Seorang teman kampung saya telah lama merantau ke Jakarta. Teman saya di Jakarta menekuni pekerjaan di bidang pengerjaan plafon. Ia menekuni pekerjaannya mulai dari sebagai pembantu tukang, menjadi seorang tukang, sampai sekarang menjadi seorang pemborong. Tepatnya pemborong pengerjaan plafon yang merupakan sub dari suatu kontraktor bangunan yang lebih besar.
Pekerjaan teman saya ini makin lama semakin banyak. Seiring dengan track record bagus yang dibuatnya dan semakin bagusnya relasi yang berhasil dia bangun. Dengan reputasi yang berhasil ia bangun, pekerjaannya sekarang makin luas, bukan hanya di Jakarta saja. Ia mulai mendapat pekerjaan di daerah-daerah.
Sampai kemudian ia menerima pekerjaan borongan plafon di kota Yogya dan Solo. Kota yang tidak jauh dari desa dimana kami dilahirkan. Alasan dia untuk menerima pekerjaan di Yogya dan Solo bukan uang semata, lebih jauh ia berpikir untuk memberdayakan pemuda-pemuda teman-teman sekampung agar bisa turut bekerja. Agar tidak menganggur. Ini sesuatu yang mulia, pikir saya.

passioned and unpasionned. picture was grabbed from here
Salah satu pekerjaannya yang mempekerjakan teman-teman sekampungnya adalah memasang plafon untuk suatu hotel di Jogja. Waktu pengerjaan sekitar 18 bulan. Teman saya ini sudah membuat hitung-hitungan untung rugi mengerjakan proyek yang tidak kecil ini. Sampai akhirnya ketika waktu pembayaran tiba, keuntungan yang ia peroleh dari proyek ini diluar perhitungan. Bisa dikatakan hanya impas. Kenapa? Kok bisa..
Usut punya usut masalahnya ada pada tenaga kerja yang direkrutnya. Teman-teman sekampungnya sendiri. Mulanya ia pikir karena pekerjanya adalah teman kampungnya sendiri maka mereka akan bisa bekerja dengan baik tanpa harus ia awasi. (Ia sendiri dalam waktu bersamaan mengerjakan proyek-proyek lain di Jakarta. ) Nyatanya tidak demikian
Teman-teman yang ia pekerjakan itu mempunyai budaya kerja yang buruk. Bila tidak diawasi bekerja semaunya sendiri. Datang terlambat, pulang lebih awal, bekerja asal-asalan. Pekerja-pekerja itu hanya berpikir yang penting berangkat dan mendapat bayaran harian. Tidak mempedulikan apa yang ia kerjakan. Mereka tidak pernah berpikir bahwa bekerja asal-asalan bisa membuat teman pemborongnya itu bangkrut dan ia kehilangan pekerjaan.
Pada suatu ngobrol-ngobrol beberapa hari yang lalu, saya menanyakan kepada teman pemborong ini, bagaimana cara memotivasi mereka agar bekerja lebih baik. Bagaimana kalau teman saya ini mempekerjakan mandor/pengawas? Tidak mudah, jawab teman saya. Ini adalah masalah budaya. Ia pernah menunjuk teman yang lain untuk mengawasi pekerjaan. Nyatanya teman yang ditunjuk mengawasi ini malah dibenci semua pekerja.
Menurut teman pemborong ini, agar ia bisa survive sebagai pemborong, ia lebih baik mempekerjakan orang-orang dari daerah lain. Orang-orang yang secara pribadi tidak ia kenal. Karena mereka biasanya lebih punya respect. Kalau pun tidak dia bisa memecat tanpa banyak pertimbangan rasa pakewuh.
Lagi-lagi menurut teman saya yang pemborong ini, mencari pekerja bangunan yang mempunyai passion dalam bekerja itu sulit. Mencari pekerja bangunan yang mempunyai skill mencukupi itu sulit. Karena kebanyakan malas belajar menguasai pekerjaan. Kebanyakan apa yang ia pikirkan adalah bayarannya saja, bukan memperbagus cara bekerja agar bayarannya membaik.
Ia menceritakan pengalamannya sendiri ketika ia sedang menjadi seorang pembantu tukang. Di sela-sela waktu istirahat yang mana kebanyakan teman-temannya saat itu beristirahat dengan tidur, ia memanfaatkan waktu dengan belajar mengkompon, belajar mengukur bidang, belajar membuat potongan dan irisan, membaca cetak biru/blue print, dll. Ia ingin menjadi tukang. Tiga bulan kemudian memang bosnya mulai memberikan pekerjaan tukang kepadanya, dengan upah yang lebih baik tentunya. Ia tidak berhenti belajar sampai ia menjadi pemborong dalam usianya yang masih muda sekarang ini.
Yang membedakan teman pemborong ini dengan teman-teman sebaya yang lain di kampung bukanlah pendidikan, keluarga atau apa saja, melainkan passion.
Kalau passion saya apa ya? hehe
Passsion memang bisa mengantar kita ke dunia impian kita. Ayo mas cari passionnya. Tapi aku kira passionnya Mas Jar itu menulis. Setidaknya itu yang terbaca dari jauh..:)
wah terimakasih mba evi, saya kira passion saya itu ngoprek, hehe
Tulisannya menginspirasi,
Sedikit gambaran tentang teman2 yg kita bantu untuk mendapatkan pekerjaan ada beberapa orang yg sudut pandangnya sempit, seperti contoh diatas ketika teman kang Jarwadi ingin membantu teman2nya dikampung untuk mendapatkn pekerjaan ternyata tidak diimbangi kerja kerjas/ ikhlas/ bekerja asal2an. Sudah pasti kerugian akan didapatkan keduabelah pihak.
Salam dari Malang kang Jar.
salam balik dari gunungkidul mas 🙂
memang lebih mudah berteman dengan rekan kerja ketimbang bekerja (apalagi mempekerjakan) teman sendiri. pengalaman saya sih
benar, mempekerjakan teman sendiri itu banyak dilemanya, tapi untuk pekerjaan-pekerjaan penting, saya lebih mempercayakan kepada teman-teman saya yang terpercaya 🙂
Salam kenal Mas. Kebetulan saya juga pernah nulis tentang passion di blog saya, sekiranya mau membaca silakan mampir ke http://curhatcerdas.blogspot.com/2013/10/passion-konsistensi-dan-kegigihan.html
siap, langsung meluncur..
Passion memang menjadi motivasi nomer 2. Nomer 1-nya kepepet, xixixi…
benar xixixi, masalahnya tidak semua orang tahu kalau mereka sedang kepepet 😀
Duh jadi keinget sama Mirzani, be passion. Hehehee.
Kalau kerja tanpa passion, kita sudah kayak robot, Mas. Ga ada aktualisasi diri, hehehe
nanti ada waktunya sampai pada taraf tersiksa karena terpaksa bekerja, heheh
Waduh sayang juga ya teman-teman sendiri malah gak punya attitude dan semangat sebagus temennya sampean ini mas. Iya bekerja sesuai passion emang akan menghasilkan hasil pekerjaan yang lebih bagus..
Kalau bekerja dengan passion rasanya membuat bekerja lebih menyenangkan dan jadi kayak gak kerja. Kayak melakukan hobi gitu. Nice.
jangankan yang besr seperti itu ya, renovasi rumah saja kita harus ikut jadi mandor kalau gak nanti pekerjanya lambat mengerjakan pekerjaannya
bener, kalo kenal malah “dianggap sepele” lebih baik ada kontrak yang jelas jika memang bersedia mempekerjakan teman. seperti upah, target, sangsi dll.
budaya kerja atau unjuk kerja masyarakat kita mmg perlu di top up…eh…ditingkatkan. Dan faktor utama yg bisa mendongrat peningkatan budaya kerja ya mmg kemauan dr dalam diri sendiri. Faktor external spt sistem dan lingkungan mmg berpengaruh sekali tapi ttp the actornya ya individu-nya tsb.
Nah saya ini, apa cobak passion saya? #ikutan nanyak
Suka sekali dengan pemikiran kembali ke desa untuk membangun desa dengan memberdayakan SDM yang ada. Namun, lagi-lagi, teringat sebuah kutipan, “sesuatu yang baik terkadang tidak selalu berjalan dengan baik.”, tapi justru di sana tantangannya. Semoga kita bisa menjadikan passion kita sebagai ladang manfaat bagi diri sendiri dan orang lain 😀
wuih, masih menyempatkan untuk belajar 🙂
Passion saya apa ya? hmmm
passions memang memegang peranan yg penting dlm menentukan pekerjaan ya 😀
aku masih samar2 dgn passion aku.
Hayo, Mas, sudah dapat belum passion-nya? 😛
kalau saya snediri malah bingung mas gara-gara kebanyakan pasion 😀
luar biasa, , , semangat yang harus ditiru oleh semua insan.
saya lupa 😀
tapi agak inget sih. duulu pernah nulis pasion ginian juga tapi apa ya 🙂 .
Menurut saya, pekerjaan yang dikerjakan dengan tulus dan disenangi hasilnya akan lebih baik.
Boleh minta no hp temannya? Sy lg butuh pemborong rmh makasih
boleh. nanti ya. saya tanyakan nomer nya dulu 🙂