
Salah satu yang sama sekali tidak pernah terbayang dalam hidup saya adalah: berlari menembus ganasnya lalu lintas jalan raya pada jam 11.28 malam di jalanan sekitar Lenteng Agung.
Jadi sekitar akhir bulan Oktober 2022 lalu, melalui pesan whatsapp salah seorang kawan saya, Ary Iskandar, mengirim pesan, “Mas Jar, Apakah akhir tahun –bulan Desember– sudah ada agenda terjadwal ?”.
Tidak merasa punya agenda apapun, saya pun menjawab: kosong. “Ayok, ikutan kita piknik. Lari hore-hore mengikuti ITB Ultra 2022 kagegori relay”. Kata “pikinik” di dalam kalimat ajakan itu membuat saya sulit untuk tidak mengiyakannya.
Beberapa waktu kemudian saya pun dimasukkan ke dalam grup Escape Runners. Untuk berkenalan dengan partner relay yang hanya beberapa yang saya kenal, para sponsor, dan tim supporting. Sampai kemudian membahas tentang hal-hal teknis mengenai kepesertaan kami di event ITB Ultra 2022.
Dari sini saya mulai paham bahwa ajakan piknik Ary Iskandar beberapa waktu lalu hanya gimmick belaka. Ternyata Escape mempunya target lomba yang tidak main-main: meraih podium.
Bagi saya pribadi berlari untuk meraih podium pada bulan Desember 2022 merupakan pekerjaan yang menantang. Saya sejak awal saat itu merencanakan untuk break dari perlarian pasca Jakarta Marathon yang berat.
Pun dengan berat mau tidak mau saya harus mulai berlatih lagi untuk mempersiapkan ITB Ultra 2022.
Tak diduga tak dinyana, gempa cianjur tiba-tiba mengguncang pada tanggal 21 November 2022. Dengan eskalasi kerusakan luas yang meninggalkan korban jiwa dan harta benda. Event ITB Ultra 2022 akhirnya pelaksanaannya ditunda, dijadwalkan ulang menjadi tanggal 10 – 12 Maret 2023.
Apakah penundaan pelaksanaan ini bagi saya akan lebih memudahkan? Malah sebaliknya. Januari – Maret merupakan puncak kesibukan dari pekerjaan-pekerjaan saya. Ditambah musim hujan yang semakin menyulitkan saya untuk mengatur waktu latihan.
Kamis siang, 9 Maret 2023, dengan kondisi yang tidak ideal karena masih dalam pengobatan sakit alergi, saya dan 3 orang kawan dari Yogyakarta menempuh perjalanan darat menuju Jakarta.
Menempuh perjalanan darat Jogja – Jakarta via jalan tol merupakan pengalaman pertama seumur hidup saya. Menyusuri jalan tol dari pintu masuk Ambarawa dan keluar tol di pusat kota memang memerlukan waktu yang lebih lama dibanding perjalanan kereta stasiun Tugu – stasiun Gambir.
Pemandangan di sepanjang perjalanan yang berbeda, sensasi berkendara yang berbeda, rest area – rest area yang kami singgahi, merupakan sesuatu yang membuat tubuh saya meskipun rasa cape itu pasti ada tetapi saya dari pikiran merasa lebih santai. Apalagi menjelang jam 12 malam saya sudah bisa beristirahat di Hotel Century Park.
Keesokan harinya saya bisa bangun pagi seperti biasa dan saya merasa biasa-biasa saja. Saya hanya penasaran dengan diri saya sendiri: Apakah tubuh saya sudah lebih baik. Apakah tubuh saya sudah lebih sehat. Apakah nanti malam tubuh ini bisa saya ajak berlari sejauh kurang lebih 22km.
Jum’at pagi itu pun saya bersama Ary, Fauzi, dan Gigi berusaha menikmati Jakarta dengan jogging mengitari lingkaran luar stadion GBK sebelum kami tepatnya saya berusaha mengisi bahan bakar dengan sarapan di area breakfast Hotel Century Park.
Saya belum bisa makan sebanyak yang saya inginkan, sebanyak seharusnya orang carbo loading namun demikian saya merasa makan dalam volume yang lumayan. Untuk kemudian saya bergegas mandi dan berusaha tidur. Tidak bisa benar-benar tidur, orang bilang sebatas rebahan dan tidur-tidur ayam.
Mungkin sekitar jam 4 sore kami semua diajak berkemas untuk meninggalkan hotel, mengenakan outfit lari, dan kemudian menuju venue ITB Ultra 2022 di halaman Gedung Menara Mandiri yang terletak tidak begitu jauh dari Century Park.
Mungkin sekitar jam setengah lima sore ketika kami tiba di Menara Mandiri nampak venue belum benar-benar siap. Saya melihat petugas yang sedang bekerja keras memasang start gate, memasang timing sensor, dan menyiapkan perlengkapan-perlengkapan perlombaan lainnya.
Beruntungnya beberapa banner dan back drop sudah terpasang dengan baik. Kami pun memanfaatkan back drop-back drop Mandiri ITB Ultra 2022 untuk berfoto-foto. Leluasa sekali kami dalam berfoto-foto saat itu karena memang rasanya kamilah peserta lomba yang pertama kali tiba.

Selesai berfoto-foto kamipun segera meninggalkan halaman Gedung Menara Bank Mandiri. Fauzi (pelari kami katogori Full Course 180K) dan Irvan (pelari pertama kategori relay 8) kembali untuk beristirahat di hotel karena start masih cukup lama, yaitu sekitar jam 9 malam. Sementara saya sendiri akan menuju titik start pelari kedua relay 8 di STT Nurul Fikri Cibubur, enam teman pelari yang lain menuju titik start masing – masing.
Jarak antara Hotel Cental Park dengan STT Nurul Fikri sebenarnya tidak begitu jauh, mungkin sekitar 20 – 25 km, hanya saja situasi lalu lintas petang itu begitu membuat saya frustasi. Kemacetan dan ketergesa-gesaan semua orang yang amat jarang saya temui sehari hari.
Meskipun sangat sulit, saya memanfaatkan kemacetan tersebut untuk tidur, untuk mempersiapkan diri berlari nanti sekitar jam tengah malam.
Mungkin sekitar jam setengah sembilan malam, saya, Ary dan Febby (tim support kami) tiba di STT Nurul Fikri. Saya pun segera sedikit berkeliling untuk mengenal situasi di sana, mencari toilet, mencari masjid untuk shalat Isya yang saya jamak dengan Maghrib.
Kami pun berlanjut mempelajari venue check point STT Nurul Fikri. Mempelajari bagaimana alur pergantian relay dari pelari pertama ke pelari kedua. Mempelajari dimana check point dipasang dan bagaimana kami seharusnya melewatinya.
Makin malam cuaca makin dingin. Apalagi dengan angin yang semakin berhembus. Saya pun mengajak Ary, Feb dan Mas Agus (sopir kami) untuk mencari tempat beristirahat yang proper. Beruntung tidak jauh dari STT Nurul Fikri kami terdapat Bebek Kaleyo. Kami order untuk makan malam dan beberapa gelas teh panas untuk menghangatkan badan kami yang kedinginan.
Mungkin sekitar jam 11 malam kami meninggalkan Bebek Kaleyo, kembali ke check point STT Nurul Fikri yang sudah dipenuhi banyak sekali pelari kategori relay 8, pelari relay 16, dan tim support mereka masing-masing.
Setibanya lagi di STT Nurul Fikri saya pelan-pelan mulai mempersiapkan diri. Saya mulai mengenakan vest, mengenakan sepatu lomba, mengenakan head lamp, mempersiapkan minuman untuk dibawa dan lain-lain.
Mengamati jalan yang nanti akan saya lewati sebagai rute berlari membuat saya semakin nervous. Menjelang tengah malam namun lalu lintas tidak kunjung nampak bersahabat. Kepadatan dan keganasannya tidak nampak sedikitpun berkurang.
Saya tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya saat itu. Hanya tekad dan bismillah -lah yang saya punya malam itu.
Terus degdegan menunggu, akhirnya Irvan (pelari pertama pun tiba). Tidak mau menyiakan waktu kamipun melepas bib ber-rfid ditubuh Irvan untuk saya kenakan. Bismilllah, saya pun segera berlari.
Dalam berlari satu hal yang saya ingat. Saya harus ingat bahwa kondisi tubuh saya sedang tidak ideal untuk berlari. Apalagi ini adalah lari tengah malam di keramaian kota besar pertama seumur hidup saya. Jadi saya pikir keselamatan adalah hal pertama yang harus saya jaga, baru kemudian kecepatan. Saya harus menjaga keduanya agar saya tidak mengecewakan tim dan teman-teman saya.
Di tengah keramaian dan ganasnya lalu lintas tengah malam jalanan kawasan Lenteng Agung saya mencoba berlari di kisaran pace 4.50 – pace 05.00. Berlari di rentang pace ini rasanya saya masih biasa-biasa saja. Akan tetapi indikator heart rate di Coros Pace 2 saya menunjukkan sebaliknya. Heart Rate saya nampak terlalu tinggi, bahkan sangat tinggi.
HR merupakan alarm yang harus saya terjemahkan dengan lebih berhati-hati dalam berlari.
Mungkin sampai di km 3 atau km 4 rasanya saya tidak melihat ada pelari di depan atau di belakang saya. Pelari – pelari kategori full course dan relay 2 yang saya lihat di check point STT Nurul Fikri sebelum saya berlari nampaknya sudah berlari terlalu jauh.
Tidak hafal medan saya pun selalu berusaha mencari marshall di tiap perempatan, pertigaan, atau belokan. Saya selalu bertanya memastikan saya berlari di jalan yang benar. Sumpah saya sangat takut tersesat.
Mungkin sekitar KM 7 saya bertemu saya melihat di depan ada seorang pelari yang terlihat dari headlamp yang ia kenakan. Pelan-pelan saya berusaha mengejarnya. Ternyata dia adalah Yusuf Aprian yang kali ini berlari full course.
Bahkan belum menemukan satu water station air minum saya sudah habis. Menjelang start tadi sebenarnya saya telah dikelali oleh tim support beberapa botol air mineral. Akan tetapi sebagian di antaranya saya buang karena saya rasa berat sekali berlari dengan tambahan beban air mineral di vest.
Di sinilah saya harus semakin hati-hati dan berusaha selalu membeli air mineral atau Pocari Sweat dimanapun saya bisa membelinya. Tengah malam begini minimarket seperti Indomart memang sudah tutup. Beruntungnya banyak warung-warung kecil di pinggir jalan yang nampaknya buka 24 jam dan warung-warung itu menjual isotonik atau air mineral.
Saya tahu bekali kali berhenti membeli isotonik atau air mineral ini buang-buang waktu. Saya tidak punya pilihan lain daripada saya dehidrasi dan tidak bisa meneruskan perlombaan. Satu-satunya yang membuat saya tidak merasa begitu berdosa dengan membuang-buang waktu adalah pelari ke-2 relay 8 kompetitor nampaknya masih jauh. Atau setidaknya dia belum mendahului saya.
Berlari di lalu lintas Jakarta yang gamas, tengah malam, ketika tubuh saya masih mengkonsumsi antibiotik benar-benar perjuangan yang amat berat. Bahkan jauh lebih berat dari yang saya kira sebelumnya. Kalau bukan karena komitmen kepada target tim mungkin saya akan memilih DNF atau berjalan kaki saja.
Perjuangan berat ini makin menjadi jadi ketika mungkin KM 16, saya masih harus berlari sekitar 6 km lagi, beberapa bagian tubuh saya sudah mulai merasakan kram. Saya harus berhenti beberapa kali untuk menyemprotkan SalonPas Jet Spray yang beruntungya saya bawa. Di kilometer ini Yusuf Aprian yang tadi di belakang sudah kembali mengejar saya. Yusuf atau Ucup selalu menyemangati saya kilometer demi kelometer. Sungguh kata kata penyemangat Ucup menjadi tambahan kekuatan bagi saya.
Saya masih ingat, kurang lebih 1 km menjelang check point 2 (titik finish untuk saya) Ucup menyemangat saya agar berlari lebih dulu. Saya pun berlari seolah melakukan sebuah finishing kick.
Alhamdulillah, akhirnya saya pun bisa menyelesaikan tugas saya sebagai pelari ke-2 relay 8 tim Escape Running. Saya merasa lega meskipun saya tidak bisa menjalankan tugas dengan ideal tetapi setidaknya saya bisa finish dengan selamat dan tidak didahului oleh pelari saingan.
BIB saya pun diambil alih oleh pelari ke-3 di tim relay 8 kami, Ary Iskandar. Sebagai kawan lama, saya tahu ketangguhan Ary dalam berlari di berbagai medan. Kali ini saya hanya bisa menitipkan harapan kami di kaki – kaki dan paru-parunya yang bertenaga jaran goyang.
Beristirahat beberapa saat di check point 4 di Raiser Cibinong, saya pun segera berganti baju, menuju ke mobil untuk menuju check point 6 di Wisma Bank Mandiri Ciawi.
Selepas tengah malam menyusuri jalanan menuju Ciawi ternyata tidak mudah juga menemukan Wisma Bank Mandiri Ciawi. Kami perlu beberapa kali salah mengikuti arahan Google Maps meskipun akhirnya kami tiba juga di sana.
Kali ini saya berganti peran menjadi supporting tim untuk membantu perpindahan estafet dari pelari ke-3 dan ke-4, dari Ary ke Irgy.
Mungkin rute yang paling menantang adalah rute untuk pelari ke-4. Rute paling menanjak ini akan diselesaikan oleh Irgy. Namun demikian tidak ada yang perlu disanksikan kali ini. Selain Irgy adalah warga lokal yang tinggal di Cipanas, situasi jalanan sekitar jam 2 malam menuju Melrimba Garden Puncak sudah relatif aman dan bersahabat unutk berlari.
Setelah pergantian estafet dari Ary Iskandar ke Muhammad Irgy, saya dan Feb pun segera menuju ke Melrimba Garden.
Mungkin sebagian cape di tubuh saya sudah mulai lenyap ditelan oleh dinginnya malam jalanan Ciawi. Bahkan rasa kantuk yang sejak sore membelai belai wajah pun sudah sirna. Saya mulai menikmati kerlap kerlip lampu malam dan jalanan yang berkelok dan menanjak menuju Puncak – Bogor.
Celana panjang, jaket tebal, kaos kaki dan bahkan penutup kepala rasanya belum cukup untuk melindungi tubuh ini dari dingin hawa Melrimba Garden menjelang subuh.
Sambil menunggu Irgy untuk menyelesaikan tugasnya, saya pun mengajak teman-teman yang sudah menunggu di sana, Gigi, Mutia, Wisnu untuk membeli teh hangat yang beruntunya buka pada malam itu. Untuk kedua kalinya kehangatan teh panas menjadi penyelamat kami pagi itu. Saya tidak ingat persis berapa gelas teh panas yang kami pesan malam itu.
Oh iya, warung teh depan Melrimba Garden itu juga mempunyai toilet yang bersih. Sekali lagi itu adalah penyelamat dan pemberi rasa aman bagi kami.
Begitu pelari ke-6 meninggalkan check point Melrimba Garden, kami pun langsung mengendarai mobil menuju ke check point Cipanas.
Perjalanan selepas subuh menyusuri kelokan, tanjakan, dan turunan di kawasan Puncak merupakan pengalaman tersendiri bagi saya. Semburat fajar yang indah menjadi suguhan yang kami nikmati subuh itu. Mengalahkan rasa ngantuk yang seharusnya menina bobokan karena semalaman kami tidak tidur barang sekejap mata.
Matahari pagi mulai menyingkarkan hawa dingin ketika kami tiba di check point di Cipanas. Sambil menunggu pergantian saya berjalan-jalan melihat situasi di sekitar. Barangkali ada soto khas di sana yang bisa kami gunakan untuk sarapan. Sayangnya pencarian saya nihil. Baru kemudian saya mengajak Ary menuju suatu pasar. Tidak ada soto juga, alih-alih kami menemukan banyak sekali penjual bubur ayam.

Kami pun secara random memilih salah satu. Bubur ayam pertama kali yang saya nikmati dalam beberapa tahun terakhir. Dibanding bubur ayam yang pernah saya cicipi, buryam di sini rasanya sangat gurih. Sarapan pagi itu kami tutup dengan segelas kecil teh tawar dengan rasa yang sangat khas.
Sudah siang ketika saat itu kami tiba di check point di Masjid Al Jabbar. Pelari ke-7 rasanya sudah melewati check point ini. Kami di check point ini untuk menunggu dan memberi semangat kepada Fauzi, pelari full course Escape Runners yang saat itu istiqamah bertahan di posisi terdepan.
Lalu lintas di jalan menuju Bandung terpantau semakin ramai. Menurut perhitungan kami, dengan mengendarai mobil, akan sangat sulit untuk tiba di Sabuga ITB sebelum pelari ke-8 relay kami menginjak garis finish.
Di depan Masjid Al Jabbar kami pun membagi tugas, sebagian mengawal Fauzi sementara saya dan Ary menuju ke Sabuga dengan menggunakan Ojek. Meski dengan Ojek motor pun kami gagal menembus jalanan menuju Bandung sebelum Hussein menginjakkan kaki di Garis Finish. Kali ini saya dan Ary pun jadi langsung menyusul teman-teman support dan pelari 6, 7, dan 8 yang sudah beristirahat di hotel Scarlett Dago.

Dan kabar baiknya adalah tim relay kami berhasil menjadi finisher pertama dengan waktu sekitar 17 jam. Kami tinggal menunggu verifikasi panitia yang akan menyatakan kami berhak naik podium pada hari Minggu keesokan harinnya.

So … bagaimana event ITB Ultra 2022 menurut saya?
Secara keseluruhan event ini berjalan cukup bagus. Start line di gedung Menara Bank Mandiri diorkestrasi dengan sangat bagus. Begitu pula finish area di Sabuga ITB menurut saya merupakan desain terbaik untuk sebuah perayaan akan pencapaian menyelesaikan jarak 180 km. Arwarding pada hari Minggu siang pun berlangsung sangat meriah. Apalagi di pagi harinya diselenggarakan acara fun run menyusuri kota bandung sejauh 6 km yang bisa diikuti siapa saja.
Beberapa yang menurut saya perlu diperbaiki adalah marking atau petunjuk arah, posisi dan distribusi marshall di sepanjang rute terutama di setiap belokan, pertigaan, atau perempatan. Water stasion yang tersedia di setiap sekitar 10km menurut saya perlu ditambahkan isotonik seperti Pocari Sweat atau IsoPlus.
Dan bagian yang terpenting dimana saya harus mengucapkan terimakah: Saya mengucapkan Terimakasih kepada Pak Bani Hastoro, Bu Rinda, Pak Kris, dan Pertamina Chemical Trading yang telah mensponsori kami berpartisipasi dan berlari di event Mandiri ITB Ultra 2022 ini. Karena tulisan ini sudah terlalu panjang. Mungkin cerita saya cukup sampai di sini dulu.