Awal bulan Maret lalu, saya sekilas membaca nama Muhammad Yunus muncul di timeline twitter. Muhamad Yunus dipecat dari Grameen Bank, begitu salah satu twit. Karena Grameen Bank bangkrut? Karena kepercayaan Yunus yang berlebihan terhadap orang – orang miskin di Bangladesh?
Baru tadi malam saya sempat, eh ingat untuk mencari tahu penasaran saya akan berhentinya Muhamad Yunus dari Grameen Bank yang ia dirikan di Bangladesh pada tanggal 2 Oktober 1983. Akhirnya saya mendapatkan jawaban tentang Yunus dari sini. Dari halaman berita BBC News Indonesia. Menurut BBC News, Muhamad Yunus diberhentikan dari Direktur Pelaksana Grameen Bank karena menurut Undang Undang di Bangladesh, usia wajib pensiun adalah 60 tahun, sedangkan Yunus berumur 70 tahun. Sudah sangat jompo untuk ukuran pejabat di Bangladesh. Spekulasi lain yang dimuat di BBC News menuliskan pemberhentian ini akibat Yunus berseberangan dengan pemerintahan Liga Awani. Dia pecah dengan PM Sheikh Hasina tahun 2007 ketika berusaha membentuk partai baru. Saham pemerintah sebesar 25% di Grameen Bank cukup untuk mengistirahatkan Profesor Muhamad Yunus.
Untuk mengenal lebih Prof Muhamad Yunus bisa dibaca di halaman wiki di sini.
Tidak penting untuk berpanjang lebar membahas kenapa Yunus berhenti dari Manajemen Grameen Bank. Saya lebih tertarik dengan ide – ide Yunus untuk membebaskan rakyat Bangladesh yang pada saat itu sangat miskin dengan hanya bermodal kemampuan untuk mempercayai orang – orang. Khususnya mempercayai orang – orang miskin untuk diberikan pinjaman mikro, kalau tidak boleh disebut nano 😀 Berikut ini adalah cerita Muhamad Yunus yang saya ambil dari buku The 8th Habits yang ditulis oleh Sthepen R Covey.
[ WARNING: Posting ini sangat panjang, jadi bila tidak tertarik silahkan di skip saja 🙂 ]
Semua ini bermula 25 tahun yang lalu. Saya mengajar ekonomi di salah satu universitas di Bangladesh. Negeri ini dilanda kelaparan. Saya merasa ngeri sekali. Di situlah saya, mengajar teori ekonomi yang muluk – muluk di ruang kelas dengan antusiasme seorang doktor yang baru lulus dari Amerika Serikat. Tetapi, begitu selesai mengajar, saya keluar kelas dan langsung melihat kerangka hidup berkeliaran di sekeliling saya, yaitu orang – orang yang sekarat, sedang menunggu ajal.
Saya merasa bahwa apa yang telah saya pelajari, apa pun yang saya ajarkan, hanya suatu khayalan, yang tak punya arti bagi kehidupan orang – orang itu. Karena itu, saya mencoba mengetahui bagaimana orang – orang yang tinggal di kampung sebelah universitas kami itu menjalankan kehidupan mereka. Saya ingin tahu apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan sebagai sesama manusia, untuk menunda atau menghentikan kematian, walaupun hanya menyangkut satu orang saja. Saya meninggalkan pola pandang seekor burung, yang memungkinkan kita untuk melihat segala-galanya dari atas, dari langit. Saya mulai mengenakan pandangan mata seekor cacing, yang berusaha mengetahui apa saja yang terpapar persis di depan mata –mencium baunya, menyentuhnya dan melihat apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan.
Satu kejadian membelokan saya ke arah yang serba baru. Saya bertemu dengan seorang wanita yang membuat dingklik dari bambu. Setelah panjang lebar berbicara dengannya, saya menemukan bahwa sehari ibu itu hanya menghasilkan dua sen dollar Amerika. Saya tak bisa percaya bahwa ada seseorang yang dapat bekerja begitu keras, dan membuat dingklik bambu dengan begitu indah, dan hanya mendapatkan penghasilan begitu kecil. Dia menjelaskan bahwa karena tidak punya uang untuk membeli bambu, dia harus meminjamnya dari seorang pedagang dan orang itu memaksakan sebuah aturan bahwa ibu tadi harus menjual dingklik buatannya hanya kepadanya, dengan harga yang ditentukan oleh pedagang tadi.
Itu menjelaskan kepada ibu tadi hanya mendapat penghasilan dua sen per hari. Dengan demikian, wanita itu sebenarnya jelas menjadi pekerja yang terikat oleh pedagang tersebut. Sebenarnya berapa harga bambu itu? Dia bilang, “Oh, sekitar 20 sen; atau 25 sen untuk yang bagus sekali.” Saya berpikir, “Ada orang yang menderita hanya karena tidak punya uang dua puluh sen, dan tak ada sesuatu yang bisa dilakukan?” Nurani saya gemuruh dengan suatu pergulatan apakah saya harus memberinya dua puluh sen, tetapi kemudian saya sampai pada gagasan lain –Saya akan membuat daftar orang – orang yang memerlukan uang seperti itu. Saya mengajak salah seorang mahasiswa saya dan kami keliling kampung selama beberapa hari. Akhirnya kami memiliki daftar empat puluh dua orang seperti wanita tadi. Ketika saya menjumlahkan total uang yang mereka perlukan, saya mendapatkan kejutan yang paling besar dalam hidup saya: jumlah total uang itu hanya 27 dolar! Pada saat itu saya merasa malu pada diri sendiri, karena menjadi bagian dari suatu masyarakat yang tidak bisa menyediakan uang sejumlah dua puluh tujuh dolar, bagi empat puluh dua orang yang memiliki keahlian dan semangat untuk kerja keras.
Untuk menghapus rasa malu itu, saya mengambil uang dari kantong saya, dan memberikannya pada mahasiswa tadi. Saya katakan “Ambilah uang ini dan berikan kepada ke empat puluh dua orang yang kami temui itu. Katakan kepada mereka bahwa uang ini adalah pinjaman, dan mereka dapat membayarkanya kembali kepadaku kapan saja mereka bisa. Nah, sementara itu, mereka dapat menjual produk mereka kepada siapapun yang dapat memberikan bayaran terbaik.”
Setelah menerima uang itu mereka menjadi sungguh bersemangat. Melihat itu, saya jadi berpikir, “Apakah yang harus kulakukan sekarang?” Saya berpikir mengenai cabang bank yang ada di kampus universitas kami, dan saya menemui manajernya, serta menyarankan agar dia meminjamkan uang kepada orang – orang yang telah kami temui di kampung tadi. Dia kaget, seperti jatuh dari langit! Katanya, “Anda gila apa? Itu tak mungkin. Bagaimana kami meminjamkan uang kepada orang – orang miskin? Mereka tidak layak menerima kredit.”
Saya membujuknya dan bilang,”Sekurang – kurangnya cobalah, siapa tahu… toh uang yang terlibat hanya sedikit.”
Katanya, “Tidak akan. Aturan kami tidak memungkinkan hal itu. Mereka tidak dapat memberi jaminan, dan jumlah sekecil itu juga tidak layak dijadikan sebagai pinjaman.”
Dia menyarankan kepada saya untuk menemuhi pejabat yang lebih tinggi, di hierarki perbankan di Bangladesh.
Saya mengikuti sarannya dan menemui orang yang bertugas pada perkreditan. Semua orang mengatakan hal yang sama kepada saya. Setelah beberapa hari berkeliling mencari orang yang layak diajak berbicara, akhirnya saya menawarkan diri sebagai penjamin. “Saya akan menjadi penjamin semua pinjaman itu. Akan saya tanda tangai apapun yang harus ditanda tangani. Setelah mendapat uangnya, saya akan menyerahkanya kepada orang – orang yang saya kehendaki.”
Jadi, begitulah mulainya. Mereka terus menerus mengingatkan saya bahwa orang – orang miskin yang menerima uang saya itu tidak akan mengembalikannya. Saya katakan,”Akan saya coba.” Dan herannya, mereka mengembalikan setiap sen kepada saya. Saya jadi amat bersemangat, dan kembali lagi kepada manajer bank tadi, “Lihat mereka mengembalikan pinjaman mereka; jadi tidak bakal ada masalah!”
Tetapi dia bilang, “Ah jangan mudah tertipu. Mereka sedang membodohi anda. Coba saja, mereka pasti akan segera meminjam uang yang lebih besar, dan tak akan pernah mengembalikannya kepada Anda.”
Nah, saya pinjamkan uang yang lebih besar, dan pada saatnya mereka mengembalikan pinjaman mereka. Saya ceritakan hal ini kepada manajer tadi, tapi katanya, “Yah barangkali Anda bisa melakukan hal ini di satu desa, tapi kalau Anda melakukannya untuk dua desa, ini tidak akan jalan.”
Saya segera melakukannya untuk dua desa –dan ternyata jalan. Begitulah. Akhirnya seakan – akan terjadi pergulatan antara diri saya dengan manajer bank tadi, juga dengan sejawatnya di struktural yang lebih tinggi. Mereka terus mengatakan bahwa itu tidak akan jalan untuk jumlah yang lebih besar, misalnya lima desa, dan ternyata tiap orang mengembalikan pinjamannya. Orang – orang bank tadi masih saja tidak mau menyerah. Mereka bilang, “Sepuluh desa. Lima puluh desa. Seratus desa.”
Jadilah semacam perlombaan di antara saya dan mereka. Setiap kali saya datang kepada mereka, membawa hasil yang tentu tidak mereka tolak, karena uang itu adalah uang mereka, tetapi tetap saja mereka menolak ide saya, karena mereka dididik dengan pemahaman bahwa orang miskin tidak layak untuk mendapatkan pinjaman. Menurut mereka, orang miskin tidak bisa diandalkan. Untungnya, saya tidak dididik seperti itu, sehingga saya bisa mempercayai apa saja yang bisa saya lihat dan temukan, ketika hal – hal menyatakan dirinya sendiri. Tetapi pikiran dan mata orang – orang bank tadi dibutakan oleh pengetahuan yang mereka miliki.
Akhirnya muncul pikiran, kenapa saya harus berusaha membuat mereka yakin? Saya sendiri amat percaya bahwa orang miskin dapat mengambil pinjaman dan membayarnya kembali. Kenapa tidak mendirikan bank sendiri? Gagasan ini membuat saya bersemangat, maka saya menulis proposal dan menghadap pemerintah untuk mendapatkan ijin dan mendirikan bank. Saya memerlukan waktu dua tahun untuk meyakinkan pemerintah.
Akhirnya, pada tanggal 2 Oktober 1983 kami menjadi sebuah bank –bank resmi dan independen. Betapa bersemangatnya kami semua, ketika kami memiliki bank kami sendiri, dan kami dapat melakukan ekspansi sekehendak kami. Dan nyatanya kami terus berkembang.
***
Grameen Bank kini bekerja di lebih dari 46.000 desa di Bangladesh, melalui 1.267 cabangnya, dengan lebih dari 12.000 anggota staf. Mereka dapat meminjamkan lebih dari US$ 4,5 milyar, dalam bentuk pinjaman yang berkisar antara 12 sampai 15 dolar, dengan rata – ratanya dibawah $ 200. Setiap tahunnya mereka meminjamkan setengah milyar dollar.
***
Memang apa yang luar biasa dari Yunus adalah kemampuan dan semangatnya untuk mempercayai orang – orang miskin di tengah sistem dan mekanisme perbankan yang sama sekali tidak punya rasa percaya terhadap kejujuran dan kemampuan orang – orang miskin untuk mengembalikan pinjaman. Menurut saya pun kepercayaan Yunus ini tidak mudah untuk di copy paste diterapkan di lingkungan dimana saya tinggal. Apabila Pak Suradi, Ketua Kelompok Tani Jaya di kampung dimana saya tinggal, membaca tulisan ini, dia akan segera mempunyai opini yang berseberangan karena pengalamannya pusing tujuh keliling mengelola pinjaman di tengah masyarakat yang kurang jujur.
sngguh mulia hati prof muhamad yunus…
coba di negara kita orang spt dia, pasti sudah banyak masyarakat yang keluar dari jurang kemiskinan….
I love your post
Belajar dari prof muhammad yunus akan sangat bermanfaat
Pelajaran yang berharga 🙂 Lantas gimana dengan bank century kita yah
Bisa diibaratkan dengan BRI enggak ya, Mas?
Apakah Grameen Bank itu sebuah BUMN?
Kita bisa mencontohnya kok, Mas..
Suatu saat nanti..
Thanks untuk postingnya.
Sekedar share, Bapak saya bekerja di sebuah Bank, di bagian kredit. Dan dari pengamatan Bapak saya, yang kreditnya lancar bayar justru adalah para pedagang2 pasar, pengusaha-pengusaha kecil gitu lah. Mereka lebih disiplin membayar daripada pengusaha yang pinjem kreditnya lebih besar. Well, ini bukan generalisasi, tapi terkait dengan projectnya Pak Yunus ini, bahwa pemberian loan kepada masyarakat kecil / pengusaha kecil (tentunya dengan bunga seringan mungkin, atau malah tanpa bunga) akan saling memberikan manfaat dalam menghidupkan geliat perekonomian.
Amien.
salah satu poin yg menurut saya penting, yg saya pelajari dari m.yunus: tidak mengasihani dan tidak memanjakan orang miskin melainkan mendorong utk berdaya…
kira2 10th lalu saya pernah mengembangkan duplikasi grameen di desa saya… berhasil karena disiplin keras… begitu saya alih urus ke orang lain yg agak lembek, beberapa tahun kemudian bubar jalan!