Melihat di beberapa daerah banyak orang berebut sembako sumbangan yang ditayangkan berturut – turut pada beberapa hari terakhir dalam acara berita di televisi, simbok saya jadi terheran-heran sekaligus prihatin. Orang susah ternyata ada dimana – mana. Ada banyak orang yang lebih susah dibandingkan keluarga kami di desa yang hidup pas-pasan.
Saya bertanya pada simbok, apakah bila di balai desa kita ada pembagian sembako, simbok juga akan datang mengantri untuk mendapatkan sembako gratis/murah. Apakah kira-kira para tetangga kita akan berbondong-bondong ke balai desa untuk mengantri untuk mendapatkan sembako gratis/murah?
Berbagi, apalagi itu dilakukan di bulan Ramadhan memang amaliyah mulia. Wujud peri kemanusiaan kita. Tetapi kenapa kita tidak memanfaatkan cara-cara berbagi yang moderen seperti penyelenggara LAZIS dan sejenisnya agar apa yang kita bagikan lebih memberi kontribusi bagi kemaslahatan.
Siapapun tidak ingin menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan pameran kemiskinan bangsa. Saya kira …
Sebagian orang mengapa memilih membagikan secara langsung apakah karena kurang percaya, ya Mas dengan badan-badan semacam LAZIS itu?
Saya terkadang ngga suka melihat pembagian dan penjualan sembako murah, memang terlihat sekali bahwa kita seperti sedang memamerkan kemiskinan, apalagi sampai diliput media. Menyedihkan…. 😦
Ya, heran banget sama fenomena ini. Kok ya mereka bisa ya kayak gitu? *speechless*
sebuah ironi, namun bukan hanya terjadi di bulan Ramadhan ini, di luar juga saat pembagian jatah raskin, semua mengaku miskin. Ketika didata BPS mereka tidak mau mengaku miskin. Akhirnya statistik negara ini kadang kacau.
Alhamdulillah simbok saya termasuk orang yang malu untuk rebutan jatah-jatah seperti itu, macam BLT, daging kurban, sembako murah, dsb.
Entah kenapa mereka rela menyebut diri termasuk “orang miskin” hingga harus berebutan.
Perlu ditanamkan rasa malu pada bangsa ini, “tontonan” seperti itu kok tidak membuat bangsa ini terlecut untuk berubah menjadi lebih baik.
malu ya rebutan begitu