Dalam cerita-cerita sejarah perjuangan bangsa mengusir penjajah yang saya baca dan dengar sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, ada satu hal menarik yang sampai sekarang tetap terdengar relevan dan tidak pernah usang.
Kebanyakan penyebab kekalahan perjuangan para pahlawan bukan karena musuh yang lebih kuat dan tangguh. Akan tetapi dalam tiap kisah itu kerap kali diceritakan ada sosok pribumi yang berkhianat. Ada oknum pedagang pribumi yang takut kepentingan bisnisnya terganggu. Ada Ki Lurah yang lebih suka hidup menor menjadi antek Belanda sehingga melaporkan keberadaan para pejuang yang sedang berada di suatu desa. dll
Beranjak duduk di bangku SMA, tentu saja pada jaman SMA saya, Belanda sudah 50 tahun meninggalkan Indonesia, praktek ki Lurah menjadi antek kaum penjajah malah terang-terangan saya lihat dengan mata kepala sendiri. Yang mana pada saat itu, sekitar tahun 1997, Ki Lurah memanggil beberapa pemuda yang berkampanye bukan untuk the ruling party, berkampanye bukan untuk Partai Beringin yang pada saat itu secara munafik tidak mau disebut sebagai Partai Politik. Apalagi kalau bukan GOLKAR si nomor 2 yang bernaung di bawah keangkeran pohon beringin.
Ki Lurah pada 50 tahun Indonesia tidak mengirim upeti pada Belanda tetapi menghamba pada cara-cara penjajah untuk menindas bangsa sendiri. 😀
Eksistensi penjajah saat ini tidak perlu dilihat dari Bendera Merah Putih Biru, Bendera Matahari Terbit atau Bendera Biru berlogo Bintang Bersinar Tiga yang berkibar di negeri ini. Pun, jangan anggap berkibarnya Bendera Merah Putih sampai ke pelosok negeri sebagai indikator kalau kita telah Merdeka seutuhnya.
Bentuk penjajahan dapat dilihat sebagai jalan – jalan desa yang rusak dimana – mana, banyaknya pungli, pelayanan publik yang lelet, mengurus Kartu Keluarga/C1 yang tidak selesai secara semestinya, subsidi yang tidak terasakan oleh masyarakat miskin, katanya bantuan tapi potong sana potong sini potong bebek angsa :D, pejabat yang tidak tersentuh hukum, dll.
Nampaknya, kini, pada Indonesia 66, musuh terkuat dan paling julig dari kemerdekaan masih sama, yaitu dari bangsa sendiri. Masih Ki Lurah, Ki Demang, Ki Jogoboyo dan Ki Ki yang lain yang tanpa malu menyematkan gelar koruptor di depan nama pemberian orang tuanya.
Buat apa pada hari ini kita menjemur kepala di bawah terik matahari berupacara bendera bila kita tidak pernah secara serius memberantas Ki Ki Ki Koruptor yang senantiasa menggerogoti sendi – sendi bangsa ini?
Sekarang teh kita masih dijajah. Oleh para pejabat berkopiah…
Setuju mas, para ki ki itu masih berkeliaran di sekitar kita, justru merekalah para penjajah yang sebenarnya.
Musuk kita saat ini ya para tikus-tikus berdasi 😀
Ah…korupsi, kolusi dan nepotisme, musuh negara saat ini 🙂
Dan ternyata, musuh sekarang lebih sulit diberantas. Suap itu masalah kecil kalau hanya memberi sebatang cokelat. Nah, kalau sebatang emas? Apa kita masih senyum?
benar! mewujudkan mimpi pahlawan kita harus dengan aksi bukan retorika belaka! hentikan segera pencitraan! sudah busuk mau ditutup-tutupi apa lagi *lho malah demo????*
saya keberatan panggilan Ki kok dikonotasikan yang negatif2, kaya’nya istilah yang tepat adalah Den bagus Lurah, den Bagus Jogoboyo dll. Penyematan panggilan merupakan penghormatan pada masyarakat jawa, tentu saja untuk beliau2 yang baik budi pekertinya.
Nah, lumrah-lah dulu begitu, lumrah juga sekarang begitu, negeri ini seakan melumrahkan segalanya :D.
Ki Korup…Ki Korup …Ki Korup memang betul2 extraordinary criminal kok, bukan Ki Teroris itu. Urat syaraf malunya sudah dipotong/dioperasi, sehingga tidak mampu dan mau mengendalikan hawanafsunya. Nafsu aluamah, serakah, dapat satu cuil yang barokah kepingin sak bongkah yang bikin bubrah. ‘Mbuh kapan negeri ini akan berubah, rakyat kecil hanya bisa pasrah sumarah kersaning Gusti ALLAH.