Menginjak Bayang-Bayang

Bahkan sebelum Maghrib sore tadi udara di desa dimana saya tinggal sudah terasa dingin. Untuk mandi saja perlu ketegasan untuk iya atau tidak. Sampai akhirnya saya memaksakan diri.

Masih tentang musim kemarau. Bagi kebanyakan orang hampir tidak ada hal istimewa yang bisa dinikmati di daerah dimana saya tinggal. Mungkin semua biasa-biasa saja. Namun bagi saya ada yang berbeda dan saya nantikan untuk terjadi tiap musim kemarau. Dan malam ini saya menemukannya terjadi.

Sangat sederhana. Apa yang saya nikmati. Dan barangkali hanya saya yang menikmati adalah, ketika saya malam-malam sendirian berjalan melewati jalan desa yang sepi –saya tadi memilih jalan yang sepi menuju ke masjid– dan kaki saya menginjak bayang-bayang pohon jati yang meranggas. Bayang-bayang lembut itu terjadi tentu saja karena bulan. Melengkapi pengalaman “magis” ini adalah ketika kaki-kaki saya juga menginjak daun-daun kering yang berserakan dan terkadang suara patah ranting-ranting kering yang jatuh.

5 komentar di “Menginjak Bayang-Bayang

  1. Saya bisa meresapi jalan di bawah temaram cahaya rembulan ya waktu di Bali ini. Dulu saat masih di Surabaya, saya tidak pernah melihat bulan purnama. 😆

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

Tinggalkan Balasan ke Applausr Batalkan balasan