tempo tsb ada versi onlinenya nggak?
saya juga belum nemu artikel yang dipost mas Ikhlasul Amal dalam versi online π coba tanya mas Iklhasul Amal …
Analogi yang bagus. Contoh lain adalah beberapa perempuan di desa saya yang bekerja sebagai pelinting rokok untuk salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia, mereka tetap melinting rokok meski mereka sendiri bukan perokok. π
Sounds interesting ya. Never think this before. Lanjut browsing tentang hal ini π
hmmm…. begitu ya.. π
Kalau petinggi Google sibuk main Google+, yang menjamin Google+ bisa lancar diakses siapa mas wartawan? Ada-ada saja kalau nulis berita.
menarik karena bisa membuat orang-orang berpikir dari sudut pandang lain π
π sederhana tulisannya. Bg saya ini tulisan enak dibaca. Mbahas analisa Koran Tempo tanpa nyinyir yg lebai. Liat bionya jd tambah double lg thumb saya, hehe.
Sukses, Mas. Keep up the good work.
Ini sempat dibahas di forum Linux, tapi saya lupa di mana π – entahlah Google+ dan Androids mungkin bukan produk Google yang bisa menarik minat saya dalam jangka waktu yang dekat :).
hihi, analogi yg tepat..
kalau orgnya Google+ mainan G+ terus, nanti gak berkembang dong..:D