Bisakah Santun Berkendara di Jalan Raya?

13718766_10209319386048978_2964272318818173824_n

Topik yang dari tahun ke tahun selalu mewarnai cerita lebaran di desa kami adalah kisah heroik yang dibawa kawan-kawan, keluarga dan para handai taulan menembus kemacetan untuk menuntaskan perjalanan ritualnya, mudik ke kampung halaman tercinta.

Seperti kita ketahui bersama tahun mudik lebaran kali ini titik kemacetan parah baru dicatatkan di pintu tol keluar Brebes. Kemudian diparodikan dengan istilah macet Brexit (baca: Brebes Exit). Merupakan istilah yang tercipta karena numpang keren dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang kemudian populer dengan Brexit (British Exit).

Bagian kisah mudik lain yang diceritakan dengan heroik oleh salah seorang kawan lama saya adalah bagaimana di jalan menghadapi pengendara sepeda motor yang ugal-ugalan. Pemotor-pemotor yang asal menyalip, asal memotong jalan dan abai terhadap rambu-rambu lalu lintas. Sungguh perilaku di jalan yang tidak beradap.

Bagian ini membuat saya mengernyitkan dahi. Saya pun merespon cerita kawan saya ini dengan pertanyaan.

“Apakah ketika sampean dulu belum punya mobil, masih mudik berkendarakan sepeda motor bisa cukup santun di jalan, tidak ugal-ugalan seperti pemotor yang sampean temui itu?”

Alih-alih menjawab pertanyaan saya, teman saya itu malah tertawa kecil. Tahu apa maksudnya? Dengan bahasa lain, teman saya itu mengakui bahwa perilaku tak beradab itu juga ia lakukan dulu ketika ia mudik dengan mengendarai sepeda motor. Saya sendiri masih ingat bagaimana teman saya itu mudik dari Jakarta dengan memboncengkan satu istri, satu anak kecil dan banyak barang bawaan. Saya masih ingat cerita dia dulu ketika ia menabrak kendaraan lain dan sederet keugal-ugalan lain yang saat itu ia ceritakan dengan penuh kebanggaan.

Saya sendiri termasuk jenis orang yang geram bila di jalan banyak menemui pemotor yang ugal-ugalan. Pemotor yang asal menikung, asal memotong jalan, abai rambu keselamatan, menerabas lampu lalu lintas, suka mengklakson sembarang ketika lampu merah masih beberapa detik, asal berbelok tanpa menyalakan lampu sein, dan sejenisnya.

Beda antara saya dengan teman yang saya ceritakan di atas tadi adalah: bila teman saya itu dulunya adalah pemotor yang kini menjadi pemobil, saya adalah pengguna angkutan umum yang kini karena satu dan lain hal memerlukan sepeda motor untuk tiba ke suatu tujuan lebih cepat. Teman saya menggunakan mobil pribadi karena secara ekonomi ia naik kasta. Saya beralih menggunakan sepeda motor karena fasilitas transportasi publik yang makin tidak handal dan saya sering kali harus mencari alternatif untuk menghindari keruwetan jalan.

Merasakan sendiri betapa kesal dan jengkelnya menghadapi pengendara yang ugal-ugalan, baik itu pengendara mobil maupun pengendara sepeda motor, maka ketika berkesempatan memegang kemudi, saya menantang diri sendiri. Menantang diri apakah saya  memang bisa menjadi pengendara yang santun. Atau menjadi pecundang dengan berkendara secara ugal-ugalan dan tak beradab. Seperti mereka yang saya kutuk dan saya pertanyakan kapasitas otak dan jumlah nyawa serep yang ia punya.

Salah satu penantangan mental diri ini saya berikan Selasa (12/07) lalu. Ketika saya mengantarkan adik saya untuk mengikuti wawancara kerja di Kupu Kupu Malam Autofashion yang beralamatkan di Jalan Magelang Km 4.5 Yogyakarta. Kira-kira sejauh 50 km dari rumah dimana kami tinggal.

Berkendara dengan santun dimulai dari hati. Dari niat baik. Kemudian direncanakan. Tantangan berikutnya pasti ada dijalan. Jalan boleh naik turun berkelok-kelok, namun niat baik harus selalu diluruskan dan dijaga arahnya.

Untuk mengantisipasi kemacetan yang tak terduga, untuk perjalanan sejauh 50 km kami mulai kira-kira pukul 8 pagi. Saya ingin tiba di Jalan Magelang kira-kira pukul 09:30. Agar masih ada waktu untuk sekedar minum cokelat panas sebelum wawancara tiba.

13737439_10209342040575327_5190009280205317750_o

Memilih rute terbaik. Jogja musim liburan lebaran yang sulit dipisahkan dari kemacetan cukup membuat bingung. Apakah saya akan ke Jalan Magelang menembus tengah kota atau melingkar melewati ring road utara. Untungnya ini jalan media sosial. Saya akhirnya memilih memutari ring road utara mengikuti kebanyakan saran yang diberikan anggota komunitas Info Cegatan Jogja (ICJ) di Facebook.

Selama mengendarai sepeda motor menuju ke Kupu Kupu Malam Auto Fashion ada sejumlah tantangan yang saya temukan. Tantangan terberat berupa ketika saya persih di belakang bus AKAP (Antar Kota Antar Propinsi), bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) dan truk-truk pengangkut batu dan pasir.

Di belakang kendaran jenis ini jelas menghambat laju saya selain saya terpapar asap berbahaya yang tersembur dari knalpot mesin usang mereka. Di jalan Jogja Wonosari yang banyak tikungan mendahului bukan hal mudah bagi pengendara santun. Untuk mendahului saya harus menunggu sampai menemukan garis putih putus-putus di jalan. Saya tidak akan mendahului ketika di jalan ada garis putih tanpa putus. Meski kalau saya nekad saya tidak akan ketahuan dan ditilang oleh Polisi Lalu Lintas.

Ujian kesantunan terbesar terletak di tiap lampu APILL (Alat Pengatur Isyarat Lalu Lintas). Di sini ujian berupa lampu kuning. Pengendara biasanya malah adu cepat ketika lampu kuning sudah menyala. Lampu merah masih beberapa detik pengendara tak beradab sudah melaku dan asal main klakson. Ini yang membuat saya was-was ketika saya berada di urutan paling depan di tiap lampu APILL. Saya yang ingin patuh aturan seringkali was-was ditabrak oleh pengendara di belakang saya. Di tiap lampu APILL adalah pemandangan wajar melihat pemotor menghabiskan bau jalan sebelah kanan, yang seharusnya menjadi hak pengendara dari arah sebaliknya. Saya tidak ingin seperti itu.

Tikungan, perempatan dan pertigaan terutama yang tidak terpasang lampu APILL adalah salah satu tempat berbahaya. Di sini pengendara harus ekstra waspada. Ada banyak orang yang sembarangan berbelok tanpa terlebih dahulu menyalakan lampu sein. Tiba-tiba nyelonong.

Ternyata bila dituliskan ada banyak sekali tantangan yang tidak mudah bagi kita agar bisa santun berkendara di jalan raya. Saya menuliskan sebagian kecil saja sudah cape, melelahkan.

Sebenarnya apa yang paling mendorong orang untuk tidak santun berkendara di jalan raya. Ingin cepat sampai? Biar kelihatan gagah? (Ini rasanya tidak juga) atau apa? Mau mencari alasan-alasan kenapa kita menjadi suka mengemudi secara ugal-ugalan?

Kalau mau mencari alasan-alasan, mungkin lebih bermanfaat mencari alasan kenapa kita harus mengemudi secara santun, secara beradab. Alasan-alasan yang sudah saya temukan adalah: demi keselamatan diri sendiri dan orang lain, mencegah kemacetan dan memperlancar lalu lintas itu sendiri. (bila semua berebut cepat dan dahulu ujung-ujungnya malah macet). Nasionalisme? Peraturan dan Rambu-rambu lalu lintas adalah instrumen buatan negara kita, ada simbol simbol kedaulatan negara di sana. Bila kita sendiri tidak mau menghormati simbol-simbol negara kita ya jangan harap negara lain menghormati kita. hehe.

Apa lagi? Pastinya mari berkendara dengan santun, berhenti mengutuk dan mencela dan mari mulai dari diri sendiri.

Iklan

3 komentar di “Bisakah Santun Berkendara di Jalan Raya?

  1. Mungkin ini bias. Saya merasa saya termasuk pengemudi santun. Bukannya apa-apa lebih baik saya hati-hati di jalan daripada kenapa-kenapa. Kalau melihat di jalan raya itu, aduh, saya jadi stres sendiri.

  2. Ingin cepat sampai dengan gagah Om 🙂

    Saya tidak terlalu mempermasalahkan mereka yang mengemudi motor dengan cepat asal sigap (bukan ugal-ugalan), itu lebih baik saya rasa daripada yang mengendara motor super lambat, terus ada di tengah-tengah jalur.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s