A Guru, A Hero, A Suwarjono

A Guru, A Suwarjono

Guru biasa-biasa saja mengajar kita selama kurang dari setahun, setahun, atau beberapa tahun. Guru yang luar biasa akan mengajar selama hayat kita masih di kandung badan.

Saya merasa beruntung karena datang seorang guru luar biasa dalam hidup saya. Kehadiaran beliau adalah hal penting dalam karir pendidikan saya sampai saat ini. Susah dibayangkan apa jadinya saya sekarang tanpa 20 tahun yang lalu seorang pemuda bujangan asal kabupaten Bantul yang mengabdikan diri menjadi pengajar di sekolah kecil di desa dimana saya tinggal.

Guru muda itu adalah Bapak Suwarjono. Murid-murid memanggil beliau Pak War.

Apa sebenarnya yang membuat Pak War begitu luar biasa dan begitu menginspirasi bagi teman-teman sebaya, terutama saya?

Saya tidak akan memungkiri bahwa di antara teman-teman sepermainan saya adalah anak ternakal. Di sekolah saya paling bandel, paling suka berulah, paling abai terhadap guru. Semua hal buruk saat itu identik dengan saya. Jadi tidak heran bila tiap akhir catur wulan atau akhir tahun pelajaran, “prestasi” saya sebagai pemegang “juru kunci” tidak ternah tergeser.

5 tahun memegang posisi “juru kunci” secara terus-menerus. Artinya saya berhak mendapatkan “Piala Tetap” dalam kejuaraan bertropi “Juru Kunci”

Tahun pelajaran baru datang. Meski tertatih alhamdulillah saya  selamat menginjakkan kaki di ruang kelas VI SD N Karangmojo II. Seorang guru baru memperkenalkan dirinya. Guru baru dalam arti sebenarnya. Seorang guru yang belum banyak mengenal siswa siswi di sekolah dimana saya sedang belajar saat itu. Pak Suwarjono belum mengenal kebandelan saya.

Ini kabar baik bagi saya. Ketika kebandelan keberengsekan saya sudah terstigmatisasi dalam-dalam di benak semua guru-guru di SD Karangmojo II, tetapi tidak di benak Pak War. Pak War tidak melihat “tato” anak nakal di jidat saya. Pak War memperlakukan saya sama seperti murid-murid yang lain, seperti halnya beliau memperlakukan teman-teman sekelas saya yang kebanyakan alim penurut.

Pak War mempunyai paradigma terhadap saya yang berbeda dibandingkan dengan guru-guru saya terdahulu. Paradigma Pak War ini sedikit-sedikit mulai mengubah persepsi saya tentang diri saya sendiri. Persepsi saya saat itu ibarat benteng yang mengurung saya rapat-rapat dan selalu membisiki “Saya tidak bisa berprestasi”, “Saya tidak mungkin rajin belajar”, “Saya anak brengsek, bandel, nakal, bukan anak baik-baik”.

Alhamdulillah, beberapa pekan mengikuti kelas VI Pak War, tembok persepsi itu sedikit-sedikit mulai retak. Saya mulai melihat cahaya terbersit dari retakan tembok persepsi anak nakal. Saya mulai melihat secercah harapan. Mungkin saya bisa. Saat itu hati saya hanya pelan-pelan membisikkan “mungkin”. Saya perlu lebih banyak dukungan dan penegasan.

Dari caranya mengajar dan memperlakukan para siswa, Pak War memang berbeda. Bila guru-guru lain suka menjewer , melempar kayu penghapus, menyabet dengan penunjuk bor papan tulis siswa-siswa yang dianggap membandel, Pak War tidak demikian. Pak War memperlakukan siswa dengan lebih manusiawi. Misalnya Push Up beberapa kali setelah menegur siswa yang melanggar aturan yang telah sebelumnya disepakati di kelas.

Pak War jarang menyuruh para siswa mencatat. Ini penting bagi saya. Saya saat itu paling malas menyalin isi papan tulis ke atas buku catatan. Bagi Pak War, menulis/menyalin bukan hal penting bagi siswa kelas VI. Terlalu menghabiskan waktu. Mungkin dalam konteks saat ini, modul pelajaran (yang saat itu sesederhana disebut ringkasan materi) adalah hal kuno. Namun pada tahun 1992 saya menyebutnya sebagai inovasi.

Pak War dikenal dekat dengan siswa siswi SD Karangmojo II. Selain beliau mempunyai kepribadian yang menyenangkan. Beliau banyak mendedikasikan waktu dan pengabdiannya di lingkungan dimana beliau tinggal. Pak War banyak mendampingi kegiatan-kegiatan positif pada sore hari seperti dengan Pramuka, penambahan jam belajar, dan lain-lain.

Dengan diajar Pak War, saya dan teman-teman satu geng yang bandel tidak serta merta menjadi baik. Saya tetap salah satu dari siswa-siswi yang paling sering disanksi, disuruh push up, disuruh membersihkan papan tulis, disuruh pulang mengambil buku pelajaran dan lain-lain. Tetapi Pak War tidak pernah mengatakan saya bodoh, saya brengsek, atau umpatan-umpatan yang lain.

Menjelang EBTANAS. Anda tahu apa EBTANAS? EBTANAS adalah Evaluasi Belajar Tahap Akhir. Yang sekarang disebut Ujian Nasional. Nilai EBTANAS saat itu yang akan menentukan dimana kelak saya akan melanjutkan sekolah. Bila nilai saya baik maka saya bisa melanjutkan di sekolah-sekolah favorit. Sebaliknya mungkin saya tidak akan melanjutkan sekolah.

Menginjak kelas VI Sekolah Dasar, Simbok saya menjanji saya begini, “Kalau nilai kamu kelak bagus dan kamu bisa diterima di SMP N 1 Playen, kamu aku belikan sepatu baru, dan tiap hari ada jatah uang jajan, ada jatah untuk membeli buku, dan lain-lain“, “Bila tidak bisa diterima di SMP Playen, kamu tidak perlu sekolah jauh-jauh. Kamu sekolah di SMP di dekat Masjid situ. Uang jajan seminggu sekali bila ada pelajaran olah raga. Sepatu yang itu kamu pakai sampai SMP

Saya pada saat itu tahu, simbok tidak pernah main-main. “Kalau begitu saya tidak usah sekolah saja!” Itu saya katakan karena bagi saya saat itu mustahil bisa mendapat nilai EBTANAS bagus. Bukankah guru-guru saya selalu mengatakan  bahwa saya anak nakal, saya brengsek, saya bandel!

Tuhan mengirimkan Pak War sebagai Pahlawan saya. Alhamdulillah, Pak War merobohkan tembok benteng tinggi persepsi buruk kebodohan di benak saya. Saya tidak akan pernah melupakan Pak War yang telah mengantarkan 6  siswa beliau ke SMP N 1 Playen, dan selebihnya ke SMP favorit lain pada saat itu. Saya memang belum bisa menjadi siswa terbaik beliau. Tetapi itu prestasi pertama kali yang pernah saya torehkan. Itu merupakan milestone karir pendidikan saya selanjutnya.

Tanpa Allah menghadirkan Pak War dalam kehidupan sekolah saya, saya tidak yakin blog ini akan ada. Blog ini ada karena ada perbedaan paradigma pada diri Pak War, yang menginspirasi saya untuk menggeser paradigma pada benak saya sendiri. 🙂

Pak War adalah pria kedua dari sebelah kanan pada foto di atas. 🙂

Foto diambil dari Facebook Mas Sumardi di sini.

Iklan

6 komentar di “A Guru, A Hero, A Suwarjono

  1. Hiks, terharu…
    Saya saat SD juga nakal, sering berantem. Entah mengapa, guru2 SD saya dulu sangat sayang sama saya. Bagi saya, guru2 SD & SMP saya dulu adalah yang terbaik. Saat SMA barulah terasa sangat berbeda, hiks…

  2. Saya paling anti mengatakan anak nakal atau pelabelan buruk karena aka berdampak pada psikologis anak yang sudah pasti akan ikut melabeli diri sendiri. Allah memang selalu punya cara untuk merubah seseorang, dan pak War cocok untuk itu.
    sedikit mengingat ke masa lalu, dulu sekali saya punya murid SMA yang diskors 2 bulan. semua guru mengatakan dia nakal. Dan saya berhasil membuatnya mempunyai kebanggaan mendapat nilai tertinggi pada mapel bahasa Perancis karena saya percaya, dia hanya butuh dipercaya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s